"Nindya? Kamu ngapain di sini?"Dio kekasih Nindya, ia kebetulan tengah menghabiskan waktunya untuk berenang di pantai. Tanpa sengaja ia melihat Nindya bersama Andy di sana. Pria itu bergegas menghampiri dan menegurnya."Dio? Kamu kok ada di sini? Sedang apa?" Nindya malah balik bertanya."Seharusnya aku yang bertanya. Kamu ngapain di sini? Terus, kok bisa kamu sama dia?" Dio menunjuk ke arah Andy."Aku baru saja pulang dari makam mamaku, nah ... kebetulan ada Om Andy juga, jadi aku pergi ke sini bareng Om Andy, ia yang memang ingin menemaniku. Hatiku sedang kacau," jawab Nindya.Dio lebih mendekat lagi ke arah Nindya. Sebenarnya ia ingin marah. Namun, pria itu mencoba menahan nya. "Kamu pergi ke makam mamamu dengan pria ini? Pria yang bukan siapa-siapamu? Dia adalah pacar kakak mu, kenapa kamu harus mengharapkannya? Kamu lupa kalau sudah punya aku? Untuk apa aku ada di sisimu kalau kamu lebih memilih orang lain yang menemanimu?" tanya Dio perlahan."Bukan begitu maksudku, Dio. Tadi a
Rendy menyempatkan waktunya untuk berbincang dengan Nindya setelah tadi ia menegur kedua putrinya bersama Kiara. Kini mereka tengah duduk empat mata di kamar milik Nindya. Gadis itu terdiam, menunggu Rendy mengeluarkan kata-kata."Sebelumnya, papa minta maaf, papa tahu kamu kecewa karena pagi tadi papa tidak menemani kamu ke makam mama. Kamu sudah dewasa, papa harap kamu sudah mengerti. Bukan masalah papa tidak cinta sama mama lagi, sampai kapan pun mama tetap ada di hati papa. Hanya saja sekarang papa sudah menikah. Bukankah akan lebih baik jika papa harus berusaha menjaga perasaan mama Kiara, istri papa. Sekarang papa yakin, mama Almira pasti mengerti di sana."Maafkan Nindya ya, Pa? Aku tahu mungkin aku egois. Aku hanya ingin Papa juga menyayangi aku. Jujur aku merasa Papa pilih kasih, Papa seakan-akan lebih mementingkan mama Kiara dan Raya. Padahal aku anak kandung Papa."Sayang, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Kamu salah besar, kamu itu harta papa satu-satunya, tidak mungkin
"Heh ... kamu disuruh pulang cepat sama papa dan mama! Enggak usah kelayapan, dasar cewek nakal!"Nindya terperanjat mendengar suara perempuan yang mengumpatnya. Siapa lagi kalau bukan Raya. Entah apa yang membuat gadis itu begitu benci kepadanya. Padahal jelas-jelas ia sudah berusaha untuk menjauhi Andy."Ya ampun, kakak'ku yang manis. Marah-marah mulu, nggak capek ya marah-marah? Awas lho nanti kamu cepat tua," sindir Nindya."Apa kamu bilang? Jaga mulut kamu ya! Tolong sopan sedikit sama orang yang lebih tua, aku ini kakakmu! Hormati aku!!""Wah ... ngaku ya, udah tua? Kasihan ... makanya jangan suka marah-marah. Marah-marah itu tidak baik untuk kesehatan, oke, Kakak? Terserahlah mau bilang apa, aku harus kerja mencari uang, itu lebih baik daripada harus meladeni kamu."Nindya sudah berlalu bersama Dio, sang kekasih, ia meninggalkan gadis itu sendirian."Dasar cewek ga punya akhlak! Aku aduin kamu sama papa dan mama, biar tahu rasa," ucap Raya sekali lagi dalam hatinya. Ia menatap
"Ma, Nindya kok belum keluar ya? Coba tengok dulu ke kamarnya," ucap Rendy. Sudah berapa lama mereka menunggu di meja makan, namun, ia tak juga kunjung keluar."Sebentar, biar mama tengok dulu," jawab Kiara.Kiara beranjak dari duduknya, perlahan ia berjalan menuju ke kamar milik Nindya.Tok ... tok ... tok ... beberapa kali Kiara mengetuk pintu kamar Nindya. Namun, gadis itu tak bergeming."Sayang, kamu sudah bangun, Nak? Yuk, kita sarapan," ucap Kiara menyapa putri tirinya.Tak terdengar jawaban dari dalam sana, Kiara mencoba mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap mendengar sesuatu. Namun, sama saja semua masih sepi."Nindya, kamu dengar mama, nggak, Nak?""Tok ... tok ... tok ... pintu kembali diketuk, tapi masih sama seperti semula, tak ada respon dari si pemilik kamar."Kamu sedang apa di dalam, Nin? Kamu baik-baik saja kan? Nindya, jawab mama." Kiara sudah mulai cemas. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan putri tirinya di dalam sana, ia mencoba membuka pintu kamar Nindya,
