Septi tercenung sejenak. Belum benar-benar menerima apa yang dikatakan oleh Marni barusan. Jihan hamil? Anak Wisnu?
Marni menyeringai. Tujuannya untuk menyatukan Jihan dan Wisnu berhasil. Wisnu, memang secara penampilan lebih ok daripada Brata, tapi bukan itu saja. Secara pekerjaan Wisnu juga jelas lebih mumpuni. Kesuburannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Maka dari itu, Dia menyuruh Jihan untuk menginap di rumah Septi. Untuk menggoda suaminya. Sekarang, hancur lebur rumah tangga Septi Wisnu sudah di depan mata.
Septi masih tercenung. Sorot matanya yang tajam itu berair. Menandakan perasaannya yang terluka. Sekilas dia melihat sahabatnya yang sedang bersimpuh di bawah sana. Sahabat yang begitu dia percayai. Tidak akan menyakiti atau menikamnya dari belakang, tapi kenyataannya dia berani melakukannya. Sama suami Septi sendiri. Apakah Jihan sudah tidak mempunyai nurani? Kenapa dia begitu tega melakukan ini semua.
Wisnu merasa tidak nyaman dengan sikap Septi itu. Dia gelagapan. Mau menjelaskan bagaimana lagi. Semuanya sudah terlanjur. Kini, dia hanya berharap keiklasan istrinya untuk rela dimadu. Mengingat dia tidak ingin melepaskan Septi begitu saja.
“Sayang, tolong kamu mengerti keadaanku. Aku khilaf melakukan semuanya. Jihan kan sahabatmu, Seharusnya bukan masalah kalau seandainya menjadikan dia saudara madumu.”
Wisnu langsung tertohok oleh sorot mata tajam Septi. Dari sorot matanya seolah-olah, ingin berteriak. Betapa naifnya Wisnu ini. Semudah itu dia mengatakan untuk menerima Jihan sebagai saudara madunya. Apa dia tidak memandang akan luka hati yang tertoreh akibat pengkhianatan.
“Wisnu! Hati-hati kalau bicara! Bisa-bisanya kamu bilang anakku akan menjadi saudara madu Septi! Aku tidak mau ya anakku diduakan. Pokoknya saya minta. Kamu ceraikan istrimu itu setelah dia melahirkan!”
Marni tidak ubahnya nenek lampir yang main seenaknya saja mengatur Wisnu. Wanita itu sama sekali tidak punya rasa empati kepada Septi yang memang sedang hamil. Tidak memperdulikan bagaimana nasib anak-anaknya yang akan sakit hati dan bersedih kalau melihat ayahnya ternyata menceraikan Septi dam menikah dengan wanita lain.
“Enggak bisa egois begitu dong, Bu. Aku tidak bisa melepas Septi begitu saja. Aku harus adil dengan Septi dan juga Jihan kalau memang mereka bersedia bersaudara madu.”
“Enak saja kamu ngomong! Harus pilih salah satu! Dan menurutku, lebih baik kau ceraikan saja istrimu itu! Dia kan sudah banyak uang. Sementara, Jihan, kamu lihat sendiri kan. Dia pekerjaannya tidak sebagus istrimu. Jihan lebih layak kamu nafkahi dibandingkan dengan Septi!”
Makin menjadi-jadi Marni. Emang dia kira, bisa melepas tanggung jawab begitu saja. Bagaimana dengan nasib anak-anaknya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Bahkan, anak di kandungannya akan terancam tidak akan melihat ayahnya lagi. Apakah Marni tidak memikirkan sejauh itu! Malah jelas-jelas membela anaknya Jihan yang tidak tahu diri menjadi duri dalam daging dalam rumah tangga Septi. Tak bisa digambarkan bagaimana remuknya hati Septi saat itu.
Wisnu tampak ragu-ragu. Dari gelagatnya, dia tampak tidak tegas mengambil keputusan. Sebenernya kalau bisa dia ingin sekali memperistri keduanya. Jabatannya yang baru naik sebagai kontraktor sangat bisa menafkahi mereka semua. Lagipula, bukankah seorang istri harusnya tidak boleh protes kalau suaminya menikah lagi. Asalkan tidak meninggalkan tanggung jawab. Wisnu sempat tersenyum-senyum. Dia memang merasa Septi lebih dari cukup, tapi kalau ditambah Jihan menjadi sempurna. Pastilah sangat menyenangkan kalau sampai hal itu terjadi.
