Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum.
"Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh."E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai."Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu barubangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut."Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab."Milva di mana?" tanya Restu spontan."Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih bagus sih. Mukanya sudah pucat seperti itu," ucap Bu Ningsih dengan tersenyum bangga.Restu hanya mengangguk, entah kenapa hatinya selalu menanyakan Milva saja. Padahal semalam dirinya habis berkencan dengan foto model di bar clup malam. Namun, pikiran saat ini selalu memikirkan istrinya itu. Entahlah, ia pun tidak tahu dengan apa yang terjadi."Ya, sudah Ibu tinggal dulu, ya." Hanya anggukan yang menjadi jawaban. Bu Ningsih pun akhirnya meninggalkan anak semata wayangnya tersebut.Restu yang sudah melihat sang ibu yang meninggalkan dirinya. Ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur, entah kenapa hatinya ingin melihat Milva. Ya, hanya itu yang ingin dirinya temui.Melangkah dengan pelan tetapi pasti, ia sudah melihat Milva sedang meracik-racik bahan-bahannya. Melihat dari kejauham baru menyadari bahwa body sang istri memang menggairahkan. Hanya saja dirinya masih enggan untuk menyentuh.Walaupun sudah halal, tetapo rasanya tak sama saat menyentuh foto model atau wanita lain di club malam. Hanya sebentar menatap kesibukan Milva, Restu pun meninggalkan wanita itu. Biarkanlah sang istri menyelesaikan pekerjaannya.Drrtt ... drrtt ... drrtt ....Tiba-tiba ponsel Restu bergetar, entah ada panggilan atau pesan chat. Dengan segera dirinya pun mengambil ponsel tersebut di saku celananya.[Hay, Sayang.]Begitulah isi pesan chat dari seorang wanita. Tentunya wanita simpanan yang dimiliki oleh Restu. Ya, lelaki itu kerap sekali bergonta-ganti pacar. Walaupun, sudah terikat dengan Milva. Baginya sang istri itu adalah pembantu rumah tangga.Ia pun tidak menafkahi sang istri, baik lahir dan batin. Semua itu hanya dianggap angin lewat saja. Restu bisa dikatakan seperti masih bujang yang tidak mempuanyai istri atau belum keluarga. Namun, kenyataannya dirinya sudah berkeluarga. Ya, walau dalam hati tak mengakui ada Milva di rumahnya.[Iya, ada apa? Tumben chat, Sel?] Balas Restu.Sely[Aku kangen tahu. Rasanya masih ingin bercumbu sama dirimu, Yank.]Restu hanya tersenyum sendiri saat membaca pesan chat dari Sely. Seakan memang dirinya mempunyai magnet untuk memikat para wanita jatuh dalam pelukannya.[Kangen denganku apa dengan hot speedyku?] Goda Restu, yang menyebut hot speedynya. Ya, dirinya terlaku membanggakan apa yang di punya.Sely[Dua-duanya, aku ingin kamu lagi, argh!]Sely terus membujuknya agar datang, apa lagi kata-kata itu membuat Restu tidak tahan lagi. Baginya semua itu sangat membuat mabuk kepayang.[Oke, aku akan segera otw]Setelah membalas seperti itu dirinya pun segera berjalan menuju ke kamarnya. Ya, tentu saja untuk bersiap menemui, Sely. Namun, baru juga naik tiga tangga, ia seperti teringat kepada Milva. Seakan ada yang membisiki bahwa jangan melupakan sang istri."Astaga, ada apa denganku," ucap Restu memegang kepalaya. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. "Kalai begini bisa gila, aku!" imbuhnya mencoba untuk terus melanjutkan naik ke atas.Melupakan tentang Milva yang benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Walaupun, begitu Restu tetap harus bersikap biasa saja. Tak ingin nanti malah membuat kasihan kepadanya.Sedangkan wanita yang sedang berada di dapur pun, dengan cetakan menyiapkan semuanya. Ya, tentu saja agar semua lekas tersaji di meja makan. Pikiran Milva hanya agar cepat selesai, tak memikirkan hal apapun. Baik terhadap sang mertua dan suaminya sendiri, yang terpenting dirinya tidak dihukum lagi."Tinggal dikit lagi semua akan segera selesai," ucap Milva lirih. Rasa sakit yang di deritanya tak menghambat dirinya untuk menyiapakan semuanya.Melihat dimeja makan sudah rapi, Milva berniat untuk mengambil nasi agar bisa makan. Namun, ternyata Bu Ningsih lebih dulu di meja makan. Ia pun tak berani mengambilnya. Menaruh piring itu kembali ke dalam tempatnya. Lalu bersiap untuk melangkahkan kaki menuju ke taman belakang.Saat Milva hendak meninggalkan meja makan. Senyum culas terpampang nyata di bibir Bu Ningsih. Dirinya sangat unggul dalam mengatur pembatunya itu. Ya, ia tak sudi bila menyebut Milva sebagai menantunya. Ia lebih sudi memanggil pembantu rumah tangga, yang secara gratis tidak membayat gaji bulanan.Sesampainya di taman belakang, Milva duduk di ayunan. Ia hanya bisa memandang kosong kepada bunga-bunga yang sudah mekar. Sepi, mendung dan rasa sudab mati, begitulah perasaannya saat ini."Ibu, Ayah ... apa kalian melihatku seperti ini? Kenapa sangat berat sekali? Kapan aku bisa hidup layaknya manusia?" tanya Milva dengan air mata yang tak bisa tertahankan lagi. Ia pun menatap ke angkasa yang menurutnya kedua orang tua sedang menatapnya pilu."Sebenci inikah alam kepadaku? Yang membuat secuil senyumku tidak ada?" Milva terus terisak, mengeluarkan betapa hancurnya hati. Seseorang yang mendengarkannya pasti tidak akan tega dengan apa yang dirasakan. Namun, orang yang membencinya justru akan tertawa senang di atas penderitaannya.Di lantai dua, ada seorang lelaki yang tengah memandang ke arah taman. Ya, dirinya melihat sang istri tengah duduk di ayunan sendiri. Padahal ia sudah bersiap untuk menemui kekasih gelapnya.Rasa itu berkecamuk begitu saja, antara ingin menghampiri dan tidak. Namun, rasa gengsi yang tinggi membuat Restu perpaling dari sisi taman. Ia pun langsung menyambar kunci mobil dan bersiap untuk segera pergi dari rumah.Genderang hati bertalu-talu ingin menanyakan apanyang terjadi pada Milva. Namun, rasanya tak akan mungkin, bila dilihat sang ibu pasti akan di ceramahi. Memantapkan untuk pergi, walau hati masih gundah gulana."Mau ke mana?" tanya sang Ibu kepada Restu."Keluar sebentar, Bu.""Ya, sudah hati-hati." Restu pun hanya mengangguk. Ia pun langsung berjalan menuju ke garasi. Andaikan lelaki itu tahu perasaan Milva, adakah secuil harapan untuk wanita itu tersenyum. Namun, semua itu apa mungkin? Ya, hanya sang waktu yang akan menjawab semuanyanya.Mobil pun akhirnya pergi meninggalkan rumah. Meninggalkam Milva yanh sedang bersedih akan apa yang dialaminya. Namun, disepanjang perjalanan Restu hatinya selalu bertanya-tanya. Seperti ada yang menganjal dan itu ia tak tahu.Bersambung ....Tak berselang lama akhirnya Restu telah sampai di hotel yang dijanjikan bersama Sely. Ia sangat tak bersemangat hari ini, entah karena masih terpengaruh alkohol semalam atau entahlah, dirinya malah bimbang sendiri. Mengetuk pintu hotel agar segera dibukakan oleh Sely. Tidak menunggu waktu yang lama, akhirnya seorang wanita menggunakan baju mini membuat Restu berbinar. Lelaki mana bila tidak tergoda dengan bongkahan padat dan kenyal itu. "Ayo masuk," ucap Sely sembari mengerlingkan matanya. Demi uang apapun itu bisa ia lakukan. Kini wanita dan lelaki itu masuk ke dalam hotel. Melihat tingkah Restu yang kurang bersemangat membuat Sely curiga. Ia pun terus menggoda agar apa yang diinginkan segera tercapai. "Ada apa? Sepertinya kau kurang sehat?" tanya Sely sembari terus menggoda. "Entahlah, aku rasa kurang bergairah," jawab Restu jujur. "Baiklah, akan aku tingkatkan gairahmu.""Tidak! Aku sedang tidak ingin." Sely yang mendapat penolakan dari Restu membuat sedikit kesal. Bisa-bisan
