Secara refleks, aku langsung menjawab panggilan itu dengan memiringkan kepala, dan menatap wajahnya.
Fero terlihat sangat serius. Alisku terangkat sebelah. Suasana yang tadi hening, diisi oleh keseriusan yang terasa hangat. "Kamu ingat permainan Angklung yang pernah kita mainkan sama-sama waktu kelas 2 SMA?" tanyanya.
Langsung saja aku mengangguk dengan senyum. "Aku tak akan pernah melupakan momen-momen itu," balasku menyembunyikan rasa gugup setiap melihat wajah tampan itu. Fero tersenyum, ujung telinganya memerah.
Memang wajahnya tidak memerah, tapi ujung telinganya benar-benar memerah. Itu sebagai tanda, kalau dia malu. Sosok Fero memang hangat, tapi dia sangat susah ditebak. Namun, walau seperti itu, aku tetap mengetahui beberapa tingkahnya dengan respons dari gerakan yang sangat kuhafal sekali.
Suasana terasa sangat canggung, tapi tetap ada sensasi hangat yang bisa terasa di sudut hati. "Aku gak tau harus bilang apa ... tapi aku ingin memberikan sesuatu." Fero kembali berbicara dengan nada serius menatapku.
"Apa itu?" tanyaku sangat berharap akan pemberiannya, tak perlu mahal-mahal. Semua dari Fero sangat berharga, dan tidak akan aku lupakan.
"Aku ingin memberimu Angklung yang pernah kita mainkan ini." Fero mengulurkan tangannya ke depan, sambil memejamkan kedua mata. Entah dari mana, ada udara yang terlihat memadat di tangannya. Boom! Ledakan kecil terdengar, siluet delapan Angklung dengan jenis Pentatonis mulai terlihat di tangannya.
Aku terdiam menatap Fero tak percaya, dengan ekspresi kagum yang mungkin terlihat jelas. Dia membuka kedua matanya, menatapku sembari tersenyum tulus yang terpancar begitu indah di panca indraku.
"Ini adalah Angklung yang pernah kita mainkan, gunakan baik-baik. Angklung ini hanya bisa dimainkan olehmu. Jangan bertanya bagaimana bisa aku mendapatkan dan mengumpulkannya." Fero menjeda kalimatnya, dadanya membusung karena menarik napas.
"Aku tak meminta banyak-banyak ... hanya ... jaga Angklung yang menjadi salah satu kepingan kenangan di antara kita dengan baik. Andai suatu hari kamu ingin melupakanku, maka buanglah Angklung ini," sambung Fero menunduk, kedua tangannya mengepal.
Pandanganku berkaca-kaca. Tak tahu harus berkata apa melihatnya yang seperti ini. Aku melangkah mendekat ke arahnya, dan kemudian menangkup kedua pipi mulus itu dengan lembut. Membuat kedua netra indah di balik kacamata, bertatapan denganku.
"Fero ... jangan pernah berkata jika aku akan melupakanmu. Aku benar-benar tak akan melupakanmu, karena kau tau kalau hatiku hanya diisi oleh namamu," balasku menarik kepalanya, hingga keningku dan Fero bersentuhan.
Deg-deg-deg! Jantungku berdebar dengan sangat kencang. Apa yang baru kukatakan padanya. Wajahku kembali terasa panas, tak sanggup menatap wajah Fero, aku menundukkan kepala menatap ke arah bawah.
Suara kekehan lembut kemudian terdengar, aku mengetahui siapa pelakunya. Tidak lain dan tidak bukan, dialah Fero yang terdengar menertawakanku.
Merasa diejek, aku langsung mendongkak menatapnya kesal. Namun, semua rasa kesal itu menguap, ketika melihat rona merah pada wajah Fero. Kali ini dia benar-benar tidak menyembunyikannya.
Kedua tangannya kemudian bergerak menangkup kedua pipiku, dan menarikku seakan ingin mempertemukan kening. Namun ... perkiraanku salah. Fero membuat bibir kami saling bertautan dengan deru napas penuh kasih.
Rasa panas bak kompor kembali mendera wajahku. Aku memukul dada Fero, tak kencang tak lembut. Berusaha memberi jarak di antara aku dan dia, hingga tautan bibir di atara kami terlepas. Namun, Fero malah menahan tengkuk kepalaku dan kembali melumat dengan ganas.
