"Ini semua salahmu karena tidak becus ngurus perusahaan!" gerutu Angel menyeret koper miliknya karena rumahnya sudah disita pihak bank. Semua aset milik Bram ludes tak tersisa. Bahkan, barang-barang brand Angel ikut disita. Dan kini mereka hanya lontang Lantung di jalanan.
"Bagaimana kalau kita tinggal di rumah orangtuamu?" tanya Bram yang mulutnya sudah seperti cerobong kereta api. Asapnya tak pernah berhenti. "Kamu kan tahu hubunganku dengan mama papa tidak baik. Yang ada mereka justru akan mencibirku!" "Itu salahmu sendiri karena tidak pernah mendatangi mereka!"Tanpa Bram bilang begitu tentu saja tahu Angel itu salahnya. Setiap kali keluarganya butuh bantuan Angel selalu menolak dengan berbagai macam alasan."Bagaimana dengan saudara-saudaramu?" Bram tak menjawab. Semua harta warisan telah dibagi dan telah mendapatkan jatahnya masing-masing. Saat perusahaannya pailit Bram sudah"Pak, sudah saatnya pergi untuk makan siang," ucap Juned ketika selesai membacakan jadwal untuk bosnya hari ini. Tentu saja Saga tahu jam berapa karena sejak tadi ia selalu memandangi jam yang bertengger dengan gagah di lengannya."Hanya makan siang dengan pak Abas, kan?""Ya. Sekaligus membicarakan kerjasama untuk proyek kita selanjutnya, Pak."Pria yang hari ini sengaja tidak mencukur bulu-bulu halus di wajahnya itu mendesah panjang sambil mengendorkan dasi yang sejak pagi mengikat lehernya dan membuat pengap. "Batalkan saja acara makan siangnya. Bilang kalau aku ada urusan mendadak.""Tapi ini proyek penting, Pak."Saga mendesah lagi dan menatap Juned tanpa berkata apa-apa lalu berdiri dan berjalan ke luar ruangan."Tunggu saya, Pak!" teriak Juned tahu akan ke mana tujuan bosnya itu.***"Nga, suami kamu orang mana? Kenalin dong ke kita-kita. Jangan diumpetin!" tanya Heni
"Bangsat!" teriak seorang pria dibarengi pukulan tepat di tengkuk Bram yang membuat pria itu mau tak mau melepaskan pelukannya karena lehernya terasa nyeri. Kenanga yang sadar kehadiran Saga langsung berlari ke arahnya."Kau tidak apa-apa, Nga?""Aku baik-baik saja. Ayo kita pergi, Ga. Tidak usah layani dia."Pergi? Aku bahkan ingin mematahkan tangannya karena berani menyentuhmu!"Oh, Pak Saga. Anda perhatian sekali dengan karyawan sampai-sampai mengurusi urusan pribadi karyawan Anda?" cemooh Bram dengan senyum mengejek. Akhirnya orang yang ditunggu sejak tadi.Tanpa berkata-kata, Saga langsung menghantamkan tinjunya ke wajah Bram hingga terjatuh ke aspal."Sialan! Sakit juga pukulanmu!" oceh Bram menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Ia langsung melayangkan tendangan yang sempat mengenai perutnya. Saga mengambil kuda-kuda, bersiap memukul tapi Bram keburu menghantamnya dengan tinju. "Hanya segitu saja kek
"Istriku sudah keluar kantor, Jun?""Sudah, Pak. Ibu bilang akan menunggu di tempat biasanya.""Ambil mobilnya aku akan menunggumu di depan," balas Saga dengan perasaan tak karuan. Dadanya bergemuruh dan tangannya gemetar untuk beberapa saat. Ia berjalan cepat menuju lobi, menunggu Juned mengambil mobil dari parkiran yang ada di basedment.Saga meraih ponselnya dari saku dan menghubungi istrinya."Nga, sudah di halte?" tanya Saga begitu Kenanga mengangkat telepon. Senyumnya langsung merekah di bibir Nanga yang kemerahan."Baru keluar dari lobi. Kamu di mana?""Lobi? Sebentar." Saga mempercepat langkahnya dan menemukan Kenanga baru saja selesai mengobrol dengan kawan kantor yang menawari tumpangan."Aku ada di belakangmu."Kenanga langsung menoleh ke belakang dan mata yang sedang dimabuk cinta itu pun bertemu. Senyum merekah dari bibir keduanya. "Sampai kapan kau akan menatapku?""A
Saga tidak henti-hentinya berdoa. Ia terus mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan kacau. Matanya memerah Semerah darah yang menempel pada jas yang dikenakannya. Begitu dokter Herlina keluar dari dari balik pintu, Saga mendekat dengan perasaan tak karauan pasalnya tadi tim dokter sempat menyuruhnya memilih. Menyelamatkan istri atau jabang bayi yang ada di kandungan Kenanga."Puji Tuhan bayi yang ada dikandungan istri Anda baik-baik saja. Ini adalah keajaiban!" kata dr. Herlina turut bahagia saat keluar dari ruangan. Ia melihat pria yang beberapa hari lalu berwajah sumringah hari ini dipenuhi kekalutan dan kekuatiran. Tuhan memang Maha membolak-balikkan keadaan. Kemarin ia membuat hambanya tertawa, hari ini membuatnya meregang nyawa."Alhamdulillah ... Istri saya akan baik-baik saja kan, Dok?"Dokter Herlina tersenyum ramah dan memegangi bahu Saga. "Kenanga sudah keluar dari zona bahaya. Sebentar lagi tim dokter pasti akan selesai m
