Setelah mengelilingi rumah Saga, Dewi semakin ingin merealisasikan niatnya merebut Sagara dari tangan Kenanga, wanita yang dinilainya bodoh dan mudah untuk ditipu. Sekali lagi Dewi melihat ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa tidak ada cctv di rumah itu. Dan yang benar aja, memang tak nampak kamera pengawas yang akan mengintai gerak-geriknya di rumah ini. Jalan untuk menjalankan niat busuknya jadi makin mudah. "Mbak, kamar ini kosong, kan?" Dewi menunjuk kamar yang ada di sebelah kamar Kenanga dan Saga."Iya. Kamu mau tidur di sini?" tanya Kenanga tanpa rasa curiga sedikit pun."Boleh, Mbak?""Boleh dong, Wi. Kamar di sini sangat banyak, kamu bebas memilih yang mana pun yang kamu mau.""Terima kasih, Mbak. Mbak baik banget, deh!" Dewi mengecup pipi Kenanga yang membuat wanita itu merasa bahwa Dewi seperti adiknya sendiri. Kenanga berpikir bahwa seandainya dia memiliki adik perempuan, barangkali beginilah rasanya. Menurutnya Dewi begitu manja, lemah, dan butuh perlindungan. Dielusn
Sagara menyunggingkan senyum lalu berdiri berhadapan dengan Dewi. Lelaki itu memandang gadis itu hingga membuat jantung Dewi berdegup kencang dan pipinya memerah karena malu sekaligus terbakar gairah. Apakah Pak Saga mulai tertarik padaku? Tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Dia tak menyangka bahwa merayu bosnya yang kaya akan semudah ini. Oh, ternyata laki-laki di mana pun sama saja. Tak tahan melihat wajah cantik dan paha mulus, langsung tergoda dan seolah lupa jika mereka sudah memiliki anak-istri. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Dewi langsung merangkulkan kedua tangannya di leher Sagara, tetapi sayang halusinasi Dewi harus berhenti cukup sampai di situ."Singkirkan tanganmu dari tubuhku atau aku akan mematahkannya?" kata pria itu dengan nada yang datar serta terdengar dingin. Dewi lantas menarik tangannya dan menggigit bibir hingga sedikit berdarah. "Dengarkan aku ...." Sagara mulai berbisik di telinga gadis yang dinilainya tak memiliki harga diri dan picik."Kau bisa menipu
"Bagaimana tidurmu, Dew? Aku harap kamu bisa tidur dengan nyenyak," ucap Kenanga yang sedang mengoleskan selai pada roti untuk sarapan ketika Dewi baru saja bergabung dengan mereka di meja makan untuk sarapan. Gadis itu langsung duduk tanpa rasa rikuh sedikit pun. Apalagi di meja makan tersaji berbagai menu sarapan yang menggiurkan. Dengan gajinya yang pas-pasan, Dewi tak bisa membeli makanan yang terlalu mahal. Dia harus puas hanya dengan sarapan bubur ayam yang sering nongkrong di depan kosnya. "Nyenyak kok, Mbak," katanya berdusta. Padahal, bagaimana dia bisa tidur jika semalaman kamar di sebelahnya begitu berisik. Dia heran bagaimana rumah sebesar ini tidak kedap suara. Ah, hampir semalam suntuk Dewi menelan kejengkelannya ketika mendengar suara berisik dari kamar Saga dan Kenanga. Dia tak tahu kalau Kenanga yang sedang hamil ternyata memiliki nafsu yang begitu besar. Ah, pantas saja Sagara tak tergoda olehnya. Padahal, apa yang kurang dari Dewi? Biar pun ekonominya pas-pasan, t
"Dulu kan sudah Bapak bilang. Jangan menikah dengan Bram. Dia itu lelaki tidak baik! Ganteng, iya. Kaya, memang! Tapi, kalau tidak bertanggung jawab buat apa, Kenanga?!" omel Handoko pada putrinya semata wayang yang baru saja selesai menidurkan kedua buah hatinya.Baru sore tadi Kenanga tiba dari Jakarta setelah menyelesaikan sidang cerainya dengan Bram, pria yang dulu pernah dicintainya setengah mati. Ya, dulu. Sebelum ketahuan dia memiliki wanita lain, yang lebih muda dari Kenanga dan menjadikan gadis itu sebagai simpanan.Wanita yang kini usianya ada di awal tiga puluh itu hanya menunduk. Apa yang dikatakan Bapaknya benar. Dulu, tak ada yang menyetujui ketika Bram melamarnya. Tetapi, Kenanga tetap bersikeras. Bagaimana pun juga