Tak ada perubahan dalam pemberontakanku, aku tak menyerah dan terus memberontak. Fero mengernyitkan kening, kemudian tangannya yang lain menahan tanganku agar tidak memberontak. Lama-kelamaan, aku terhanyut dalam jalinan kasih melalui benda kenyal yang disebut bibir ini.
Decapan-decapan di antara kami terdengar menggema di sebuah tempat yang hanya ada warna putih, sejauh mata memandang. Bahkan, tak ada makhluk hidup lain selain kami.
Fero kemudian melepaskan tautan di antara kami, entah berapa lama itu berlalu. Ekspresinya Fero benar-benar berbeda, kali ini dia terlihat seperti binatang buas.
"Kau ingin marah padaku karena tak ijin dulu, pas aku cium bukan? Ma–maaf akan hal itu, tapi aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi." Fero bergetar dan menautkan kedua jarinya satu sama lain, sambil mencuri pandang ke arahku.
Aku terdiam, bolehkah aku jujur. Tak ada amarah ketika dia melakukannya tanpa izin. Aku malu untuk mengakuinya, tapi aku merasa senang ketika Fero melakukan hal tadi.
Teringin kata itu terucap dari bibirku, tapi, ketika melihat Fero yang seperti ini. Rasanya aku ingin menggodanya. "Kau jahat!" lirihku berpura-pura terluka, menunduk ke arah bawah.
Rambut panjangku menuntai ke bawah, seperti tirai. Menggunakan kesempatan ini, aku memasang ekspresi menahan tawa, ketika membayangkan bagaimana ekspresi Fero yang panik.
"Ni–nia, ma–maafkan aku! Ja–jangan maraah!" rengek Fero dengan nada bergetar. Dia meraih tanganku dan melakukan hal-hal manja layaknya kucing. Aku menahan napas.
Aku masih ingin menggodanya lebih lama! Tapi aku sudah benar-benar tak tahan dengan ini. Langsung saja tawaku pecah dan menggema, sambil menatap ke arah Fero yang membeku mencerna apa yang terjadi.
"Kau mempermainkanku?" tanyanya mengangkat sebelah alis. Tawaku langsung berhenti mendengar kalimat dari bibir yang terpatri di ekspresi serius itu.
Menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal, dan melirik ke arah lain. "Mulai nakal nih ya!" serunya mendekat dan menggelitikiku. Entah berapa lama waktu berlalu, kami bersenang-senang dengan waktu yang terasa begitu singkat.
Aku dan Fero terbaring dengan arah saling berlawanan, menatap ke atas yang hanya ada warna putih saja. "Nia, aku ingin kita seperti ini selamanya." Hatiku terasa diremas ketika mendengar kalimat itu, terucap dari bibir Fero dengan lirih.
"Aku juga ingin kita seperti ini," balasku berusaha tersenyum, menatap langit putih tanpa ada warna lain di sekitarnya. Setelah mengucapkan kalimat itu, suasana terasa sangat hening.
Sangat-sangat hening, seperti aku sedang sendiri di tempat putih tanpa ada warna ataupun benda lain. Selain Angklung yang tadi diberikan oleh Fero. "Fero ... bisakah aku kembali berharap, agar kamu tidak pergi dari sisiku?" tanyaku pelan.
