Handoko mendudukkan bokongnya pada kursi besi yang terletak di pinggir jalan tak jauh dari gedung tempat Bram bekerja. Kulitnya terasa hangat, butiran-butiran keringatnya mulai menetes. Inilah yang tak disukai Handoko dari Jakarta. Panas, macet. Orang kampung seperti dirinya memang tak cocok tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta.
Pria itu menguap sambil melihat ke sekeliling. Mencari-cari barangkali ada penjual es yang lewat. Tenggorokannya haus, perutnya mulai keroncongan dan matanya mulai mengantuk.
"Kapan pulang, Pak?" Pesan singkat itu baru dibacanya. Ponsel yang layarnya masih hitam putih itu pun langsung dimatikan. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Kenanga.
Handokomerasa tak bisa menjadi Bapak yang baik. Ia gagal memberi kebahagiaan pada anaknya. Dan kepulangan Kenanga dengan status baru yang melekat, membuat Handoko hatinya hancur berkeping-keping. Apalagi, saat melihat putrinya diam-diam menangis. Melihat cucu-cucunya yang menanyakan di mana Papa mereka. Sakit hati Handoko. Apalagi saat melihat dengan mata kepalanya sendiri Bram dengan nyata mengkhianati putrinya karena bermain serong.
"Kasihan sekali kamu Cah Ayu," gumam Handoko dan tanpa terasa, ada cairan yang meleleh dari pelupuk matanya. Membasahi pipinya yang telah keriput dan terbakar sinar matahari.
Iatak pernah menyangka orang sangat dicintai Kenanga akan mengkhianatinya. Mencampakkan dirinya. Apalagi, saat dulu Kenanga ngotot menikahi Bram. Handoko mendengus. Membayangkan Kenanga waktu pertama kali lahir, belajar tengkurap, jatuh bangun saat berjalan, hingga menjelma menjadi gadis yang cantik. Meskipun Handoko begitu keras dalam mendidik putrinya, tapi cintanya pun tak kalah banyak.
"Permisi ... Pak Handoko?"
Suara itu mengejutkan Handoko yang buru-buru menyeka air matanya.dan langsung berdiri. "Iya? Ada perlu apa dan tahu saya dari mana?"
Pemuda berpakaian rapi dan mengenakan kaca mata dengan frame tebal itu pun tersenyum. "Saya, Juned, Pak. Sekretaris pribadi Pak Saga. Beliau meminta saya untuk mengejar Pak Handoko."
Saga? Handoko mengerutkan keningnya. Dia tidak merasa pernah mengenal pria itu.
"Ah, Bapak pasti bingung. Tadi saya mengikuti Pak Handoko dari kantor Pak Bram."
Handoko pun manggut-manggut. Pura-pura mengerti meskipun ia sendiri masih kebingungan.
"Oh ... ada apa, ya?"
"Tunggu sebentar, Pak. Biar Pak Saga yang menjelaskan."
Tanpa menjawab, Handoko kembali duduk dan mengamati pemuda yang sedang berdiri di depannya. Sepatu licin, jas yang bagus, tidak mungkin dia seorang penipu.
"Selamat siang, Om. Masih ingat dengan saya?" kata seorang pemuda dengan perawakan tinggi dan berbadan tegap yang mengagetkan Handoko.
Pria baya itu pun berdiri, melihat ke arah pemuda yang baru saja menyapanya. Dia tak ingat pernah mengenal pemuda ini. "Siapa, ya?"
Pemuda itu pun tersenyum. Wajar jika Handoko tak mengenalnya. "Sagara Ramdani, Om. Keponakan Ilham Ramdani."
"Ya Allah Gusti! Sagara?!" Handoko pun memeluk lelaki yang tingginya 185 cm itu dengan perasaan senang. Ilham Ramdani adalah sahabat masa kecilnya hingga tua. Tapi, sayangnya lelaki itu meninggal lebih dulu darinya. Dia ingat sekali dulu sering memancing bersama Saga saat pemuda itu mengunjungi sahabatnya.