Ya, Sely sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sebuah nama Dinda tertera di layar ponsel Restu. Apa lagi saat dirinya membaca pesan chat yang memang muncul di layar. Dinda[Sayang, kenap tidak diangkat?]Begitulah isi pesan chat tersebut. Sely beberapa kali ingin membuka ponsel Restu. Namun, dirinya selalu gagal, benda pipih tersebut ternyata di kunci. "Argh! Sial!" ucap Sely sembari membanting ponsel Restu ke kasur yang masih longgar. Untung saja ponsel tersebut tidak mengenai dipan yang terbuat dari kayu. Bisa jadi kalau terkena itu akan pecah layarnya. "Aku kira, kekasih simpananku itu hanya aku. Eh, ternyata ada wanita lain, pantas saja dirimu selalu alasan ini itu." Sely menggerutu tidak karuan. Hatinya sudah terlalu sakit.Walaupun awalnya dia hanya sebagai wanita panggilan, tetapi makin lama dirinya menggunakan hati. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih apa lagi bisa menjadi istrinya. Argh, semua wanita akan segera berbondong-bondong pastinya. "Baiklah, kalau beg
Setelah puas dengan berselfi, mereka pun memulai acara intinya. Ya, ibu-ibu sosialita memang lebih mementingkan gaya glamor juga kemewahan. Sampai tak terasa waktu mereka telah habis. Mereka semua pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk juga Bu Ningsih juga ikut pulang. Berjalan menuju ke parkiran, dirinya pun masuk ke mobil mewahnya. Hingga pada akhirnya, mobil pun berjalan meninggalkan restoran mewah tersebut. Bu Ningsih sangat bahagia, karena bisa memamerkan tas mewahnya. Ya, banyak yang memujinya tadi.Tanpa terasa mobil pun sudah sampai digarasi rumah. Perjalanan yang menyenangkan serta bahagia membuat semua tidak terasa sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata di dalam rumah terasa sangat sepi sekali. "Apa Restu belum pulang?" ucap Bu Ningsih lirih. Ia pun segera berjalan menuju ke lantai atas. Ingin memastikan bila anak semata wayangnya itu memang belum pulang. Ceklek! Pintu kamar Restu pun terbuka lebar. Bu Ningsih kaget, kare
Setelah melihat sang suami merebahkan di atas kasur. Milva pun juga merebahkan dirinya ke kasur tipis itu. Membelakangi Restu, wanita itu perlahan menitikkan air mata kembali. Sungguh, hatinya sangat sesak sekali. Andaikan hati Restu dan Milva saling melontarkan kata dan mereka berdua bisa mengetahui satu sama lain. Mungkin semua ini tak akan seperti itu, hanya saja diam bertemu dengan gengsi. Ya, sudahlah, memang mereka bukan jodohnya. Restu mendengar suara rintihan, ia tahu bila suara itu terdengar dari Milva. Membalikkan badannya dan menatap punggung istrinya itu. Dirinya pun dengan secepat kilat mengeluarkan benda pipih yang berada di saku celananya itu.Menekan nomor seseorang dan dirinya pun beberapa saat terlibat mengobrol sebentar. Hingga pada akhirnya, ia menaruh ponselnya di kasur. Bangkit dan berjalan menuju ke jendela. Restu pun masih tetap memandangi Milva terus menerus. Apakah memang dirinya jatuh cinta? Namun, kenapa selalu saja merasa kasihan bila wanita itu tersaki