iba-tiba, entah dari mana, ada partikel-partikel kecil berwarna emas terbang di hadapanku menuju langit. Aku mengangkat sebelah kening melihat itu. Ketika melihat partikel-partikel itu. Sudut hatiku terasa berdenyut kencang dan sedih.Bersinar begitu kecil dengan dampak luar biasa, sama seperti Fero. Dia bagai pelita yang terus menerangi tanpa henti. Entah bagaimana harus aku deskripsikan laki-laki tampan pujaan hati itu. Di mata dan hatiku, dia akan terus menerus bersinar tanpa henti. Aku lalu teringat pada Angklung berjenis Pentatonis yang dia berikan tadi. Kalau tak salah ingat, ada dua jenis Angklung jika dibedakan dari nadanya. Pertama adalah jenis Angklung Pentatonis yang terdiri dari dua bambu di bagian dalamnya. Kedua, jenis Angklung Diatonis yang terdiri dari tiga bambu. Senyumku kemudian merekah, dan menoleh ke arah Fero berbaring. "Fe–ro?" panggilku dengan kening mengernyit sarat akan tanda tanya. Tak ada seorang pun di bekasnya dia berbaring tadi. Bangkit dari posisi re
Tubuhku yang tak bisa bergerak ini langsung tersentak, kala ada panel transparan atau hologram muncul begitu saja tanpa aba-aba, disertai sebuah dentingan bak lonceng. Panel di hadapanku ini menampilkan kalimat Loading, dengan angka persen yang semakin bertambah setiap detiknya. [Notifikasi! Menampilkan data biografi Majikan ....] Begitu angka persen yang berada di tengah lingkaran hologram mencapai angka seratus persen, kalimat baru dalam layar hologram muncul, menampilkan data-data seperti game. Nama : [Lania Herberts] Usia : [18 tahun]Item : [Angklung Kenangan]Skill : [Melodi Penghilang Kesedihan ; F-]STR : [10+]AGI : [4+]VIT : [10+]Level : [1]Rank : [F-] Ringkasan : [Memiliki potensi untuk menjadi karakter dengan skill Support (Pendukung), Hitter (Penyerang), Healer (Penyembuh), Mage (Penyihir Tinggi), Ranger (Penyerang Jarak Jauh).] "Apa ini?" tanyaku pelan, melihat dengan kening mengernyit ke arah hologram yang menampilkan kalimat-kalimat seperti dala
[Notifikasi! Jika Majikan tak kuat untuk melihatnya, diharapkan agar menutup mata dan tak melihat adegan yang begitu menyakitkan ini!] Aku menggelengkan kepala, tak bisa mengalihkan fokusku sedikitpun dari adegan kehancuran dunia yang seperti kiamat ini. Di saat meteor itu terpecah, terlihat seperti gelas yang jatuh secara perlahan. Begitu indah untuk dilewatkan. [Notifikasi! Sistem sudah memperingatkan!] Hanya mengangguk sebagai jawaban. Begitu pecahan-pecahan meteor di depan mataku ini menembus atmosfer, semuanya langsung jatuh dengan cepat karena tarikan gravitasi. Ribuan teriakan meminta tolong, maaf, penyesalan, marah, khawatir, takut, semuanya bercampur aduk dalam gema alunan di gendang telingaku, sebelum pecahan meteor ini merenggut nyawa mereka. Booomm! Dentuman keras terdengar di mana-mana pada saat yang bersamaan. Embusan angin yang lebih cepat dari topan bergerak ke setiap sudut mata angin tanpa berhenti sedikitpun. Abu merah yang lebih panas dari gunung merapi menya
Ghooarr! Teriakan Monster Dungeon yang berhasil menguasai satu tempat. "Four-Horned Dragon?" aku membaca kalimat yang tertulis dari Dungeon Monster itu berada. Artinya adalah Naga Empat Tanduk. Sesuai seperti tampilan Monster dengan jenis naga ini. Empat tanduk yang berada di atas kepala itu melindungi sesuatu yang dinamakan 'Core' atau 'Inti Kehidupan'. Aku tak menyentuhnya, tapi aku tau dari banyak Monster lain yang menyerangnya. Four-Horned Dragon, atau Naga Empat Tanduk itu benar-benar memiliki kulit yang lebih tebal dari baja. Ditambah, tampilan kulitnya bagai tanah yang tandus dialiri oleh lahar panas merah menyala. [Notifikasi! Tampilan sejarah sudah selesai, diharapkan Anda mampu memahami semua pemahaman di Planet Qeluav ini. Karena telah selesai, secara otomatis sistem mengirim jiwa Anda kembali ke tubuh 'Sofein Meqsesa Lachenfort'] [Notifikasi! Selamat tinggal!] Sebuah panel hologram tiba-tiba kembali muncul di hadapanku, dan seketika itu juga. Aku dalam bentuk roh atau
