"Ibu ... Bapak, Maafin Milva belum bisa menjadi anak terbaik bagi kalian," ucapnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur kecil, yang selalu menjadi teman setianya.
Ia pun meringkuk, mencoba untuk segera memejamkan matanya. Semua tubuh memang terasa sakit, tetapi ada yang sudah hancur berkeping-keping. Rasa itu telah mati, harapan-harapan yang indah telah sirna. Seakan hilang lenyap ditelan kepahitan.Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada tanda-tanda ia akan segera tidur. Pikirannya pun melalang buana ke mana-mana. Berharap bisa meluluhkan hati sang suami. Namun, ternyata tidak berhasil juga. Usahanya seakan sia-sia, andaikan kematian datang lebih cepat, mungkin Milva akan merasa sangat bersyukur.Penderitaan selama ini membuat dirinya hancur, apa lagi tidak ada dukungan serta pelukan hangat dari orang-orang terncinta. Ia hanya sendiri, semua yang dikerjakan juga selalu salah. Apalah yang hanya menumpang makan serta tidur, tetapi melakukan hal-hal ini dan itu tidak pernah di gaji.Milva wanita penyabar, sungguh sangat sabar. Mungkin bila orang lain yang diposisinya, pasti sudah akan pergi dari rumah neraka macam ini. Namun, ia bukan orang seperti itu. Sebelum dirinya menghembuskan napas terakhir, semua pertahanan akan dilakukannya.Malam memang sangat tenang, apa lagi malam sagatlah rapi bila menyembunyikan kesedihan. Sudah dua jam Milva tidak tertidur. Dirinya hanya bisa meratapi nasip juga pikiran yang tertekan selalu menghantui.Ceklek! Bunyi pintu terbuka membuat jantung Milva berdetak lebih cepat. Dirinya masih sangat takut bila sang suami akan mengamuk lagi. Ia pun berpura-pura untuk tidur. Namun, pendengeran masih berfungsi, ya, derap langkah yang kian mendekat semakin memompa detak jantung lebih cepat.Dalam hati, Milva berdoa agar tidak ada lagi penderitaan selanjutnya. Apa yang diharapkan ternyata dikabulkan. Suara dengkuran kecil mulai terdengar, membuat Milva menoleh sedikit ke arah ranjang.Ternyata benar, Restu sudah terbaring di atas ranjang. Milva sudah sangat menduga apa yang terjadi terhadap sang suami. Selama ini dirinya hanya bisa menatap sang lelaki dalam kejauhan, tak berani menyentuh bila tidak di suruh.Pernah kejadian saat Restu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk berat, dan dibajunya terdapat muntahan dan minuman itu. Niat hati ingin mengantikan baju seperti sebelumnya, tetapi sang suami menolak dan melakukan kekerasan terhadapnya.Maka dari itu sekarang ia tak berani menganti pakaiannya. Biarkanlah seperti itu sampai dirinya bangun. Walaupun di dalam hati memiliki rasa kasihan juga rasa sayang. Namun, semua itu tak bisa ia lakukan."Andaikan kamu tahu perasaanku, Mas," ucap Milva lirih. "Kenapa bila kau tidak cinta kepadaku, tidak kau ceraikan saja. Kenapa mesti seperti ini, apa lagi kau tak pernah menganggapku ada," imbuhnya.Milva hanya bisa menatap pedih kepada sang suami. Penderitaannya seakan tidak ada yang berkurang, semua itu malah bertambah.***Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Milva tidurnya tidak nyenyak, badan terasa sangat sakit dan membuat dirinya tak bisa tertidur. Ia pun memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah.Dengan menahan segala rasa sakit, ia pun tetap terus melakukannya, karena tugas itu adalah kewajiban dirinya di rumah ini. Dengan cekatan dan pelan-pelan, tak ingin membuat suara bising yang bisa membangunkan mereka semua.Ya, walaupun sudah berbagai penyiksaan, tetapi ia tetap mau melakukkan semua pekerjaan dengan lapang dada. Apa lagi di rumah sebesar ini tidak ada pembantu rumah tangga. Semua murni dilakukan oleh Milva.Sedangkan Restu—suami Milva, sangat