"Ibu siapkan makan dulu untuk mu. Kamu belum makan sejak tadi," ucap Ibu lembut melepaskan pelukannya lalu mengecup lembut kening putrinya."Nanga gak lapar, Bu," balas Kenanga memaksakan senyumnya. Ia tak ingin menambahkan kesedihan di hati Ibunya yang mulai menua dan matanya mulai rabun jauh jika tak mengenakan kacamata."Kamu harus makan. Lapar gak lapar yang penting makan! Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Magani dan Argani? Ibu sudah tua, gak kuat kalau disuruh momong!" jawab Ibu dengan suara serak lalu berjalan ke dapur dan lagi-lagi, air matanya merembes.Disekanya cepat-cepat menggunakan ibu jari agar Kenanga tak melihatnya. Saat ini, anaknya lah yang paling hancur. Jiwanya yang paling lebur. Dan sebagi seorang Ibu, Melati harus tabah dan kuat. Ia harus bisa menjadi pilar untuk anaknya agar Kenanga tak jatuh dan bisa terus menjalani kehidupannya meski tanpa seorang suami.Kenanga beranjak
Lama tidak tinggal di kampung, Kenanga merasa cukup senang karena di sini lah tempat kelahirannya dan tumbuh menjadi seorang remaja. Salah satu desa yang ada di kabupaten Kudus. Desa yang mayoritas penduduknya menghasilkan uang dari cara bertani maupun bekerja di pabrik rokok."Kapan pulang, Nanga?" tanya Tiwi pura-pura tidak tahu. Padahal, sejak tadi, sebelum kenanga datang ke warung, ia lah yang paling getol membicarakan Kenanga yang statusnya telah berubah. Dari gadis menjadi istri. Dan dari seorang istri menjadi janda di usia yang masih tergolong muda."Masih muda kok jadi janda, ya? Pasti gak pinter melayani suami!" kata Tiwi pada Tini saat pertama kali ketemu."Bener, Wi. Cantik, sih! Tapi, kalau di rangjang loyo, ya suami kabur!" sahut Tini tak kalah hebohnya sambil memakan kelengkeng yang ada di depannya. Itung-itung, icip-icip gitu lah meski gak beli.Kenanga yang baru sampai di warung Bu Tejo pun men
"Bapak ke mana, Bu?" tanya Kenanga ketika tidak melihat batang hidung Bapak-nya yang biasanya nongkrong di depan rumah sambil kipas-kipas menggunakan kipas yang terbuat dari bambu saat pulang dari warung."Em ... anu ... katanya ada tugas ke luar kota. Tapi gak bilang mau ke mana. Kayak gak tahu saja gimana Bapakmu," jawab Ibu yang baru saja duduk di teras rumah sambil meluruskan punggungnya. Capek lantaran harus membantu mencuci pakaian duo bocil yang nodanya tak hilang-hilang kalau hanya dicuci menggunakan mesin cuci. Harus direndam dan dikucek menggunakan tangan biar bersih!Kenanga meletakkan tas belanjaan dan ikut duduk di sebelah ibunya. "Urusan apa, Bu? Pergi dengan siapa?" Ia penasaran ke mana Bapaknya pergi."Gak tahu. Bapak gak bilang. Cuma pamit bakalan gak pulang beberapa hari gitu. Kamu masak, sana buat makan siang. Ibu mau leyeh-leyeh dulu.""Huufft. Nanga kan sudah bilang, biar Nanga saja yang n
Handoko mendudukkan bokongnya pada kursi besi yang terletak di pinggir jalan tak jauh dari gedung tempat Bram bekerja. Kulitnya terasa hangat, butiran-butiran keringatnya mulai menetes. Inilah yang tak disukai Handoko dari Jakarta. Panas, macet. Orang kampung seperti dirinya memang tak cocok tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta.Pria itu menguap sambil melihat ke sekeliling. Mencari-cari barangkali ada penjual es yang lewat. Tenggorokannya haus, perutnya mulai keroncongan dan matanya mulai mengantuk."Kapan pulang, Pak?" Pesan singkat itu baru dibacanya. Ponsel yang layarnya masih hitam putih itu pun langsung dimatikan. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Kenanga.Handokomerasa tak bisa menjadi Bapak yang baik. Ia gagal memberi kebahagiaan pada anaknya. Dan kepulangan Kenanga dengan status baru yang melekat, membuat Handoko hatinya hancur berkeping-keping. Apalagi, saat melihat putrinya diam-diam menan