KEBANGKITAN DINDA,
"Ya Allah, Mas! Apakah sebegitu marah mu? Sampai kau tak peduli lagi denganku?" batin Dinda dalam hati.Dinda menangis dalam hati. Air matanya juga meleleh membasahi bantal tempat kepalanya tidur. Papa Dinda melihat itu dalam hatinya bergemuruh hebat gejolak amarah pada Hasan menantunya. Dia seperti ini tak terima mengapa anaknya diperlakukan seperti ini. Hasan seperti memberi harapan yang tinggi seolah-olah dia akan datang kemari, dengan segala emosinya sampai mematikan telepon dari mertua. Nyatanya sampai detik ini juga tak datang juga."Tak usah lah kau menangis, Nduk! Untuk apa kau menangisi lelaki semacam itu? Hanya membuang air mata dan tenagamu saja, tak bergun! Bangkit dan balaslah semua sakit hatimu itu dengan sebuah pembuktian, buktikan bahwa kau lebih mampu dan kuat untuk berdiri di atas kakimu sendiri! Bukankah Papa sering berkata padamu, jangan terlalu berharap pada manusia, karena itu akan menyakiti dirimu sendiri," ucap papa Dinda.<WANITA MEMANG GAMPANG LULUH,"Dinda sepertinya masih tidur ini, Mas! Apakah kau benar-benar mau berbicara padanya? Jika memang benar ini berbicara dengan Dinda? Aku akan membangunkannya untukmu," ujar papa Dinda."Kalau memang Dinda nya sedang tidur tak usah, Pak! Kasihan kalau dibangunkan. Dia mungkin masih lelah juga, kalau begitu nitip salam saja ya, Pak. Nanti kalau memang Dinda sudah siuman tolong diberitahukan bahwa Hasan belum bisa menengok ke sana, kami keluarga juga belum bisa menengok ke sana," kata Mas Andri."Nanti setelah sadar dari operasinya, kan mungkin tengah malam hari, insya Allah kami akan menghubungi Dinda lagi jika diperkenankan," izin Mas Andri pada papa Dinda karena dia tahu dari nada bicaranya Papa Dinda sudah terkesan marah dan tak terima."Oh iya Mas iya tak apa-apa, tolong sampaikan salamku juga pada keluarga sana ya! Kita saling menjaga anak masing-masing dulu, karena kami pun tak dapat ke sana juga saat ini. Seperti yang kalian tahu sendiri, kondisi Dinda
LAGI ULAH BU NAFIS,"Ya Allah lindungilah suamiku, lancarkan operasinya! Kembalikan nyawanya dalam raganya, aku belum siap menjadi janda, ternyata aku sangat takut kehilangan suamiku," kata Dinda dalam hati.Dinda menunggu dengan hati yang berdebar-debar dan cemas. Dia berharap semoga keluarga Madiun segera menelpon padanya. Detik demi detik dia menunggu, rasanya jam berjalan sangat lambat. Akhirnya penantian itu sampai, suara nyaring bunyi panggilan call masuk di HP papanya."Pah, Papah bangun! Pah itu Mas Hasan sedang menelpon mungkin! Tolong angkat Pah," perintah Dinda berusaha membangunkan papanya yang baru saja terlelap.Dinta sebenarnya juga tak ingin membangunkan papanya. Tetapi bagaimana lagi, hanya itu yang bisa dilakukan sekarang. Dengan mengucek matanya dan mengumpulkan kesadaran Pak Bukhari bangun. Kepalanya sekarang terasa agak pusing dan berat. Mengingat dia baru tidur sekejap dan dibangunkan. Pak Bukhari mengambil hp-nya yang berada di atas nakas.
BU NAFIS OH BU NAFIS"Dan Ibu tahu kan, gara-gara itu juga Mas Hasan juga harus menjalani operasi sampai patah tulang tangan seperti ini," lanjut Dinda."Eh Dinda semprul dengarkan aku ya! Siapa yang mau meminta musibah seperti ini? Tak ada yang mau dan tak ada yang ingin menjalani musibah! KAu tak tahu agama? Yang namanya musibah itu tidak bisa dipinta dan kita tidak tahu tanggal apesnya karena tak ada di kalender," hardik bu Nafi."Kau itu asal ngomong saja! Menuduh Ibu dan menyalahkan orang tua! Mbok ya di maklumi, yang namanya orang tua itu tempat salah dan mudah lupa, tapi Ibu tak berarti membuatmu dan Hasan cekcok juga! Tak ada niatan sedikitpun begitu! Kau harusnya intropeksi diri, mengapa hanya menyalahkan Ibu? Itu sih salah kamu yang tak bisa menjaga kandungan sampai gugur, kau emosi dan melampiaskannya padaku? Hah?" bentak bu Nafis terpancing emosi dengan perkataan Dinda."Kalau orang yang becus mah bisa menjaga kandungannya! Lagian ku kan malad sekali