"Om apa kabar?"
"Baik-baik. Kamu sendiri bagaimana, Ga? Terakhir lihat waktu kita mancing bersama saat kamu liburan sekolah."
"Baik, Om. Om sendiri mau ke mana? Bagaimana kalau ikut saya? Di sini panas, tidak asik buat ngobrol," balas Sagara yang yang langsung menuntun Handoko menuju mobil mercy mewak miliknya.
***
"Bapak gak SMS Ibu?" tanya Kenanga yang baru saja selesai menidurkan kedua buah hatinya. Mereka kecapean karena tak berhenti main sejak pagi. Begitu selesai makan siang, ee ngantuk melanda.
"Gak ada. Bapak juga gak balas SMS mu, kan?" Ibu balik balik bertanya dan meminta Kenanga untuk duduk di sebelahnya.
"Gak. Hp Bapak dimatikan, Bu. Nanga jadi khawatir. Kalau terjadi apa-apa dengan Bapak bagaimana?"
"Tenang saja. Bapak pasti akan baik-baik saja. Nanga, ada yang ingin kamu bicarakan dengan Ibu?"
"Tidak, Bu. Nanga baik-baik saja. Selama ada Ibu, Bapak dan anak-anak, Nanga akan selalu baik-baik saja."
"Jangan membohongi Ibu mu Cah Ayu," balas Ibu dengan lembut kemudian memeluk putrinya. Tanpa terasa, air mata Kenanga pun luruh juga. Punggungnya bergetar, dan rasa sakit itu menjalar lagi ke setiap sendinya. Ingatan tentang pengkhianatan Bram, membayangkan saat mantan suaminya itu meniduri Angel dan di saat waktu yang berbeda, tidur juga dengan dengannya. Dada Kenanga nyeri, perutnya mual dan sakit hatinya makin bertambah.
"Apakah Kenanga istri yang buruk, Bu? Istri yang tak bisa mengurus suami? Orang-orang bilang, semua ini salah Nanga, Bu. Nanga tidak bisa menjadi perempuan yang bisa menjadi idaman suami. Itu sebabnya Mas Bram mencari wanita lain di luar rumah."
"Ssssttt. Nanga adalah perempuan yang baik. Nanga adalah istri yang sempurna. Bram yang tak tak pernah merasa cukup. Dia yang tidak pernah bersyukur. Itu sebabnya dia mencari wanita yang sepadan dengannya. Percayalah ... setelah sekian lama, Tuhan akhirnya membuka mata mu. Membuka borok mantan suami mu," sahut Ibu mengelus rambut putrinya. Dia tahu kata-kata saja tak akan mampu mengobati sakit hati Kenanga. Tapi, Ibu yaki putrinya akan mendapatkan pengganti Bram. Pria yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab daripada mantan suami Kenanga.
