D 111 NDA
"Bu, bisakah Ibu mengurusnya?" tanya Hasan."Kan ada istrimu, Dinda! Mengapa Ibu?" tolak bu Nafis."Tapi Bu, Dinda kan-""Alah biarkan dia yang mengurusnya! Harusnya dia yang mengurus keperluan suami bukan Ibu, sifat Ibu hanya membantu saja," potong bu Nafis."Mosok kau tega menyuruh Ibu yang mengurusnya? Kau tak lihat toh kaki Ibu juga masih sakit nih buat jalan bengkak," kata Bu Nafis."Anak saya juga habis operasi kuretase kapan hari Ibu Nafis yang terhormat! Ibu jangan pura- pura bodoh dan lupa! Bahkan bukan kakinya yang di operasi tapi rahimnya," jawab papa Dinda penuh penekanan."Ya kan kuretase doang, Pak! Rahim juga di dalem bukan di luar, amanlah tak akan apa- apa! Sedangkan saya ini jelas bekasnya, kuret itu lebih tak sakit di bandingkan operasi kaki ini! Wong jelas saya mengalami patah kaki yang lebih parah, lagian wong orang tua di suruh- suruh! Apa ndak punya pikiran," sindir bu Nafis."Maaf Bu ini jadinya siapa yang ikut dPERDEBATAN SENGIT PAPA DINDA VS BU NAFIS!Hasan memandang wajah istrinya dalam- dalam. Seolah meminta penjelasan apa maksud semua ini. Padahal Dinda baru saja beberapa hari ke Kediri. Tapi dia makin tak mengenal istrinya saja."Apa maksud semua ini, Dek?" tanya Hasan."Kenapa Mas? Aku tak bermaksud apa-apa, Mas," jawab Dinda santai."Kenapa wajahmu merah seperti itu Hasan? Emang benar anakku tak bermaksud apa- apa kok! Wong anakku kan sudah jujur berkata padamu. Aku membelikan anakku mobil dan itu memang ku berikan untuk Dinda, di mana masalahnya? Apa salah orang tua memberikan harta ke anak mereka? Memang masalah?" tanya papa Dinda sekaligus menyindirnya.Hasan terdiam mendapat sindiran begitu dari papa mertuanya. Dia hanya bisa diam dan pasrah. Tak mungkin saat ini langsung bertanya pada Dinda di depan keluarganya. Tentu itu akan memicu dan memunculkan konflik baru. Bu Nafis segera keluar ruangan menggeret Ifah. Mau tak mau Ifah mengikutinya."Loh Ibu
DEDEMIT KARNAVAL PEMBONGKAR MASA LALU HASAN!"Eh ajari juga tuh besanmu, Dinda! Biar dia tahu, bahwa banyak yang lebih kaya darinya! Jualan sayur aja gayanya selangit," blas papa Dinda tak mau kalah.Skakmat! sekarang Bu Nafis tidak bisa membalas lagi ucapan Papa Dinda. Dia melengos sambil meninggalkan keluarga Dinda di sofa. Tak lupa melemparkan BPKB itu ke atas meja lagi tanpa punya sopan santun lalu duduk di samping Hasan. Tak lama kemudian Ifah juga kembali bersama seorang perawat dan dokter yang bertugas memeriksa Hasan."Saya periksa dulu ya, Pak Hasan," ujar dokter itu."Wah sudah bagus kok ini! Bisa pulang, tapi ingat nanti seminggu lagi kontrol untuk melepas jahitan ya," perintah dokter itu."Baik Dok, terima kasih ya, Dok! Terima kasih," jawab Hasan."Nah untuk sementara jangan dibuat mandi dulu ya! Khusus tangannya saja, biar benar-benar kering jahitannya, takutnya ini akan menjadi borok jika terkena air," jelas Dokter."Lalu kalau sholat,
PEMBELAAN ATAU PENGHINAAN?"Lho kau tak tahu? Ini mantuku kan baru beli mobil mahal, loh! Cash dan kontan tak pakai acara kredit! Kau tahu mobilnya apa? Pajero! P-A-J-E-R-O mobil orang kaya tak seperti anakmu yang Avanza, sorry lho ya! Hasan itu batuk-batuk kalau naik mobil Avanza, debu," kata bu Nafis otomatis menyombongkan Dinda."Menantumu si Dinda dapat duit dari mana? Dia jangan-jangan?" ucap bu Damar mengompori."Jangan- jangan apa? Tak kruwes mulutmu kapok! Kau jangan menuduh menantuku aneh- aneh! Kau buta? Tak lihat tuh ada Besanku, wong Besanku ke sini menjelaskan semua nya kok berkaitan dengan mobil itu," bela bu Nafis pada Dinda."Wong jelas- jelas mobil Pajero itu di berikan Papanya, bahkan tadi BPKB nya di tunjukkan langsung padaku, jadi buang jauh- jauh pikiranmu itu! Kau jangan memikirkan hal yang aneh-aneh, tak mungkin menantuku itu aneh-aneh! Wong badannya saja gendut, jemblem,, bunder ginuk- ginuk seperti botol minum mixue seperti itu kok! Mana
BERKAH MERTUA BAIK?"Kalau kamu sayang sama aku maka aku juga sayang sama kamu, Mas! Kalau kamu cinta sama aku, aku pun akan cinta juga sama kamu! kalau kamu sakitin aku, nggak papa aku terima saja! Kalau kamu bohongi, aku bodo amat! Kalau kamu pergi dari hidupku, silahkan saja! Tapi ingat ya, kalau kamu pengen kembali setelah kamu pergi dari hidupku, aku tak akan pernah menerimamu lagi! Aku tuh orangnya simple, cuma aku kasih satu kesempatan tanpa berkali-kali! Camkan itu baik-baik," ancam Dinda dengan tegas."Apa itu artinya kau takut kehilanganku, Dek?" tanya Hasan."Bohong jika aku tak mengatakan aku takut kehilanganmu, Mas! Sebagai seorang Istri aku tentu saja takut kehilanganmu, tapi aku berpasrah pda Allah! Karena aku sadar kalau ada dua hal yang bisa menyababkan aku kehilanganmu," jawab Dinda."Apa itu, Dek?" tany Hasan lagi."Petama karena kehilangmu kau di ambil Allah, ke dua diambil wanita lain! Aku takut, tetapi aku tak menerima lelaki yang tak s