BERDAMAI DENGAN EGO MASING-MASING "Balaslah perlakuan mertuamu itu! Sampai kapan kau mau dijajah dan ditindas seperti ini?""Tapi Dinda masih ingin kembali dengan Mas Hasan, Pah! Rasanya Dinda tak sanggup menjadi janda di usia ini, Pah," ujar Dinda lirih."Papa kan tidak menyuruhmu untuk berpisah dengan Hasan! Papa juga sudah menimbang omongan Mamamu semalam, Papa akan bersalah jika ikut campur urusan rumah tangga kalian. Papa hanya berkata kau harus bangkit dan kau harus bisa membalas semua perlakuan mertua itu," jelas papa Dinda."Bagaimana caranya, Pa? Sedangkan untuk bekerja saja di luar rumah Dinda tidak diizinkan oleh Mas Hasan," Kata Dinda lirih."Mengapa kau tak berpikir sampai sejauh itu? Kau bisa beralasan kerja di rumah kok, bisa berdandan dan zoom meeting dengan orang-orang di kantor, kau bisa pilih salah satu perusahaan Bapak yang ada di Kalimantan! Itu kan memerlukan zoom meeting hampir setiap hari, dan pekerjaannya bisa santai sambil ke cafe atau jalan-jalan. Kau hanya
JANGAN ADA IBUMU DIANTARA KITA, MAS!"Memang Ibu mengatakan apa saja padamu, Mas?" tanya Dinda memancing Hasan."Ibu kemarin mengadu padaku jika kau dijemput oleh seorang lelaki memakai jas dan naik mobil Alphard, Dek! Kita kan baru saja baikan, Mas tak akan marah padamu! Jika kau jujur andaikata itu adalah rental atau kau menyewa mobil tak masalah bagi, Mas," kata Dinda."Itu kan uangmu juga, tak ada Mas melarang-larang! Malah Mas justru merasa lebih lega jika itu terjadi daripada kau pergi dengan lelaki lain," kata Hasan."Mas, bisakah jangan ada ibumu diantara kita?" tanya Dinda."Apa maksudmu, Dek?" kata Hasan tak mengerti."Jadi kemarin papa menyuruh sopir menjemput Dinda, karena Papa khawatir jika naik travel sopirnya tidak safety atau ugal-ugalan. Aku menggunakan sopir Papa bukan sopir sembarangan," jawab Dinda."Sopir Papa?" tanya Hasan heran."Mas lupa bahwa Papa, itu juga bekerja di sebuah perusahaan besar tentulah dia punya kendaraan p
TEKAD DINDA!"Kalau itu, Ibu hanya bisa menyarankan bagaimana jika meminta uang penjualan mobil Dinda?" sahut bu Nafis."Bu, jangan berkata yang aneh-aneh begitu! Tak mungkin aku meminta uang itu pada Dinda sekarang ini. Uang penjualan mobil murni adalah hak Dinda, jika boleh jujur saja sekarang aku malu sekali, Bu,""Malu kenapa?" tanya bu Nafis. "Bagaimana Hasan tidak malu, Hasan kepikiran bagaimana Dinda membayar biaya semua nya di sana? Bukankah kuretase itu juga memerlukan biaya mahal, Bu? Dan yang seperti Ibu tahu saat ini, aku sama sekali tak memiliki uang untuk membiayainya," jawab Hasan.Bu Nafis langsung terdiam mendengar pernyataan itu dari putranya. Dia juga tak ingat kalau di sana Dinda sedang menjalankan operasi kuretase. Tetapi setidaknya di sana Dinda memiliki cadangan uang yang lumayan banyak hasil penjualan mobil. Jadi tak usahlah sebenarnya Hasan memikirkannya itu dalam-dalam, yang penting dia bisa keluar dari rumah sakit ini dengan biaya
KEDATANGAN ARIF DI RUMAH SAKIT"Assalamualaikum," teriak seseorang dari luar ruangan tempat Hasan dirawat."Waalaikumsalam," sahut bu Nafis sambil membukakan pintu.Ternyata itu adalah Arif dan beberapa anggota kepolisian lainnya. Mereka datang dengan pakaian rapi untuk mewawancarai Hasan. Hasan pun datang dengan membawa buah tangan untuk Hasan.Melihat kedatangan Arif sebenarnya hati Hasan memburu karena marah. Tetapi dia ingat, Arif saat itu memang bagian laka lantas tentulah dia akan banyak bertanya mengenai kejadian tabrakan yang dialaminya kemarin. Arif juga datang bersama beberapa temannya, tak mungkin juga sekarang dia marah dan meluapkan emosinya berkaitan dengan urusan pribadi. Dengan berjalan santai Arif menghampiri ranjang Hasan."Bagaimana, Mas Hasam keadaannya?" tanya Arif sambil menepuk bahu Hasan."Seperti yang kau lihat," sahut Hasan sambil tersenyum sinis.Ifah kebetulan keluar dari kamar mandi juga melihat kedatangan kekasih hatinya
TEROR DM IG[Akhirnya aku bisa keluar dengan Mas Arif dengan persetujuan Mas Hasan, Mbak]Send Ifah mengirimkan gambar. Kemudian Ifah juga mengupload status itu di sosial medianya dengan menutupi wajah Arif. Tanpa disangka itulah awal musibah bagi Ifah terjadi. Seharian ini Ifah bersama Arif. Kali ini hatinya tenang, karena tak dapat teror lagi dari kakak lelaki dan keluarganya. Dia mengurusi semua keperluan jasa Raharja kakaknya bersama Arif. Bahkan mereka menyempatkan diri untuk makan siang bersama. Tampak mereka sangat serasi sebagai pasangan bapak dan anak sebenarnya. Wajah Ifah terlalu baby face untuk usia Arif."Mas, maafkan perlakuan kakakku tadi ya," ujar Ifah di sela-sela makan mereka."Tak masalah, Mas lebih tahu bagaimana menghadapi orang-orang seperti Mas mu itu, masak mau meragukan Mas?" goda Arif.Ifah tersenyum simpul. Dia bahagia memiliki pasangan yang lebih dewasa. Karena begitu mengerti mengayomi dan melindunginya. Ifah seperti menemuk