“Baik, Bu. Sebagai jalan tengahnya. Saya akan menikahi Jihan dulu. Nanti setelah, anakku dari Septi lahir. Kita bisa bicarakan lagi.”
Wisnu berkata enteng. Seakan tidak menganggap hati Septi yang bergemuruh pada saat itu. Tanpa membuang waktu lagi, daripada dia semakin hati, Septi pun mengajak keduanya menuju mobil. Dia menyibak kerumunan keluarga Jihan yang seolah buta akan kejadian itu. Tanpa mau membela Septi sama sekali. Apa mungkin semua ini sudah direncanakan? Berarti mereka termasuk komplotan orang tidak punya hati.
Septi terlebih dahulu memasukkan kedua anaknya. Sejenak dia menatap pandangan penuh tanda tanya dari anaknya. Wajah polos tanpa dosa. Seketika, Septi langsung memeluk kedua anaknya itu. Tidak bisa dia tahan gemuruh di dadanya. Setelah itu, dia baru beralih ke kursi kemudi.
Septi memandang kaca spion sebentar. Terlihat Wisnu yang akan mengejarnya. Namun, ditahan oleh semua keluarga Jihan. Ternyata syukuran kehamilan itu memang diperuntukan untuk ayah dari benih di dalam perut Jihan yang katanya adalah dari Wisnu.
Hari-hari berikutnya semakin menyakitkan untuk Septi. Wisnu sangat jarang pulang ke rumah. Hanya sekali. Itupun meminta Septi untuk mengerti keadaan dirinya yang sudah menghamili wanita lain. Dia meminta Septi untuk iklas lahir batin. Menerima Jihan sebagai saudara madu. Supaya sama-sama enaknya nanti.
Namun Septi tidak sudi. Lebih baik dia menjanda daripada diduakan. Dia harus kuat dan iklas. Perlahan melepaskan suaminya yang tidak tahu diuntung tersebut. Dia juga harus bisa menguatkan anak-anaknya supaya belajar untuk terbiasa tanpa sosok seorang ayah. Septi sama sekali tidak membicarakan hal yang buruk tentang ayahnya. Dia menekan perasaannya supaya ayahnya tetap terlihat baik di hadapan mereka. Walaupun kadang kejujuran anak kecil tidak bisa dibohongi.
“Ayah, kok enggak pulang-pulang ya?”
Rahmi bertanya. Anak perempuannya lebih sering menanyakan tentang ayahnya. Berbeda dengan Bagas yang hanya diam saja. Tapi, dia juga sangat butuh akan kehadiran ayah.
“Ayah sedang keluar kota, Sayang. Lusa juga pulang.”
Hampir saja Septi menangis. Tapi, ditahan hatinya untuk menahan segala golak yang berkecamuk di dada.
“Di luar kota atau di rumah temen Mama itu?”
Septi tertohok. Naluri anak kecil memang tidak bisa dibohongi. Anak sekecil itu bisa merasakan ketegangan di antara kedua orang tuanya. Bahkan, terlihat raut wajah Septi yang kurang suka. Menandakan bahwa dia sudah mulai benci dengan ayahnya. Dan wanita yang menjadi istri baru ayahnya itu. Kalau sudah begini mustahil bagi Septi menutupi semuanya.
“Ayo, Ma. Kita ke rumah teman Mama itu!”
Septi tidak bisa menolak. Dia pun mengendarai mobilnya menuju rumah Jihan bersama dengan Rahmi dan Bagas
Sesampainya di sana, terlihat pemandangan yang begitu menyayat hati. Terlihat Wisnu yang baru saja datang bersama dengan Jihan sambil menenteng perlengkapan bayi. Mereka masih belum menyadari ada Septi dan dua anaknya disitu.