"Permisi, Nindya aku masuk ya?"Nindya terpaku melihat siapa yang datang menjenguknya. Seorang pria yang sudah ia kenal lama. Siapa lagi kalau bukan Andy. Namun, pria itu tak datang sendiri ada Raya di sebelahnya yang memasang wajah cemberut dan tanda tak suka."Masuk, Om," jawab Nindya singkat."Kok sendiri, Nin? Bang Rendy dan tante Kiara mana?" tanya Andy."Kok masih aja kamu manggil papanya si cunguk itu dengan sebutan bang? Walau ia papa tiriku, tapi ia juga calon papa mertua kamu, panggilnya om, bukan bang!" ucap Raya protes.Andy menoleh kearah Raya. Pria itu tersenyum menatap ke arah gadis yang sudah beberapa tahun menjadi kekasihnya itu. Ia kemudian mengelus pucuk kepala Raya lembut. "Iya, Sayang ... maaf aku lupa, soalnya udah lama, kebiasaan manggil papa kalian itu dengan sebutan bang Rendy.""Kalau mau ke sini cuman mau pamer kemesraan, kalian nggak usah datang. Mendingan kalian pulang aja." Nindya terlihat emosi, ia sedikit kesal melihat pasangan yang tak tahu tempat berm
"Nindya ...." Suara cempreng Bella dan Wina masuk ke ruang rawat Nindya. Gadis yang terbaring lemah itu membentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan para sahabatnya."Kok tiba-tiba sakit sih?" tanya Wina penasaran."Nggak tahu, dari semalam itu aku sudah demam. Aku sudah minum obat sih, tapi kayaknya tidak mempan. Ya sudah, sampai pagi demamnya makin tinggi, untuk bangun saja susah. Akhirnya papa sama mama ajak aku ke rumah sakit."Bella sudah duduk di sisi kiri Nindya, setelah meletakkan bingkisan untuk gadis itu."Maaf ya, Nindya, aku cuma bawa oleh-oleh sekedar buatmu, semoga suka," ucap Wina."Iya, makasih, kamu udah repot-repot banget bawa oleh-oleh segala. Padahal datang aja ke sini aku udah senang.""Oh ya, Dio udah ke sini?" tanya Bella."Belum, tapi tadi aku sempat membalas pesannya dan dia tidak ada mengucapkan apa pun padaku lagi.""Ini teman-temannya Nindya ya? diminum dulu. Maaf ya, Tante cuman sediakan air putih saja." Kiara masuk ke dalam kamar setelah tadi pergi
Empat hari dirawat akhirnya Nindya diperbolehkan pulang oleh dokter. Rendy dan Kiara menjemputnya. Gadis itu masih butuh istirahat lebih di rumah dan ia tak diizinkan untuk makan sembarangan terlebih dahulu sampai kondisinya benar-benar pulih."Ma ... aku boleh nggak bicara sama Mama," ucap Nindya kepada Kiara setelah mereka sampai di rumah."Tentu saja boleh. Kamu tunggu di kamar ya! Nanti mama samperin. Mama mau merapikan barang-barang kamu dulu, sepulang dari rumah sakit tadi," jawab Kiara.Nindya bergegas masuk ke dalam kamarnya. Kamar itu sudah terlihat rapi, tak seperti diawal ia tinggalkan. Gadis itu merebahkan diri seraya memainkan ponsel yang dipegangnya."Sayang ... Papa berangkat ke perusahaan dulu. Kamu jangan lupa minum obat ya? Kalau butuh apa-apa bilang sama mama. Banyak istirahat," Rendy menghampiri sang putri di dalam kamarnya. Ia mencium kening gadis itu."Iya, Pa," jawab gadis itu singkat.Hari sudah menunjukkan jam makan siang. Mama Kiara mengantarkan bubur untuk m
Mentari bersinar dengan cerahnya. Nindya sudah bersiap hendak pergi kuliah. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan balutan dress berwarna krem, juga bandana pita dengan warna senada menghiasi rambutnya."Pa, Ma ... Nindya berangkat kuliah ya," Nindya mencium punggung tangan orang tuanya bergantian."Berangkat sama siapa, Nin?" tanya Rendy."Sudah, kamu berangkat sama Raya saja. Bukannya kamu baru saja sembuh, jangan terlalu dibawa capek, apalagi bawa motor sendiri." tegur Kiara.Raya mendengus kesal mendengar saran yang disampaikan mamanya. Seketika ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Raya berangkat sama Andy, jangan aneh-aneh deh.""Nggak apa-apa kan, kalo Nindya bareng sama kalian? Andy juga bawa mobil, yang numpang cuman kalian berdua. Masa enggak cukup?""Benar kata Mama kamu. Nggak kasihan sama adikmu? Adikmu baru saja sembuh lho ... kamu tega nyuruh dia bawa motor sendiri?" Rendy turut mendukung saran Kiara."Mama sama Papa kok memojokkan aku? Kalian sebenarnya cuman say