Setelah puas menatap punggung sang suami dan berandai-andai yang semua itu tak akan mungkin terjadi. Milva pun memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali. Berharap bertemu mimpi indah sangat menyenangkan. Menghilangkan apa yang sudah terjadi selama ini. Padahal dirinya sudah tak ingin lagi menjalani semua kehidupan pahit ini. Menutup mata, hingga tanpa ia sadari, dirinya pun tertidur dengan nyenyak. Sungguh, bagi Milva semua itu sungguh melelahkan. ***Restu yang masih menyibukkan dengan bermain ponselnya. Ia pun sedikit menoleh ke arah sang istri. Melihat Milva sudah merebahkan badannya, dan ternyata terlelap. Restu pun hanya tersenyum, melihat kebekas luka. Dirinya hanya bisa tersenyum getir. Sangat merasa kasihan, karena telah melakukan hal yang telah dibatas wajar. Hingga lada akhirnya, dirinya juga ikut ke merebahkan badannya ke kasur. Ia menatap ke atas atap langit dan pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan saat bertemu sama Milva. Restu hanya bisa tersenyum kembal
"Tolong lepasin, gua," ucap Restu yang merasa sangat jengkel dengan tindakan Dinda. Apa lagi, wanita itu bersikeras untuk terus mengandengnya. Banyak sorot mata yang menatap ke arah mereka. Mungkin dalam hati bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Kenapa bisa-bisanya mereka ribut di depan umum?"Jangan begitu, lihatlah mereka semua melihat kita," ucap Dinda masih tak ingin melepaskan pelukannya. "Aku tidak peduli, sekarang lepaskan aku!" Restu sudah kehilangan kendali. Ia dorong tubuh Dinda sampai dirinya tersungkur menubruk beberapa kursi. Restu pun langsung meninggalkan wanita itu sendirian. Dirinya tidak peduli dengan cibiran orang-orang. Menuju ke parkiran, pikirannya sangatlah lelah. "Argh!" Restu memutul setir mobil dengan keras. Dirinya pun juga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Di satu sisi dirinya memang butuh sandaran. Namun, sang mama tidak seperti yang ia harapkan. Restu tak tahu harus bersandar ke siapa? Dirinya sudah terlalu lelah dengan semua yang menimpa kehidupannya
Kini Restu telah berada di ruang rawat inap. Tepatnya di ruang Dahlia nomor empat. Milva sangat lega, tinggal menunggu kesadaran sang suami saja.Apa yang dikatakan oleh pak dokter pun membuat Milva selalu terngiang-ngiang. Ia juga merasa takut bila nanti sang suami mengalami koma. "Semoga kau cepat sadar," ucap Milva lirih. Tangannya ingin menyentuh wajah sang suami. Hanya saja dirinya teringat saat kejadian waktu itu, Restu tak mau disentuh olehnya. Gamang tidak jelas, akhirnya Milva memberanikan diri untuk menyentuh wajah Restu. Mengusapnya perlahan, membuat secercah rindu terobati dengan sendiri. Ya, ia lakukan hanya akan diam-diam tak ingin memberi tahu kepada sang suami bila dirinya telah lancang. "Semoga dan semoga. Bila kau tahu, Mas. Aku sangat menyayangimu. Jauh dari lubuk hatiku, aku pun sudah tidak mempunyai siapa-siapa." Derai air mata Milva membasahi pipi kembali. Ia terisak, tangan kanannya membelai pipi Restu, sedangkan tangan kirinya menggenggam jemari sang suami.
Sesampainya di rumah, Bu Ningsih masih terlihat kesal. Dirinya juga masih bersikap biasa saja, karena emang keadaan rumah selalu di tertutup. Sang menantunya juga tak berani untuk pergi keluar rumah, jadi wajar bila setiap hari begitu. "Aku akan membalas perbuatan kalian, ingat itu!" Bu Ningsih masih terus mengucapkan sumpah serapahnya. Ia pun langsung menuju ke kamar. Pikirannya sudah diselimuti akan rasa kesal juga benci kepada para sahabatnya itu. Padahal selama ini dirinya tak pernah pilih kasih. "Argh! Sial!" ucap Bu Ningsih saat membasuh mukanya. Make up yang tebal kini sudah luntur terkena air. Setelah membersihkan badannya, ia pun ingin bersantai. Pikirannya belum bisa mengigat kenapa dirinya bisa pingsan? Bu Ningsih hanya masih merasa kesal dan kesal. Duduk bersandar di sofa, sembari menyalakan televisi. Saat layar yang berada di depannya itu sudah menyala. Dahi Bu Ningsih mengerut. Dirinya seakan dituntun untuk mengigat semua itu. "Astaga, Restu anakku?" ucapnya lirih.