“Ayah!” Rasmi berlarian mendekati ayahnya. Merebut perlengkapan bayi tersebut dan memberikannya kepada Septi . Sontak saja hal itu membuat Jihan dan Wisnu terkejut. Mereka baru menoleh ke arah Rasmi, baru kemudian Septi dan Bagas tidak jauh dari sana. Bagaimana anak perempuan sekecil itu tidak sakit hati. Ayahnya lebih memperhatikan wanita lain yang memang mengandung. Tapi, Mama-nya, Septi juga mengandung. Ayahnya tidak memperdulikannya sama sekali. Boro-boro mau membelikan perlengkapan bayi seperti itu. “Heh! Apa-apaan ini!” Marni keluar dari dari rumah bersama dengan Dina. Dia tampak murka karena perlengkapan bayi itu diberikan kepada Septi. Dengan langkah yang terburu-buru, dan wajahnya yang garang. Dia mendekati Septi dan merebut perlengkapan bayi tersebut. “Jangan diambil! Itu untuk dedek!” Rasmi berusaha merebut perlengkapan bayi itu. Namun, karena Marni meninggikannya. Rasmi tidak mampu menggapai. Wanita tua itu langsung menatap Septi, seolah menghakimi istri dari calon
Septi masuk kerja seperti biasa. Jabatannya adalah sebagai general manajer di sebuah perusahaan textile. Dia tergolong sangat mampu dalam pekerjaannya. Sehingga di umur yang hampir kepala tiga dia dipercayakan sebagai general manajer. Dia menitipkan Rasmi dan Bagas kepada asisten rumah tangganya . Seorang ibu-ibu yang sudah sangat dekat dengannya. Dia ikutan sedih atas kejadian yang menimpa keluarga Septi. Beliau selalu berpesan untuk bersabar. Semua pasti ada balasannya dan hikmahnya. “Siapa tahu, di balik musibah ini. Ada rezeki besar menanti.” Begitu beliau berkata. Entah kenapa perkataan tersebut selalu terngiang di kepala Septi. Membuat Septi merasa sangat yakin. Dan benar saja. Hari ini. Dia mendapatkan berita bahwa CEO perusahaannya mengundurkan diri. Alasannya karena ingin mendirikan perusahaannya sendiri. CEO tersebut memanggil Septi untuk menghadapnya. “Selamat Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” “Mulai hari ini, kamu siap-siap ya. Saya akan memberi pelatihan kepada
“Ada apa ya Ibu Marni, Mbak Dina ke sini.”Septi masih sopan menyapa mereka. Bahkan, dia mempersilakan kedua tamunya untuk masuk ke rumah. Tapi, kedua tamunya itu malah membentaknya.“Dasar kamu wanita tidak tahu diuntung! Kenapa kamu usir Wisnu dan anakku dari rumah ini hah! Ini kan rumah Wisnu. Harusnya dia boleh datang bersama dengan Jihan di sini kapanpun!”Wanita tua itu menuding. Septi hanya menghela nafas. Dia berkata kepada Bik Ratih untuk terlebih dahulu masuk ke dalam mobil bersama dengan kedua anaknya.“Saya sebenernya tidak masalah, Bu. Mau mereka datang ke sini kapanpun. Tapi, sayangnya kedua anakku yang tidak mau. Jadi ya mau bagaimana lagi.”“Sombong kamu ya! Mentang-mentang sudah punya kerjaan sendiri. Suamimu sendiri kamu sepelekan! Awas nanti kalau sampai kamu menangis darah karena ditinggal Wisnu.”Kini giliran Ratih yang memojokkannya. Septi hanya tertawa tipis. Mereka berkata seolah-olah Wisnu adalah manusia yang didewakan. Septi tidak bisa hidup tanpa Wisnu. Pada
Namun, pada kenyataannya tidak semudah itu untuk kembali bersama dengan Septi. Apalagi kedua anak Septi yang terang-terangan menolak ayahnya kalau masih bersama dengan Jihan. Maka pulangnya Wisnu kembali ke keluarga Jihan. Marni yang mendengarnya marah. “Masa kamu enggak bisa membujuk istrimu supaya baikan?” “Enggak bisa, Ma. Aku malah diusir sama dia. Sepertinya dia sudah membujuk kedua anakku juga supaya ikut membenciku.” “Memang keterlaluan istrimu itu. Sombong sekali dia. Ayo, Ma kita ke rumah Septi lagi. Kita labrak dia!” Dina angkat suara. Marni setuju. Mereka pun kembali dengan menggunakan motor matic menuju rumah Septi. Pada saat itu, Septi sedang bersantai bersama kedua anaknya. Ada Bik Ratih juga. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran tamu yang tidak diundang. Tapi, terlebih dahulu, tamu tersebut dihalangi oleh sekuriti. “Ternyata, Septi sudah membayar sekuriti, Ma. Dia sepertinya takut kalau kita datang lagi. Dia takut kalau kita labrak!” Dina berkata sinis. M
