MENIKAH ALA INDIA BU NAFIS!
"Ck! Dari tadi tak peka. Dasar menantu tak perhatian! Harusnya tanpa Ibu bicara pun kau mau membayar Ibu," ujar Bu Nafis."Baiklah kalau begitu," jawab Dinda pasrah."Bener Din? Bener kamu mau bayarin?" tanya Bu Nafis dengan wajah berbinar gembira."Iya tapi ada syaratnya, Bu," pinta Dinda."Ck! Kamu itu mau bayarin mertua sendiri kok pakai syarat-syarat segala. Ikhlas tidak sih?" protes Bu Nafis."Ya kan biar adil, Bu. Jadi sama-sama enaknya, toh syaratnya ini gampang sekali. Mau tidak?" tanya Dinda."Syarat apa toh? Kenapa harus seperti pakai syarat segala. Itungan dengan sekali kamu itu," keluh Bu Nafis."Semua mah tergantung dengan Ibu, mau tidak? Kalau Ibu mau dia juga harus mengikuti syarat Dinda," jelas Dinda. Akhirnya Bu Nafis pun menghela nafas panjang, akhirnya Bu Nafis pun menghela nafas panjang. Daripada dia tidak mendapatkan Mua dan pernikahan impiannya seperti di negeri dongeng akan batal, apalagi rencanNASEHAT IPAR!"Rasanya itu tak sebanding kan, Mas?" sambung Dinda. Hasan langsung terdiam mendengarkan semua penjelasan Dinda. Dia tahu sang suami sebenarnya hanya merasa harga dirinya sedang di rendahkan. Apalagi sang istrinya sangat tahu suaminya itu sangat gengsian sekali. Dia tak ingin terlihat lemah bahkan di hadapan istrinya padahal Dinda pun juga tak pernah keberatan jika sang suami terkadang mengeluh kepadanya. Hanya saja perasaan Hasan untuk mengeluh itu sangat tertutupi oleh gengsi yang dimiliki."Benarkah begitu, Dek?" tanya Hasan."Apakah kau tak percaya padaku, Mas?" sahut Dinda."Terima kasih ya," kata Hasan. Dinda pun menganggukkan kepalanya."Oh iya, Mas. Rasanya kita tak perlu pindah sekarang," ujar Dinda."Tak perlu pindah? Apakah kau yakin? Bukankah kau yang dari tadi ingin pindah rumah, Dek? Mengapa kau mendadak berubah pikiran?" tanya Hasan sambil mengernyitkan keningnya dengan heran. Dinda hanya menyengir dan tersenyum."Kan kau
POKOKNYA SEMUA KUDU MENYUMBANG!!!!"Ck! Bukannya apa-apa, Din. BUkannya Mbak Eva juga melarangmu, tidak begitu. Hanya saja Mbak Eva takut jika kau nanti akan dimanfaatkan oleh keluarga suami kita. Apalagi jika suami dan mertua tau siapa sejatinya dirimu," jelas Eva khawatir. Dinda tersenyum senang melihat kakak iparnya yang begitu tulus dengannya. Diantara seribu cobaan yang menerpa kehidupan rumah tangganya, dia sangat bersyukur karena memiliki ipar yang begitu perhatian dengannya. Dinda memeluk erat Eva dari samping dan mengelusnya."Terima kasih ya, Mbak. Mbak Eva sangat perhatian sekali denganku. Tapi sekarang Dinda yang ini bukanlah Dinda yang dulu. Jadi Mbak Eva tenang saja, Dinda tahu kok mana cara terbaik untuk mengakali semua permintaan Ibu. Mbak Eva tak usah takut aku akan dimanfaatkan oleh ibu," kata Dinda berbisik."Iya Dek, kau jangan terlalu baik pokoknya dengan Ibu. Sekalinya kau baik padanya, sekalinya kau perhatian dengannya maka Ibu langsung akan m
KEDATANGAN LARAS"Bu, sudahlah. Apalagi sih yang ingin Ibu tuntut sekarang, Bu? Kan kesepakatannya pernikahan Ini sederhana. Mengapa sekarang merembet sekali? Sudahlah Dinda menuruti semua keinginan Ibu untuk memakai MUA mahal, memakai ini dan itu, jangan menuntun anak-anak Ibu lainnya, Bu. Berikan kesempatan Mas Zain juga untuk berubah," keluh Hasan. Mbak Alif, Mas Zain hanya bisa menganggukkan kepalanya setuju semua usul Hsan. Apalagi dengan konsep pernikahan sederhana yang dibayangkan oleh mereka, ternyata tidak sesederhana apa yang diinginkan Bu Nafis. Mbak Alif pun hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia sudah mengeluarkan uang tak kurang dari lima juta juga untuk konsumsi."Kan konsumsinya sudah Mbak Alif juga, Bu. Bahkan semuanya sudah clear rasanya, dekor, Mua, makanan, lalu apalagi yang kurang sih, Bu?" tanya Hasan."Ya pokonya tetap kurang karena Mas mu belum menyumbang apapun. Jika Zain sudah menyumbang apapun. Aku pasti tak akan protes," sanggah Bu Nafis
