“Jadi beneran, Al. Yeni hamil?” tanya Bu Aminah sore itu begitu Alya baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu.
Alya hanya menghela napas sambil meletakkan tas kerjanya dengan asal.
“Tahu dari mana, Ibu?” kata Alya balik tanya.
“Tadi barusan kakakmu telepon. Dia bilang kalau Yeni hamil dan tadi pagi baru saja memeriksakannya ke dokter,” terang Bu Aminah.
Alya hanya diam kemudian menganggukkan kepala dengan lesu. Dia sudah duduk menghempaskan pantatnya di sofa ruang tamu.
“Kalau gitu besok antar ibu ke apartemennya ya, Al? Ibu ingin lihat keadaan Yeni,” imbuh Bu Aminah.
“Akh ... Alya pingin tidur seharian besok, Bu. Capek,” tolak Alya.
Bu Aminah langsung cemberut dan duduk di samping Alya.
“Alah cuman sebentar ini, Al. Ibu seneng banget, Al. Sepertinya keinginan ibu untuk menimang cucu segera terlaksana,” urai Bu Aminah kegirangan.
Alya hanya diam
“Vin!!”Gavin terjingkat kaget. Ia buru-buru mundur melepas rengkuhannya pada tubuh Alya dan bergegas berlalu pergi menuju arah suara yang memanggil.Alya hanya diam di tempatnya, menunduk sambil mengulum senyum kemenangan.‘Akh ... sepertinya ada yang merindukan kecupanku. Kenapa gak bilang saja sih, Mas? Aku pasti dengan senang hati memberikannya,’ batin Alya masih dengan kuluman senyum.“Iya, Bu!” sahut Gavin sambil memunculkan wajahnya ke kamar.“Tadi ibu beli jeruk banyak, coba kamu buatkan Yeni jeruk peras hangat biar gak mual terus,” pinta Bu Aminah sambil sibuk memijat Yeni yang tampak lesu.Gavin mengangguk dan sudah bersiap balik kembali ke dapur. Namun, baru beberapa langkah Bu Aminah memanggilnya lagi.“Vin, suruh Alya membantumu biar gerak dikit anak itu dari tadi ingin tidur saja,” imbuh Bu Aminah.Gavin hanya mengangguk sambil berlalu pergi.
Alya keluar dari lift dengan senyum mengembang dan langkah ringan setengah meloncat kegirangan. Ia sibuk memainkan kunci yang sudah berada di tangannya.“Sudah ketemu, Al?” tanya Bu Aminah begitu Alya mendekat.“Iya, sudah, Bu,” jawab Alya sambil berjalan menuju mobil.“Makanya kamu jangan teledor naruhnya. Memang di mana tadi ketemunya?”“Hmm ... di rak TV,” kata Alya asal menjawab. Padahal sedari tadi kunci mobilnya ada di saku celana Alya. Dia memang sengaja mencari alasan untuk kembali lagi ke apartemen Gavin tanpa ibunya.“Yuk, Bu. Kita pulang, aku mau tidur dan mimpi indah,” seloroh Alya masih dengan senyum mengembang di raut manisnya.Bu Aminah hanya menggelengkan kepala melihat ulah Alya ini.Sementara itu, Gavin masih terdiam di balik pintu apartemennya usai Alya pulang tadi. Entah ini kesalahannya yang keberapa kali harus berciuman kembali dengan Alya.&ldquo
Sudah hampir satu bulan ini, Yeni sudah bisa beraktivitas normal lagi. Dia juga sudah tidak muntah sesering dulu bahkan napsu makannya mulai bertambah. Yang membuat Gavin repot lagi, Yeni selalu bangun tengah malam dan minta dibelikan makanan yang aneh-aneh.Seperti malam ini, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Gavin baru saja tertidur satu jam yang lalu. Dia memang sengaja membawa kerjaannya ke rumah untuk menghindari lembur. Dia tidak tega harus meninggalkan Yeni terlalu lama sendirian.Yeni yang sudah tidur sejak sore tadi membuka matanya perlahan, ia meregangkan tangan sambil melirik ke arah samping tempat suaminya terlelap.Yeni mengulum senyum sambil berulang menjentik hidung suaminya yang tampak runcing tinggi menjulang.“Hmm ... ganteng banget sih suami aku. Semoga saja si dedek kalau cowok nurun kegantengan papanya,” gumam Yeni sambil berulang mengelus perutnya.Ia masih sibuk menyusur wajah Gavin yang tampak ti