Judul : []Rank : [C-]Misi : [Buat para tamu undangan ikut merasakan kesedihan bersama Monster yang keluar dari Dungeon peringkat B plus, biarkan mereka mengetahui emosi kesedihan Anda!]Bonus : [400 Coin] [???]Gagal : [Mati]Batas Waktu : [-][Terima] [Tidak]*Jika Anda menolak akan ada penalti yang lebih berat dari pada kematian!"Hei! Apa yang kamu liat ke arah situ? Emangnya aku sedang berdiri di sana? Atau otakmu sudah oleng setelah jatuh dari lantai dua, ditambah mengguling-guling di tangga?" suara ketus dari pria yang menyandang status suamiku ini agak mengesalkan ya.Apa di matanya, aku ini itu mirip seperti Lumpia yang berguling-guling di atas tepung agar menjadi renyah untuk digigit? Tentu saja tidak, aku adalah Lania Herberts yang terjebak dalam tubuh Sofein Meqsesa Lachenfort ini. Andai kemarin aku tak bertemu dengan Fero di alam bawah sadar, mungkin sekarang akan berlari ke dapur dan meraih pisau untuk mengakhiri hidup yang baru saja di
Aku terdiam di depan pintu, meraih gagang kemudian menarik pintu itu hingga terbuka lebar. Memperlihatkan postur tubuh Rafeon yang mendekatkan telinganya seperti orang yang menguping. Alisku terangkat sebelah penuh tanda tanya menatapnya. Namun tak ada rasa peduli.Mengalihkan pandangan untuk menoleh ke arah Riana, aku tersenyum sinis. "Silahkan keluar, karena aku harus bersiap-siap untuk pesta ini. Sesuai kalimat kalian, untuk tidak berbuat hal-hal yang memalukan malam ini." Di dalam hati, aku tersenyum sangat puas setelah mengembalikan kalimat itu.Riana berbalik dan menatapku tak percaya, mungkin dia sedang kebingungan karena tubuh ini tak bertingkah seperti pemilik aslinya. Wanita dengan gelar istri pertama itu belum mengetahui, kalau jiwa yang sudah mengisi tubuh Meqsesa ini sudah berbeda.Tentu saja tak akan ada lagi penindasan tak adil terhadapku. Mengarahkan tatapan sinis ke arah Rafeon yang membeku, aku menegaskan kalimat lembut ; "Ah ya, tolong bawa Istri Pertamamu itu kelua
Mendengar suara Riana, aku langsung terbangun dari khayalan masa lalu yang membuat sudut mata menjadi berair setiap kali mengingatnya. Bergerak meraih gagang dan memutarnya, pintu terbuka secara perlahan."Aku sudah siap," jawabku singat dengan wajah dingin. Riana membulatkan mata seperti kesal, dia juga meremas gaun merah nan megah yang melekat pada tubuhnya, walau tak ada yang melihat selain aku. "Hei! Bagaimana bisa kau mendapat gaun indah seperti itu? Honey, apa kamu membelikannya gaun itu?" kalimat Riana terdengar seperti tak suka melihatku dengan gaun seperti ini, dia kemudian bertanya pada Rafeon yang berdiri di sampingnya. Pria itu menggeleng sambil mencuri pandang ke arahku, lalu membuang wajahnya ke arah lain. Berbeda dengan reaksi Riana, perempuan dengan gelar istri pertama menatapku dengan senyum smirk.Kipas lipat dengan warna senada dengan gaun merahnya mengembang menutupi bibir. Pandangannya begitu sinis ke arahku. "Apa kamu ada bermain ranjang dengan pria lain di bel
"Andai aku memiliki kekuatan untuk memutar waktu, maka semua itu akan aku gunakan agar aku tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini." Bibirku kembali menyambung kalimatnya tanpa aku gerakkan. [Notifikasi! Meqsesa yang asli mengendalikan dirinya, dan mengungkapkan semua kalimat yang belum tersampaikan sebelumnya!] [Notifikasi! Anda berhasil menyelesaikan misi berkat bantuan dari Meqsesa yang asli!] [Notifikasi! Anda menerima 200 Coin!] [Notifikasi! Anda diberikan sebuah tiket untuk mengundi skill di panel undian!] [Notifikasi! Bar tampilan Coin akan ditambahkan pada biodata Anda!] Bertepatan dengan selesainya kalimat tadi, dentingan lonceng pun terdengar bersamaan dengan munculnya sebuah layar hologram secara beruntun di hadapanku. Semuanya mengejutkan, karena muncul secara tiba-tiba. Namun, yang paling mengejutkan adalah ketika membaca; bahwa Meqsesa sedang mengendalikan tubuh ini. Napasku serasa tercekat di tenggorokan ketika membaca itu. Ini berarti, Meqsesa yang entah di m