PATAH HATI ANAK PEREMPUANNYA!"Dek, kau kenapa? Kau menangis? Kau dari mana tadi?" tanya Dinda."Dari makam Ibu, Mbak," ucap Laras. Mendengar jawaban Laras, Dinda langsung terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Laras menyeka air matanya, dia menatap Dinda dengan tatapan nanar. Matanya berkaca-kaca tanda masih menyisakan tangisnya."Mbak, entah kenapa tadi Laras tiba-tiba merasa bersalah dengan Ibu," gumam Laras."Kenapa kau berpikir seperti itu, Dek? Jangan menyalahkan dirimu sendiri," ucap Dinda."Karena Laras menyetujui pernikahan Papa dan Bu Nafis, Mbak Dinda. Bahkan rasanya Laras seperti berkhianat kepada Ibu, Mbak," jawab Laras."Hust!!! Jangan begitu, Dek. Jangan pernah berkata seperti itu, Dek. Tidak ada yang mengkhianati Ibumu, sungguh. Memang terkadang di dunia ini tak semua berjalan sesuai apa yang kau inginkan dan semua ekspektasimu. Karena memang ada takdir terbaik yang sudah di tulis gusti Allah dan berjalan tidak sesuai keinginan kita, De
BU NAFIS CALON IBU TIRI YANG LEMAH LEMBUT!"Iya Mbak, tapi kemungkinan memang aku dan Laras tak akan datang, Mbak. Kami masih berusaha untuk menerima semua ini dan butuh waktu," terang Laras."Iya, Dek. Mbak Dinda mengerti dan menurut Mbak Dinda itu juga bukan suatu perbuatan yang berdosa. Memang paling sulit itu adalah berdamai dengan keadaan kita sendiri, Mba Dinda paham itu, jadi tenanglah. Mbak Dinda tidak akan memarahimu, tak akan mengkritikmu, ataupun menyalahkanmu. Mbak Dinda akan mencoba untuk mengerti dan jika memang kau tak keberatan maka kau bisa bercerita kepada Mbak Dinda, apapun yang sedang kau rasakan. Jadi jangan kau pendam semuanya sendiri ya," kata Dinda."Dek, terlalu berat untukmu beban ini. Jadi bagilah kepada Mbak Dinda," sambungnya. Laras pun langsung memeluk Dinda. Dia sungguh terharu dengan semua ucapan Dinda. Tak menyangka jika akan mendapatkan kakak meskipun tak sekandung, tak sedarah, dan tak serahim, namun memiliki kebaikan hati seperti
NASEHAT DINDA UNTUK MERTUANYA!"Apakah papamu tidak mengatakannya padamu?" tanya Dinda dengan tanda tanya yang besar."Tidak Mbak. Papa tidak pernah mengatakannya kepadaku. Kata Papa kami tidak perlu tahu karena semuanya akan diurus Papa, kami hanya tinggal terima beresnya, sangking tinggal terima beresnya sampai kami tidak tahu apa yang sebenarnya Papa rencanakan dan bagaimana pernikahan mereka nanti. Papa hanya memberikan kami baju, mengajak kami shopping dan mengatakan ini akan dipakai untuk pernikahannya tanpa berkata apapun," terang Bu Nafis. Dinda hanya menghela napas panjang dan membelai rambut Laras. Mungkin ini juga yang menyebabkan Laras jauh dari Papanya. Karena pak Hendi tetaplah sama seperti lelaki di luaran sana yang tak mengerti jika wanita itu lebih memiliki perasaan yang mendominasi. Dia tak mau mendekatkan diri kepada anak-anaknya karena terlalu kaku, mungkin karena Pak Hendi yang memang terbiasa bekerja di luar kota."Iya Dek. Acaranya memang pagi
ANAK BU NAFIS MULAI SETRES MELIHAT KELAKUAN AJAIB IBUNYA!"Kasihan sekali loh mereka nanti jika Ibu mempermasalahkan masalah sepele begitu. Jika masalah kecil di besar-besarkan maka kapan dekatnya juga? Bukankah Ibu juga ingin dekat dengan anak-anak sambung Ibu? Ibu tak ingin juga di benci Safira dan Laras kan?" tanya Dinda. Bu Nafis langsung diam mendengar semua ucapan Dinda. Ya sebenarnya kalau di pikir lagi, siapa yang tak ingin sih mendapatkan restu dari anak Pak Hendi itu. Apalagi kalau memang di pikir-pikir ya tidak begitu penting restu atau pun kehadiran anak sambungnya, apalagi jika dengan kehadiran anak sambungnya justru akan memperkeruh hubungan kekeluargaan mereka."Sebenarnya memang kehadiran mereka penting tak penting. Tanpa mereka pun pernikhan ini juga akan tetap berjalan sesuai dengan planning dan rencana kita sebelumnya. Tetapi kan pantasnya saja, lebih baik untuk bisa mendapat restu anak-anaknya," kata Bu Nafis dengan entengnya."Astaghfirullahalad
BERDANDAN RATU DAN ROMBONGAN DANYANGNYA! Ternyata mereka baru pulang dari pasar sejak subuh untuk mengambil bahan-bahan yang akan dimasak. Sedangkan di dapur orang-orang sudah bersiap untuk membuat masakan karena ijab kabul akan dilakukan pukul sembilan pagi."Waalaikumsalam!" sahut mereka semua. Mbak Alif berjalan ke belakang menemui Dinda."Kok sudah banyak sekali yang datang di depan,Dek? tapi di dapur ini-ini saja? Kemana mereka semua?" tanya Mbak Alif heran dengan jumlah sandal yang ada di ruang tamu."Lihatlah Mbak kelakuan ibumu," bisik Dinda."Di mana ibu?" tanya Mbak Alif."Tuh di kamar. Kau akan terkejut dan membaca istighfar berkali-kali, Mbak," ucap Dinda."Memang ada apa sih, Din?" tanya Mbak Alif penasaran dan langsung menaruh belanjaan secara serampangan."Ada apa, Din?" bisik Mbak Eva tak kalah penasarannya."Lihat saja di dalam sendiri, Mbak. Ibu berbuat ulah apa. Tak asik dong kalau spoiler di depan," kata Dinda."Astaghfiru