“Alya mana, Rin?” tanya Gavin siang itu kepada Rini, asisten Alya.“Ada di dalam, Pak. Tadi saya lihat lagi telponan,” jawab Rini dengan sopan.Gavin manggut-manggut sambil melirik jam di tangannya.“Kamu gak makan siang?” lagi Gavin bertanya.“Iya, ini saya mau keluar makan. Tadi sudah izin Bu Alya juga,” urai Rini.“Ya sudah kalau gitu. Aku masuk ke dalam dulu,” pamit Gavin sambil berjalan menuju ruangan Alya. Sedangkan Rini hanya menganggukkan kepala sembari bersiap keluar makan siang.Gavin mengetuk beberapa kali lalu membuka pintu ruang kerja Alya perlahan. Ia melihat Alya sedang berbicara di telepon sambil berdiri di dekat jendela. Alya sempat tersenyum dan mengangguk seakan menyuruh Gavin masuk ke ruangannya.Gavin langsung duduk di kursi depan meja kerja Alya. Ia hanya diam memperhatikan Alya yang sedang berbicara serius di telepon.“Iya baik, Pak. Saya a
Gavin buru-buru memarkir mobilnya dan tergesa turun begitu sampai di tempat tujuan. Sebuah pub sedikit jauh dari apartemennya, beda dengan pub yang kemarin malam. Gavin masuk ke dalam pub itu dengan celingukan hingga tiba-tiba seorang gadis berambut pendek menepuk bahunya.“Kakaknya Alya?” tanya gadis itu sambil tersenyum ramah.“Iya. Mana Alya?” kata Gavin balik bertanya.“Itu, Kak. Di sana!” tunjuk gadis itu ke sebuah sofa.Gavin menggelengkan kepala saat melihat Alya sudah tertidur di sofa tersebut. Padahal selama ini Gavin tidak pernah melihatnya mabuk seperti ini. Mengapa akhir-akhir ini Alya semakin sering hang out ke pub dan parahnya pakai acara mabuk lagi.“Memangnya kalian ke sini untuk mabuk-mabukan?” sergah Gavin sedikit marah.Gadis berambut pendek itu terdiam dan menggeleng.“Sebenarnya kami gak pernah mabuk-mabukan kok, Kak. Hanya tadi Alya tampak suntuk katanya banya
Sesuai janji Gavin, pagi sekali dia sudah berangkat kerja dan mampir ke apartemen Alya. Alya yang baru saja bangun dan usai mandi tergopoh membukakan pintu kabin apartemennya.“Mas Gavin!!” seru Alya.Gavin hanya diam mematung di depan pintu. Dia terkejut melihat Alya yang hanya mengenakan bathrobe dengan handuk yang melilit rambutnya.“Kamu baru bangun?” tanya Gavin.“Iya. Kepalaku pusing banget semalem,” jawab Alya dengan cengengesan.Gavin hanya menghela napas sambil menggelengkan kepala lalu sudah menyerbu masuk ke dalam apartemennya. Alya hanya tersenyum dan mengikuti langkah kakaknya itu.“Aku belikan sarapan tadi. Kamu suka bubur ayam, ‘kan?” ucap Gavin sambil meletakkan bubur ayam di atas meja makan seraya menyiapkan alat makannya.Alya hanya mengangguk sambil tersenyum.“Makasih ya, Mas. Aku ganti baju dulu terus kita sarapan bareng,” kata Alya sambil be
“Mas ... jangan lupa nanti pulang agak sore, ya? Hari ini aku waktunya kontrol,” ucap Yeni mengingatkan saat Gavin hendak berangkat kerja pagi itu.“Iya, Sayang. Aku ingat, kok. Terus kamu masih ada keluhan, gak?” kata Gavin balik bertanya.Yeni menggeleng sambil tersenyum.“Sepertinya sudah gak, Mas. Lagian ini sudah mau bulan ketiga, aku rasa si dedek udah pinter gak bikin mamanya mual terus.”Gavin tersenyum, sambil mengecup lembut kening Yeni.“Ya sudah, kalau gitu aku berangkat dulu, ya?” pamit Gavin kemudian.Yeni sudah menganggukkan kepala sambil mengantar Gavin hingga ke depan pintu. Begitu Gavin sudah berlalu pergi, Yeni kembali meneruskan aktivitas lagi. Ia memang sudah tidak seperti awal-awal hamil dulu sehingga bisa melakukan kegiatan seperti biasa.Sementara Gavin sudah melajukan mobilnya menuju kantor, tak sampai setengah jam dia sudah tiba di sana. Gavin baru saja memarkir
Lagi-lagi Yeni melihat Gavin berulang menundukkan kepala sambil menarik napas panjang seakan baru saja mengambil keputusan sulit dalam hidupnya. Entah sejak menelepon Alya tadi, Gavin tampak semakin gelisah dan Yeni melihat keanehan suaminya itu.“Mas ... ,” panggil Yeni.Gavin tampak tersentak kaget dan menoleh ke arah Yeni. Mereka sudah di dalam mobil perjalanan pulang.“Kamu kenapa sih, Mas? Kok dari tadi terlihat gelisah terus?” lanjut Yeni bertanya.“Eng ... gak papa kok, Sayang. Gak ada apa-apa,” bohong Gavin.Yeni menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.“Jangan bohong deh, Mas. Aku itu tahu kamu sedang ada masalah, kenapa gak terus terang saja, sih,” urai Yeni sedikit jengkel.Gavin terdiam kemudian melirik ke arah Yeni dengan cemas. Ia sudah menghela napas lagi kemudian menganggukkan kepala.“Sebenarnya hari ini aku ada undangan ke acara pernikahan p