Kenanga membolak-balikkan album foto yang ia bawa sebelum meninggalkan rumah yang ditinggali ketika masih berstatus sebagai seorang istri. Sedangkan Arga dan Maga, sudah terlelap dan terbuai mimpi yang indah karena sesekali mereka tersenyum.Wanita yang mengenakan daster bercorak batik itu pun menarik napas dalam dan mengeluarkan dari mulut ketika melihat foto keluarga yang ada di tangannya. "Kamu tidak kangen anak-anak, Mas?" tanya Kenanga pada foto Bram.Sudahberhari-hari semenjak mereka tak lagi seatap, Bram sama sekali tidak menelepon anak-anaknya. Setidaknya, kirim lah pesan. Kenanga kerap kebingungan saat kedua bocah kembarnya bertanya "Ke mana Papa, Ma?"Huuffttt. Nanga tak tahu harus menjawab apa. Ia belum siap memberitahukan bahwa mereka, Papa dan Mama mereka telah bercerai. Tapi, apa yang Arga dan Maga katakan? Cerai? Anak berumur enam tahun, tahu apa tentang perceraian? Kalau pun tahu, bagaimana Nanga ak
"Mama Mama Mama!" teriak Maga dan Arga ketika melihat helikopter yang terbang rendah. Mereka sedang bermain di teras ketika suara helikopter terdengar dengan jelas diikuti benda terbang nan gagah itu di atas rumah mereka. Tak hanya mereka saja yang ternganga, tetangga-tetangga yang tadinya ada di dalam rumah pun berhamburan keluar karena penasaran dengan apa yang terjadi. Baru sekali seumur ini mereka menyaksikan helikopter yang terbang serendah itu. Padahal, biasanya hanya lewat saja. Selain itu, helikopter yang ada di atas mereka itu bukan kelikopter milik militer. Tetapi mewah dan mengkilap seperti yang sering mereka lihat di layar televisi. "Arga! Itu Mbah Kakung!" teriak Maga yang rambutnya sedang diikat dua menunjuk ke arah kakeknya yang melambai-lambai sambil melihat ke bawah. "Arga! Mag
"Aku tidak peduli jika itu memang urusanmu!" jawab Kenanga sembari mendorong keranjang mainan ke pinggir ruangan. "Tidurlah. Sudah malam. Ini di kampung, bukan di Jakarta. Tidak seharusnya kamu menginap di sini," lanjut Kenanga lagi. Dia tak habis pikir, Saga sekarang pasti bukan hanya kaya melainkah konglomerat. Tapi, tidur saja numpang!"Bapakmu mengijinkan aku untuk tidur di sini," balas Saga menyunggingkan senyumnya yang menawan sekaligus nakal. Melihat bibir yang tersungging itu, buru-buru Kenanga mengalihkan pandangannya. Wajah boleh tampan,tetapi tetap saja dia menyebalkan. Dan kenanga tak ingin jatuh ke dalam pelukan buaya seperti Sagara yang hanya menggunakan ketampanannya untuk menarik perhatian para gadis seperti yang dilakukannya seperti dulu.'Jangan tergoda, Kenanga! Dia masih Sagar yang play boy seperti dulu!'"Terserah," ucap Kenanga gemas kemudian berjalan cepat menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Dia tak
"Yeeeeyyy. Akhirnya sampai juga!" teriak Maga begitu helikopter mendarat di atas gedung tempat Bram bekerja."Arga! Kita sudah sampai. Ayo kita ketemu Papa!" Maga menarik-narik baju saudaranya yang masih asik membaca komik. Dia tahu ini sudah sampai di Jakarta, tapi Arga tak begitu tertarik bertemu dengan Bram. Kalau bisa memilih, dia lebih memilih berada di rumah dan bermain dengan teman-teman barunya di kampung."Hmmmmmm." Dengan malas Arga menutup komik di tangannya lalu membuka sabuk pengaman.Sedangkan Kenanga, dia berusaha menahan kesabaran melihat tingkah laku putrinya. Bikin kepala pening saja. Kalau saja dia tidak rewel, mana mau Kenanga naik helikopter bersama play boy cap kapak yang ada di sebelahnya? Apalagi ketemu dengan Bram. Karena, di mana ada Bram pasti ada Angel. Itu sangat menyakitkan bagi kenanga. Melihat mantan suami dan selingkuhannya adalah hal yang paling ingin dia hindari."Om, ayo Om kita turun," pinta Maga menoleh