menikmati tidur nyenyaknya. Mimpinya berkelana dengan wanita cantik yang tadi malam di temuinya. Semua memang normal, karena selama ini dirinya tak menyentuh sang istri sama sekali.Berjam-jam Milva mengerjakan pekerjaan yang selama ini ia kerjakan. Rasa lelah juga letih harus ditahan, agar semuanya lekas selesai dan dirinya bisa beristirahat dengan tenang. Sampai pada akhirnya amang sayur telah tiba, dengan terburu-buru milva mengambil uang belanja dan segera berlari ke tukang sayur tersebut.Para ibu-ibu yang sudah mengerubungi amang sayur pun berbisik-bisik saat melihat wajah Milva babak belur. Banyak isu yang dibuat-buat, tetapi wanita itu menghiraukannya."Mukanya kenapa, Neng?" tanya amang sayur."Eh, ini ... ini terbentur kloset, Mang," jawab Milva menutupi kekerasan sang suami. Namun, apalah ibu-ibu yang tak percaya begitu saja. Mereka masih terus berbisik-bisik, hanya senyuman satir yang Milva berikan kepada mereka semua."Eneng kurang sehat, ya? Kenapa wajahnya pucat sekali, Neng?" tanya amang sayur lagi membuat Milva terlonjak kaget. Apa terlihat seperti itu? Padahal dirinya selalu mencoba untuk terlihat sehat dan bugar.Lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan itu, keringat dingin mulai mengucur perlahan. Padahal dirinya selalu menutupi kekurangan keluarga sang suami terhadapnya. Ingin sekali mengadu kepada mereka, tetapi ia tak setega itu. Diam adalah cara yang terbaik baginya."Lagi nggak enak badan saja kok, Mang," jawab Milva sembari memilih sayuran untuk dimasak nanti."Lekas istirahat saja," ucap salah satu ibu yang menasehatinya.Milva pun hanya mengangguk sebagai jawaban iya. Padahal dirinya sudah tahu istirahat bukanlah solusi yang tepat dan tidak akan mungkin terjadi. Apa lagi mereka belum tahu kelakuan keluarga sang suami terhadapnya."Berapa Mang, ini?" tanya Milva kepada amang sayur."Lima puluh ribu, Neng."Milva pun memberikan uang lima puluh ribu kepada amang sayur. Setelah sayuran yang dipilih itu ditaruh di kantong kresek, ia pun segera masuk ke dalam rumah. Tak ingin berlama-lama bersama orang-orang, apa lagi memang dirinya orang yang sangat tertutup.Tidak suka keramaian, apa lagi dengan orang yang belum dikenalnya. Banyak juga warga komplek belum mengenal sosok Milva yang pendiam, ramah juga manis tersebut. Semua hanya bisa mendengar desas-desus yang beredar. Entah kadang miring, entah real semua itu belum pasti.Saat sudah sampai di dapur, Milva kaget dengan ibu mertuanya yang sudah berada di sana. Degup jantungnya kian cepat. Seperti halnya sedang lari maraton berkilo-kilo meter.Melangkah maju perlahan-lahan seperti orang yang benar-benar takut, pergerakan itu ternyata di dengar oleh Bu Ningsih. Membuat dirinya mematung dan membeku saat melihat ibu mertuanya sedang menatap lekat.Milva tak bisa bersuara sepatah katapun, ia masih terus mematung tak berani bergerak maju ataupun mundur. Semua seakan sudah terlalu mati kutu tak bisa bergerak, maju kena mundurpun kena. Menelan saliva dengan berat, dirinya pun sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya."Kenapa diam disitu? Cepat segera masak!" teriak ibu mertua membuat kaget Milva."Eh, iya-iya, Bu," jawab Milva terbata. Dirinya pun segera melangkah lagi. Membawa kantung kresek yang berisi sayuran juga daging ayam.Senyum culas terpancar dari raut wajah Bu Ningsih. Ya, ia sangat bangga, karena menantu sialan itu telah berada digenggamannya. Berharap apa yang sudah dinantikan segera tercapai.Bersambung ....Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum. "Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh. "E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai. "Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu barubangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut. "Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab. "Milva di mana?" tanya Restu spontan. "Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih
