"Bunda, jika ayah meminta kembali uangnya, maka kembalikan saja, daripada kita terus diteror," ucap Erwin ketika kami menghadapi makanan di meja makan."Uang itu sudah Bunda gunakan untuk membeli rumah ini dan membeli motor kalian, ada sisanya sebagai simpanan.""Buat apa menyimpan uang Bun, jika hidup kita tidak aman," timpal Vito."Ayah kalian yang gila, dia berikan rumah untuk kita, tapi berusaha mengambilnya lagi," balasku kembali kesal mengingat tentang Mas Imam."Jika uang itu bikin kita celaka dan Bunda di penjara, buat apa Bund? Kasih aja ke ayah, biarlah dia yang jahat akan dapat akibatnya.". Erwin nampa begitu kesal dari sorot matanya."Yang diinginkan ayah kalian adalah kita bersama lagi, itulah sebabnya dia menuntut Bunda karena tahu Bunda tidak akan bisa mengembalikannya," jawabku menerawang jauh."Kalo misalka Bunda terima dan pura pura bahagia kayak kemarin gimana?""Hidup kita tak akan senyaman dulu Anakku, karena Sari pasti akan iri dan terus datang untuk membuat mas
Tring ....Suara ponselku berdering ketika aku sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Segera kuraih gawai dan menggeser tombol hijau."Assalamualaikum, saya Edi," ucap pengacaraku dari seberang sana."Iya, Pak Edi, ada apa Pak?""Ini ada surat dari pengadilan, surat panggilan persidangan, tolong temui Pak imam dan pastikan dia menanda tangani kesediaaan untuk mengikuti persidangannya.""Oh, begitu ya, Pak, baiklah saya akan mencobanya," jawabku meski dalam hati ini merasa malas.Sungkan sekali rasanya pergi ke kantor polisi dan menemui Mas Imam, terlebih setelah rangkaian pemeriksaan panjang polisi, rasanya badan dan hati ini sudah begitu lelah.Aku hanya berdoa semoga persidangan segera digelar agar kami bisa mendapatkan keadilan yang paling memuaskan.**"Ibu Yanti Mau bertemu Pak Imam ya?"Pertanyaan petugas piket sebenarnya membuatku jengah, mungkin saking seringnya aku datang ke kantor ini mereka sampai tahu namaku dan Mas Imam."Iya, Pak, saya bawa surat gugatan cerai," jawab
Setelah mendengar keterangan dari saksi, akhirnya Jadi jaksa penuntut umum memutuskan untuk menuntut Mas Imam dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara di tambah kasus kekerasan yang dia lakukan, di mana suamiku tak dapat mengelak karena bukti video merekam jelas perbuatannya.Namun itu baru tuntutan jaksa, Minggu depan kami baru akan menghadiri sidang putusan di mana keputusan vonis hakim akan diketuk.Sidang dibubarkan dan semua orang langsung bangkit dari tempat duduk mereka untuk keluar dari tempat itu.Aku dan kedua anakku keluar dari pintu samping, sementara tiba-tiba saja Sari dan Ibunya datang tiba-tiba menjambak rambutku dengan keras."Perbuatan kamu ya Andai kamu tidak banyak tingkah suamiku tidak akan dituntut sampai 8 tahun penjara," jadi tinggal sementara orang-orang terkejut dan langsung berusaha memisahkan Sari dariku."Dasar keluarga kriminal, kamu memang pantas berjodoh dengan Imam yang jahat itu, dia cocok denganmu yang mudah melakukan kekerasan pada orang lai
Bis yang akan kami tumpangi mulai menyalakan mesinnya, melihat isyarat kondektur aku dan kedua anakku bersiap naik dan berangkat."Ayo, Nak, kita pergi," ucapku sambil menggandeng anak bungsuku."Bund, aku merasa sedih," ucap Vito dengan wajah yag sudah menggambarkan segalanya."Sedih kenapa?""Ga tahu kenapa, hanya saja merasa rindu pada ayah," ucapnya."Itu hanya perasaan sesaat karena kita akan meninggalkan tempat ini," ucapku sambil menepuk bahunya.Anakku terlihat duduk kembali sambil menekan sudut mata dengan kedua jari. Aku paham perasaannya, terlebih ia pernah jadi anak bungsu tersayang, primadona keluarga kami. Dia yang paling dekat dan manja pada Mas Imam, jadi aku mengerti jika sesekali ia merindukan ayahnya.Sekali lagi panggilan kondektur meminta kaki untuk naik ke atas Bis."Ayo Nak, kita pergi," ucapku lembut."Bund, aku minta maaf, sebaiknya Bunda dan kakak saja yang pergi, aku di sini saja, aku akan menunggu ayah. Aku khawatir, setelah dipenjara ayah tak akan ada yan