MELABRAK EPISODE 1"Halo guys! Aku sedang menaiki mobil menantuku tersayang, Dinda istri Hasan! Tuh gaiss ini mobil Pajero, mobil orang kaya dan mewah! Menantuku itu membelinya dengan cash loh, Alhamdulillah ya berkah mertua baik mendapatkan menantu yang baik pula," kata bu Nasif narsis.'Uhuk' Uhuk' Dinda langsung terbatuk-batuk mendengar ucapan bu Nafis barusan. Apa mertuany sedang kesurupan? Atau apa? Bisa bisanya tanpa rasa berdosa dan bersalah menyebut berkah mertua baik. Dari mana bisa dia mengatakan hal itu dengan percaya dirinya serta tanpa bersalah pada sosial media. Padahal kenyataannya Dinda tak pernah di anggap menantu oleh bu Nafis."Ehem! Hukum berbohong itu berdosa loh, Bu!" sindir Dinda."Cerewet," bentak Bu Nafis.Akhirnya Dinda membiarkan bu Nafis dan Ifah berpuas diri membuat instastory di sosial medianya. Dinda tahu betul takaran kebahagiaan orang itu berbeda. Mungkin adik ipar dan mertuanya begitu saja bahagia. Tak masalah selama i
WANITA ITU PASTI TERLIHAT SALAH"Pulanglah dulu Mbak, sampean itu emosi. Besok datang lagi ke sini kalau kau datang baik- baik aku akan menerimamu baik- baik. Tapi jika kau datang seperti ini siapa yang mau berbicara denganmu?" tanya Dinda."Kamu melindungi adik iparmu itu?" sahut wanita itu"Demi Allah, aku tidak melindungi adik iparku," ujar Dinda.Dinda saat ini ingin mengasah ilmu negosiasinya seperti dulu. Saat ini wanita di depannya hanya sediri. Bukan dengan rombongan yang bisa mengompori. Harusnya lebih mudah untuk bernegosiasi dengan wanita ini."Mbak, dengarkan aku. Posisiku di sini sebagai ipar juga bukanlah saudara kandung. Sampean tahu kan bagaimana posisi ipar? Akan serba salah dalam keluarga suaminya, apa Mbak juga tak tahu itu? Aku begini karena aku ingin jalan yang terbaik untukku dan untuk Mbak," jelas Dinda."Apa maksudmu?" tanya Wanita itu."Juju saja, memang benar adikku ipar ada di dalam rumah, tetapi jika kau datang ke sini den
KEDUDUKAN MENANTU DALAM KELUARGA SUAMI!"Entahlah Mas, bodohnya Dinda tadi tidak menanyakan siapa! Tapi yang jelas namanya adalah Nova," jawab Dinda."Apa Nova?" tanya Mbak Alif terkejut."Iya Mbak, namanya Nova. Ini tadi Dinda juga sudah bernegosiasi untuk menyuruhnya datang ke sini lagi besok dengan cara yang baik-baik, jika dia menggunakan cara seperti itu, maka Dinda tidak akan membukakan pintu untuknya lagi," jelas Dinda."Bodoh mngapa kau mengatakan seperti itu?" hardik bu Nafis otomatis yang melupakan keberadaan orang tua Dinda di sana."Lah Ibu mau dia tetap teriak- teriak seperti itu dan semua tetangga datang?" sahut Dinda."Lah kau tak pakai otak? Bagaimana jika justru wanita itu nanti kembali lagi besok ke sini membawa rombongan orang yang banyak? Apa kau tak memikirkan sampai sana resikonya?" bentak bu Nafis mulai emosi."Bu, itu keputusan yang Dinda rasa paling mudah saat ini!" sahut Dinda."Jika memang Ibu tak terima dengan keputusa
KEPERGIAN PAPA DINDA TANPA BANYAK KATA!"Apakah artinya kau tak mau lagi terlibat dalam masalah ini, Dek?" tanya Hasan sambil menatap mata Dinda dalam- dalam."Juju saja, Mas! Aku sebenarnya mau-mau saja turut campur dalam masalah ini, Mas! Aku ikhlas dan tak keberatan, dari pada dalam masalah ini tak selesai. Mengingat aku juga sudah menganggap keluarga ini seperti keluargaku sendiri, terutama Ifah yang sudah mulai dekat denganku, tetapi mengingat semua ucapan Ibu yang tak pernah sedikitpun mau menghargai dan mengerti semua pengorbanan dan usahaku untuk keluarga kalian, jujur saja aku sedikit tersinggung, Mas," jawab Dinda."Rasanya kok semua yang aku lakukan dan apa yang selama ini aku korbankan ini tak bernilai sama sekali, padahal aku murni melakukannya untuk keluargamu, Mas! Aku sampai mengesampingkan keluargaku sendiri, bahkan egoku, untuk tetap bisa bersamamu! Sampai detik ini rasa itu tak pernah berubah. Tapi sepertinya Ibu kurang menghargainya, sebenarnya a