Tak berselang lama akhirnya Restu telah sampai di hotel yang dijanjikan bersama Sely. Ia sangat tak bersemangat hari ini, entah karena masih terpengaruh alkohol semalam atau entahlah, dirinya malah bimbang sendiri. Mengetuk pintu hotel agar segera dibukakan oleh Sely. Tidak menunggu waktu yang lama, akhirnya seorang wanita menggunakan baju mini membuat Restu berbinar. Lelaki mana bila tidak tergoda dengan bongkahan padat dan kenyal itu. "Ayo masuk," ucap Sely sembari mengerlingkan matanya. Demi uang apapun itu bisa ia lakukan. Kini wanita dan lelaki itu masuk ke dalam hotel. Melihat tingkah Restu yang kurang bersemangat membuat Sely curiga. Ia pun terus menggoda agar apa yang diinginkan segera tercapai. "Ada apa? Sepertinya kau kurang sehat?" tanya Sely sembari terus menggoda. "Entahlah, aku rasa kurang bergairah," jawab Restu jujur. "Baiklah, akan aku tingkatkan gairahmu.""Tidak! Aku sedang tidak ingin." Sely yang mendapat penolakan dari Restu membuat sedikit kesal. Bisa-bisan
Ya, Sely sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sebuah nama Dinda tertera di layar ponsel Restu. Apa lagi saat dirinya membaca pesan chat yang memang muncul di layar. Dinda[Sayang, kenap tidak diangkat?]Begitulah isi pesan chat tersebut. Sely beberapa kali ingin membuka ponsel Restu. Namun, dirinya selalu gagal, benda pipih tersebut ternyata di kunci. "Argh! Sial!" ucap Sely sembari membanting ponsel Restu ke kasur yang masih longgar. Untung saja ponsel tersebut tidak mengenai dipan yang terbuat dari kayu. Bisa jadi kalau terkena itu akan pecah layarnya. "Aku kira, kekasih simpananku itu hanya aku. Eh, ternyata ada wanita lain, pantas saja dirimu selalu alasan ini itu." Sely menggerutu tidak karuan. Hatinya sudah terlalu sakit.Walaupun awalnya dia hanya sebagai wanita panggilan, tetapi makin lama dirinya menggunakan hati. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih apa lagi bisa menjadi istrinya. Argh, semua wanita akan segera berbondong-bondong pastinya. "Baiklah, kalau beg
Setelah puas dengan berselfi, mereka pun memulai acara intinya. Ya, ibu-ibu sosialita memang lebih mementingkan gaya glamor juga kemewahan. Sampai tak terasa waktu mereka telah habis. Mereka semua pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk juga Bu Ningsih juga ikut pulang. Berjalan menuju ke parkiran, dirinya pun masuk ke mobil mewahnya. Hingga pada akhirnya, mobil pun berjalan meninggalkan restoran mewah tersebut. Bu Ningsih sangat bahagia, karena bisa memamerkan tas mewahnya. Ya, banyak yang memujinya tadi.Tanpa terasa mobil pun sudah sampai digarasi rumah. Perjalanan yang menyenangkan serta bahagia membuat semua tidak terasa sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata di dalam rumah terasa sangat sepi sekali. "Apa Restu belum pulang?" ucap Bu Ningsih lirih. Ia pun segera berjalan menuju ke lantai atas. Ingin memastikan bila anak semata wayangnya itu memang belum pulang. Ceklek! Pintu kamar Restu pun terbuka lebar. Bu Ningsih kaget, kare