Karena aku sudah mendapatkan keputusan terbaik dari pengadilan, maka kini aku bergegas untuk membereskan barang kami dan berencana untuk pindah ke suatu tempat. Sebuah pulau yang damai di bagian tengah Indonesia akan menjadi tujuan kami. Pulau yang tentram dan aman secara letak dan dari potensi bencana alam. Di sana seorang sepupuku menetap dan punya bisnis makanan, jadi aku akan mencoba peruntungan untuk pindah ke sana juga."Kita akan pindah ke Sumbawa, Bund?""Iya, insya Allah di sana aman, jauh dari hiruk pikuk dan ketidak-tenangan, ada Om Yudi dan Tante Rika yang mencoba bisnis bakso dan sukses. Jadi, Bunda pun ingin mencoba," jawabku selagi kami mengemas barang-barang."Berarti aku akan menempuh ujian akhir di sana?""Hmm ... iya, terlalu lama mengulur waktu bisa saja mengubah keadaan menjadi lebih sulit untuk kita," balasku sambil mengusap lengan anakku "Betul, Kak, keluarga ayah bisa saja datang untuk mencari cara dan mengambil kembali apa yang kita miliki.""Bunda setuju
Selepas kepergian wanita itu, tetangga-tetanggaku mendekat dan membantuku membereskan barang-barang yang berserakan di depan rumah."Ya ampun, Mbak Yanti, kasihan sekali Mbaknya," ucap seorang ibu sambil membantu membereskan barang."Terima kasih, Bu, sudah mau nanti beres-beres barang saya," jawabku.Para tetangga yang kebetulan melihat tumpukan barang yang sudah di-packing nampak heran dan bertanya."Lho, ibu Yanti mau kemana lagi?""Saya mau coba pindah, ke luar pulau saja, Bu, saya ingin pergi merantau," ucapku"Wah, apa ibu Yanti bisa, apa Ibu Yanti berani?" tanya seorang ibu yang menggendong anaknya."Ya, insya Allah, bumi Allah luas untuk mencar kedamaian dan penghidupan yang lebih baik, Mbak," jawabku."Ya Allah, ikut sedih dengan apa yang menimpa Ibu Yanti, semoga di tempat baru Ibu Yanti bisa bahagia. Kasihan sekali saya lihatnya karena sejak kemarin Ibu yanti selalu dirundung masalah.""Aamiin insya Allah Bu," jawabku sambil tersenyum.Beruntungnya para tetangga sangat baik
Bis yang akan kami tumpangi mulai menyalakan mesinnya, melihat isyarat kondektur aku dan kedua anakku bersiap naik dan berangkat."Ayo, Nak, kita pergi," ucapku sambil menggandeng anak bungsuku."Bund, aku merasa sedih," ucap Vito dengan wajah yag sudah menggambarkan segalanya."Sedih kenapa?""Ga tahu kenapa, hanya saja merasa rindu pada ayah," ucapnya."Itu hanya perasaan sesaat karena kita akan meninggalkan tempat ini," ucapku sambil menepuk bahunya.Anakku terlihat duduk kembali sambil menekan sudut mata dengan kedua jari. Aku paham perasaannya, terlebih ia pernah jadi anak bungsu tersayang, primadona keluarga kami. Dia yang paling dekat dan manja pada Mas Imam, jadi aku mengerti jika sesekali ia merindukan ayahnya.Sekali lagi panggilan kondektur meminta kaki untuk naik ke atas Bis."Ayo Nak, kita pergi," ucapku lembut."Bund, aku minta maaf, sebaiknya Bunda dan kakak saja yang pergi, aku di sini saja, aku akan menunggu ayah. Aku khawatir, setelah dipenjara ayah tak akan ada yan
Setelah 3 hari perjalanan yang panjang, dan Cukup melelahkan kami akhirnya tiba di terminal Sumer Payung kota Sumbawa. Kuedarkan pandangan, ada rasa canggung dan berbeda, ditambah tempat itu memang tidak begitu ramai seperti kota-kota besar. Hanya ada beberapa bis dan pengunjung terminal yang nampak menunggu kendaraan mereka berangkat."Permisi Pak, saya mau tanya, Saya ingin pergi ke komplek bumi Indah, bagaimana saya bisa sampai ke sana.""Dulu bisa menggunakan bemo tapi sekarang ... Maaf Bu, karena semua orang sudah punya kendaraan sendiri jadi kendaraan angkot sudah jarang beroperasi. Sebaiknya ibu naik ojek saja," jawab seorang pria yang nampak seperti petugas kebersihan terminal."Saya harus memilih jalan ke kanan atau ke kiri pak?""Katakan saja langsung komplek bumi Indah mereka akan mengantarkan Ibu ke jalan arah kanan yang menuju pusat kota, jangan khawatir kota ini aman dan bebas dari perampok atau begal," jawab Bapak itu tersenyum."Berapa ongkosnya Pak?""Hmm, sekitar du