Pagi ini, Septi merasakan perutnya yang terasa sangat sakit dan keringat dingin keluar dari tubuhnya membuat dia kesulitan untuk bernafas“Astaga, rasannya sangat menyakitkan ada apa ini, kenapa sangat sakit?”keluh septi memegang perutnya seraya mengeluh.Sedari pagi hingga sore septi berhasil menahan rasa sakit perutnya, tapi tidak untuk malam hari dia merasakan perutnya yang terasa semakin sakit, dia memegang erat perutnya seraya berteriak minta tolong.“Tolong!!! Bik Ratih!!”teriak SeptiBik Ratih yang sedang menyiapkan makan malam pun segera bergegas berlari menemui Septi yang ada didalam kamarnya sedang sangat kesakitan, Bik Ratih langsung berlari menemui sekuriti dirumahnya“Pak, tolong. Nyonya Septi, ingin lahiran.”Panik Bik Ratih“Astaga, kita harus segera membawannya kerumah sakit.”Panik sekuritiSepti dibawa ke rumah sakit oleh sekuriti dan Bik Ratih menggunakan mobil,selama di mobil bik Ratih terus mengenggam erat tangan septi dia berusaha menguatkan Septi“Buk Septi kuat y
Wisnu memberikan amplop tersebut kepada septi lalu dengan cemas Septi segera membacannya dia melihat surat itu berasal dari pengadilan, Septi tercengang dia begitu kaget, hanya dapat menutup mulutnya menahan terkejut. Pasalnya, dia baru saja melahirkan anaknya tapi wisnu sudah meminta Septi untuk menandatangani surat perceraian tersebut, septi melihat Wisnu yang sudah menandatangani surat perceraian itu“Apa ini? kenapa kamu memberikan surat ini padaku?!!”tanya septi seraya berteriak“Aku ingin cerai denganmu, itu adalah keputusanku.”jawab Wisnu semakin membuat Septi tercengang dan tak mempercayai apa yang baru saja dia lihat.“Kamu kejam sekali,Wisnu.”ujar Septi dengan penuh kemarahan, dia tidak menerima perceraian yang akan dilakukan Wisnu kepadannya.Bik Ratih yang berada didalamruang bersalin melihat Septi yang menangis tersedu-sedu setelah melahirkan pun, protes.“Istrimu baru saja melahirkan anakmu, kenapa kamu memberikannya surat perceraian ini!!”sentak Bik Ratih tidak terima m
Seorang perawat masuk kedalam ruangan Septi, dia seperti akan mencabut selang infus dari tangan Septi dan membuat Septi tersenyum senang“Apakah aku sudah boleh pulang?”tanya Septi yang terlihat senang“Ya, ibu sudah boleh pulang karena keadaan ibuk yang sudah membaik.”tutur Dokter kepada Septi.“Syukurlah, aku sudah boleh pulang kerumah. terimakasih, dokter.”ucap Septi, lagipula dia juga merasakan kalau dirinnya sudah lebih baik dari kemarin.Bik Ratih masuk kedalam ruangan, dia melihat Buk Septi yang keadaanya sudah lebih baik dan jarum infus yang sudah dicabut dari tangannya.“Buk Septi, apa yang dokter katakan, buk?”tanya Bik Ratih dengan penuh harap“Aku sudah boleh pulang, Bik. Dokter mengatakan kalau keadaanku sudak membaik.”tutur Septi dengan senang.“Mama sudah boleh pulang?”tanya kedua anaknya itu“Sudah, nak.”Septi tersenyum kepada kedua anaknya membuat mereka melompat senang“horee mama sudah boleh pulang!!!” seru kedua anaknya itu melihat keadaan mamanya.Septi pulang ber
Bab 10Marni menyambut kedatangan mereka semua dirumahnya, dia sangat keheranan sekaligus marah kenapa Septi datang bersama rombongan.“Kenapa kamu membawa semua rombongan seperti ini? seperti tawuran saja, apa maumu, Septi!!”sentak Marni kepada SeptiSepti tidak menanggapi tapi para tetangganya yang menanggapi.“Itu karena ibu yang sudah mengambil barang yang bukan hak ibu.”“Ibu sudah mengambil hak orang lain, ibu mengambil barang milik Septi dan membuat suami septi selingkuh dengan anak ibu yang pelakor.”“Bahaya banget ya, disini banyak sekali pelakor. Awas hati-hati ibu-ibu, takut suami ibu direbut pelakor juga.”“Ibu tuh salahnya sudah mengambil hak orang. Kalau ibu gak mau dirumah ibu ramai orang, seharusnya ibu berpikir dulu sebelum mengambil, buk. Jangan hak orang ibu ambil.”“Tangannya sudah terbiasa maling, jadi susah deh.”Mereka mencecar Marni habis-habisan karena sikap wanita itu yang seenaknya. Memakai barang yang bukan punyanya, marni sungguh tidak tahu malu sudah meng