Setelah melihat sang suami merebahkan di atas kasur. Milva pun juga merebahkan dirinya ke kasur tipis itu. Membelakangi Restu, wanita itu perlahan menitikkan air mata kembali. Sungguh, hatinya sangat sesak sekali. Andaikan hati Restu dan Milva saling melontarkan kata dan mereka berdua bisa mengetahui satu sama lain. Mungkin semua ini tak akan seperti itu, hanya saja diam bertemu dengan gengsi. Ya, sudahlah, memang mereka bukan jodohnya. Restu mendengar suara rintihan, ia tahu bila suara itu terdengar dari Milva. Membalikkan badannya dan menatap punggung istrinya itu. Dirinya pun dengan secepat kilat mengeluarkan benda pipih yang berada di saku celananya itu.Menekan nomor seseorang dan dirinya pun beberapa saat terlibat mengobrol sebentar. Hingga pada akhirnya, ia menaruh ponselnya di kasur. Bangkit dan berjalan menuju ke jendela. Restu pun masih tetap memandangi Milva terus menerus. Apakah memang dirinya jatuh cinta? Namun, kenapa selalu saja merasa kasihan bila wanita itu tersaki
Setelah puas menatap punggung sang suami dan berandai-andai yang semua itu tak akan mungkin terjadi. Milva pun memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali. Berharap bertemu mimpi indah sangat menyenangkan. Menghilangkan apa yang sudah terjadi selama ini. Padahal dirinya sudah tak ingin lagi menjalani semua kehidupan pahit ini. Menutup mata, hingga tanpa ia sadari, dirinya pun tertidur dengan nyenyak. Sungguh, bagi Milva semua itu sungguh melelahkan. ***Restu yang masih menyibukkan dengan bermain ponselnya. Ia pun sedikit menoleh ke arah sang istri. Melihat Milva sudah merebahkan badannya, dan ternyata terlelap. Restu pun hanya tersenyum, melihat kebekas luka. Dirinya hanya bisa tersenyum getir. Sangat merasa kasihan, karena telah melakukan hal yang telah dibatas wajar. Hingga lada akhirnya, dirinya juga ikut ke merebahkan badannya ke kasur. Ia menatap ke atas atap langit dan pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan saat bertemu sama Milva. Restu hanya bisa tersenyum kembal
"Tolong lepasin, gua," ucap Restu yang merasa sangat jengkel dengan tindakan Dinda. Apa lagi, wanita itu bersikeras untuk terus mengandengnya. Banyak sorot mata yang menatap ke arah mereka. Mungkin dalam hati bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Kenapa bisa-bisanya mereka ribut di depan umum?"Jangan begitu, lihatlah mereka semua melihat kita," ucap Dinda masih tak ingin melepaskan pelukannya. "Aku tidak peduli, sekarang lepaskan aku!" Restu sudah kehilangan kendali. Ia dorong tubuh Dinda sampai dirinya tersungkur menubruk beberapa kursi. Restu pun langsung meninggalkan wanita itu sendirian. Dirinya tidak peduli dengan cibiran orang-orang. Menuju ke parkiran, pikirannya sangatlah lelah. "Argh!" Restu memutul setir mobil dengan keras. Dirinya pun juga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Di satu sisi dirinya memang butuh sandaran. Namun, sang mama tidak seperti yang ia harapkan. Restu tak tahu harus bersandar ke siapa? Dirinya sudah terlalu lelah dengan semua yang menimpa kehidupannya
Kini Restu telah berada di ruang rawat inap. Tepatnya di ruang Dahlia nomor empat. Milva sangat lega, tinggal menunggu kesadaran sang suami saja.Apa yang dikatakan oleh pak dokter pun membuat Milva selalu terngiang-ngiang. Ia juga merasa takut bila nanti sang suami mengalami koma. "Semoga kau cepat sadar," ucap Milva lirih. Tangannya ingin menyentuh wajah sang suami. Hanya saja dirinya teringat saat kejadian waktu itu, Restu tak mau disentuh olehnya. Gamang tidak jelas, akhirnya Milva memberanikan diri untuk menyentuh wajah Restu. Mengusapnya perlahan, membuat secercah rindu terobati dengan sendiri. Ya, ia lakukan hanya akan diam-diam tak ingin memberi tahu kepada sang suami bila dirinya telah lancang. "Semoga dan semoga. Bila kau tahu, Mas. Aku sangat menyayangimu. Jauh dari lubuk hatiku, aku pun sudah tidak mempunyai siapa-siapa." Derai air mata Milva membasahi pipi kembali. Ia terisak, tangan kanannya membelai pipi Restu, sedangkan tangan kirinya menggenggam jemari sang suami.