"Kenangaaaaaa!" teriak Melia antusias ketika memasuki ruang rawat Kenanga. Setelah seminggu terbaring di rumah sakit, akhirnya dokter memperbolehkan dia mendapatkan kunjungan. "Aku takut banget tau gak waktu orang-orang bilang kamu jadi korban tabrak lari!" lanjutnya lagi menghambur ke pelukan Kenanga sementra Heni dan Adi berdiri tegak di belakang sambil membawa keranjang buah."Tiap hari dia nangis, Nga. Katanya mau nyantet tuh orang yang nabrak kamu!" sahut Heni.Kenanga terkekeh, dari semua teman kantornya, Melia lah teman yang cukup dengannya."Ehem!" Adi berdehem. "Lekas sembuh ya, Nga," ucapnya kaku dan rikuh melihat Kenanga yang mengamatinya. Gimana gak rikuh? Akhirnya setelah kecelakaan tempo hari seluruh karyawan PT. Sagara tahu siapa Kenang. Istri bos besar mereka. Dan sekali lagi laki-laki di sana patah hati. Jika saingannya adalah Saga, maka mereka kalah sebelum pertandingan dimulai."Thanks ya, Di.""Kali
Saga perlahan membuka mata. Kepalanya terasa nyeri dan tengkuknya pegal. Sialnya, dia merasakan tangannya terikat di sebuah kursi. Dia menggoyangkan kepala untuk mengusir pening. Ya siapa tahu juga bahwa pandangan mata yang agak kabur bisa kembali normal."Sudah bangun Pak Sagara? Anda mau sarapan apa? Sudah jam tujuh pagi!"Jam tujuh pagi? Sial! Saga mengumpat dalam hati. Berarti ia semalaman ada di di tempat ini? Kenanga pasti kuatir padanya. Bagaimanapun juga caranya dia harus cepat-cepat keluar dari sini."Apa maumu, Bram?" tanya Saga dengan sorot mata marah. "Uang? Perusahaanmu? Rumahmu? Akan kuberikan semua yang kau inginkan asal lepaskan aku sekarang juga. Aku harus segera ke rumah sakit. Istriku sedang menungguku pulang.""Hahahaha. Sangat mengharukan sekali. Istrimu? Kenanga adalah istriku sebelum kau merebutnya dariku!" balas Bram memukulkan tinjunya di perut Saga hingga lelaki itu mengeram kesakitan. "Sejak kapan kau men
"Apa yang sebenarnya terjadi, Jun?" tanya Kenanga pada Juned yang tertunduk lemah di depan ruang operasi. Sementara, Handoko tak kalah cemasnya duduk di samping Melati namun dia tak berani mengatakan apa-apa pada putrinya. Biarlah tanggung jawab itu diambil alih oleh Juned. Dia tak tega jika harus menghadapi Kenanga yang berurusan airmata."Maafkan saya ... Seharusnya saya di samping Pak Saga. Kalau saya tidak pergi ke Denpasar, ini pasti tidak akan terjadi.""Siapa yang melakukannya? Siapa yang ingin membunuh suamiku, Jun?" Tanpa menghiraukan perkataan Juned, Kenanga mengulangi lagi pertanyaanya.Lidah Juned kelu. Tak mampu menjawab pertanyaan perempuan yang duduk di kursi roda memegangi jas suaminya yang dipenuhi darah. Bagaimana dia harus menjelaskan bahwa yang ingin membunuh suaminya adalah mantan suaminya sendiri?Juned memukul-mukul kepalanya. Seandainya saja dia bisa menemukan bos-nya lebih cepat pasti semua ini tak akan ter
"Kamu yakin akan meninggalkan Mama sendirian?" tanya Kenanga mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya dia tak setuju saat Arga meminta sekolah di Amerika. Dia masih kecil, belum bisa mandiri dan membutuhkan kasih sayangnya. Tapi, Arga bersikeras dan Saga juga mendukung. Dia bilang Arga akan belajar mandiri karena sekolahnya berada satu area dengan asrama. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja dia kuatir."Mama kan ada Papa!" jawab Arga melihat ke arah Saga dengan tatapan permohonan agar menjaga ibunya dengan baik."Kalau kau butuh sesuatu, jangan malu untuk menghubungiku. Oke?""Baik, Pa."Saga memeluk putra sulungnya. Mencium kepalanya dan mengelus punggungnya. Dia tahu bahwa setelah kematian Bram, Arga menjadi lebih pendiam, lebih sering menyendiri. Saat melakukan tes kesehatan, untung saja dia sehat baik jiwa maupun raganya. Hanya saja, Arga mengatakan bahwa ia butuh waktu. Ia ingin hidup di tempat di mana dia tak memiliki kenangan bersama pa