"Di mana anak-anak?" tanya Kenanga kaku begitu sudah sampai di dalam gedung."Mungkin sudah di lobby bersama Rian," jawab Saga yang langsung melangkah menuju lift. Kenanga yang berjalan di belakang pria itu mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut rapi dan terlihat kaku karena diolesi oleh gel, bahu lebar dan terlihat kokoh, kaki panjang yang seolah bisa membawa pria itu ke manapun dia mau serta bokong? Kenanga membuang pandangannya ke arah lain. Pria ini pasti rajin olahraga. Pikir Kenanga yang sama sekali tak dapat memungkiri bahwa kini Saga menjelma menjadi laki-laki yang jauh lebih menarik daripada dulu."Masuklah," suara parau itu memaksa Kenanga menurut masuk ke dalam lift di mana hanya akan dirinya dan juga Saga. "Anak-anak tahu kau sudah berpisah dengan Bram?" telisik Saga meskipun dia sudah tahu bagaimana situasi yang sesungguhnya.Dengan nada ketidaksukaan kenanga menjawab,"Bukan urusanmu. Berhentilah iku
"Cepatlah pakai pakaianmu. Anak-anak menunggumu di luar pintu. Mas tidak mau kan mereka tahu bahwa Papa yang selama ini mereka banggakan adalah pria bejat sekaligus brengsek?!""Aku bisa jelaskan, Nanga," balas Bram cepat-cepat menggunakan pakaiannya dan berusaha mendekati Kenanga."Tidak perlu." Kenanga mengalihkan pandangannya. Dia merasa jijik melihat dua manusia yang ada di hadapannya. "Kalau bukan karena anak-anak yang ingin menemui Papanya, aku tidak sudi melihatmu.""Seharusnya kau menghubungiku lebih dulu, Nga.""Kamu Papa mereka, Mas. Harusnya kamu lebih peduli dengan mereka. Berhari-hari sejak kita resmi bercerai kamunsama sekali tidak mengubungi anak-anak! Selain itu, tanya sekretarismu yang lebih cantik dariku itu. Berapa lama kami menunggu di lobby, dia pasti tahu!""Angel?" Bram menoleh ke arah Angel dan dengan cepat, perempuan itu menggelendot padanya."Kubilang pada resepsionis
"Arga tunggu di sini sebentar, ya," kata Bram langsung keluar mobil dan menghampiri seorang perempuan yang sedang menunggunya tak jauh dari sana. Ketika itu, Bram dan Arga baru saja selesai bermain futsal dan hendak pergi makan sebelum mereka pulang ke rumah.Dari jauh, Arga melihat Papanya memeluk seorang perempuan dan menciumnya. Arga tahu itu bukanlah Kenanga dan sejak saat itu pula Arga mulai memahaminya ketika Bram tak pulang ke rumah dan beralasan pergi ke luar kota dan waktu mereka bersama semakin berkurang. Sebagai anak pertama, Arga jauh lebih dewasa dari Maga, adiknya. Ia mampu memahami keadaan di sekitarnya dengan baik tak terkecuali ketika orangtuanya bertengkar dan mereka mulai tidur secara terpisah. Arga sering mendengar teman-temannya bercerita mengenai orangtua mereka yang bercerai lalu tak tinggal lagi bersama dalam satu rumah. Dan Arga langsung berpikir bahwa itulah yang terjadi dengan Mama dan Papanya ketika Kenanga mengemasi barang-barang mereka kemu
Kenanga baru saja selesai memotong sayuran yang akan dia gunakan untuk memasak makan malam sesuai janjinya. Sedangkan Saga, sejak tadi hanya duduk sambil mengamati Kenanga yang begitu lincah memotong bahan masakan.Biasanya, Saga tidak pernah ada di dapur karena yang menyiapkan semua kebutuhannya adalah pelayan rumah tangga yang dia miliki. Selain itu, dia juga jarang ada di rumah. Hanya sesekali saja di pulang, itu pun hanya numpang tidur."Kamu punya banyak pelayan, kenapa tidak meminta mereka saja yang memasak?" tanya Kenanga heran yang mulai memasak kare ayam yang akan dijadikannya makan malam.Dengan sangat hati-hati, kenanga menumis bumbu agar minyak yang ada di dalam pot tidak mengotori dapur mewah milik Saga."Aku sudah bosan makan masakan mereka. Aku ingin makan masakanmu," balas Saga menopang dagunya dan memperhatikan setiap gerakan Kenanga dengan rasa takjub.Dia tak pernah menyangka bahwa seorang perempuan bisa secanti