Setelah berjam-jam dirinya berkutat dengan pekerjaan rumah, akhirnya Milva bisa beristirahat. Wajah yang pucat juga keringat yang terus mengucur, rasanya sudah hampir pingsan. Namun, ia tetap menguatkan diri dan segera mengambil piring untuk makan.
Baru ingin mengambil nasi tiba-tiba Milva terlonjak maget dengan suara ibu mertuanya, "Apa yang kau lakukan?""Ma-mau makan, Bu," ucap Milva terbata, dirinya sudah sangat lemas. Apa lagi sedari tadi perut belum diisi apa-apa."Makan nasi saja, lauknya buat Restu." Milva hanya tersenyum getir. Ia pun tak bisa membantah, lagi pula apalah dirinya bila sampai membantah.Hanya anggukan sebagai jawaban. Bu Ningsih mengambil sepiring lauk yang berisi ayam. Semuanya di ambil, hanya tersisa nasi saja. Padahal dengan menantunya sendiri, kenapa bisa seperti itu? Akankah memang sudah garis takdirnya Milva? Namun, wanita mana yang akan tahan bila seperti itu, sungguh nasipnya miris sekali.Rasa lapar dan perut harus segera di isi, dengan terpaksa Milva pun hanya makan nasi putih saja. Ya, rasa hambar sama seperti dirinya. Namun, semua harus ia jalani. Kebanyakan, wanita diluar sana yang baru saja menjadi pengantin baru. Mereka kebanyakan bersenang-senang dan disanjung seperti layaknya seorang ratu.Apa jadinya seorang Milva, yang menempatkan hati untuk menikah dengan agar hutang kedua orang tuanya segera lunas. Kini semua sudah terjawabkan. Ya, seperti itulah nasipnya, sangat berbanding terbalik sekali.Dengan lahapnya, Milva makan hanya nasi putih. Ya, tentu saja, karena dirinya lapar yang ada dipikirannya hanya supaya lekas kenyang."Alhamdulillah," ucapnya lirih. Wajah yang tadinya pucat, kini sudah tidak terlalu pucat. Butuh istirahat sebentar, mungkin wajahnya akan berseri kembali.Hari berganti bulan, semua sudah dilalui oleh Milva. Dari awal yang menjadi pengantin baru, dengan sebuah siksaan. Dirinya sudah merasa kebal akan semua itu, hanya saja terkadang ia hanya bisa menangis.Ya, itulah cara satu-satunya meluapkan beban semua. Pukulan serta hinaan telah ia dapat. Semua sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Apa lagi kedua orang tuanya sudah tiada. Semua yang dilakukan olehnya selalu salah di mata sang mertua dan suaminya. Semoga semua ujian ini, segera berlalu, itulah yang diharapkan.***Wajah yang tenggelam di dalam bak air membuat Milva sering tak bisa bernapas dengan sempurna. Apa lagi dengan kasarnya Restu menjambak rambut, mengangkat dan menenggelamkan lagi berkali-kali.Suara rintihan Milva selalu tak pernah didengarnya. Semua seperti angin lewat biasa saja. Memohon ampun berkali-kali pun tidak akan ada gunanya, sebelum sang suami memberi ampunan sendiri."Sudah aku katakan, kalau masak yang enak sedikit kenapa, hah!" bentak sang suami dengan rahang yang mengeras.Milva yang sudah pusing tujuh keliling akibat rambutnya di tarik berkali-kali membuat kesadarannya mulai menghilang. Terkadang janggut menghantam ujung bak yang terbuat dari beton itu membuatnya sakit. Ingin sekali dirinya segera terbang jauh dan tak kembali pulang. Ya, ia ingin sekali tidur untuk selama saja. Dari pada nasipnya selalu seperti ini.Milva sudah tidak tahan lagi. Kini mata yang sudah berat pun tak bisa ditahan lagi. Sudah terlalu samar untuk mendengar ucapan sang suami. Hingga pada akhirnya semua terasa gelap, sunyi dan sangat damai sekali. Ia pun sudah tak merasakan sakit kembali."Kau dengar tidak!" bentak Restu, masih terus menarik dan mencelupkan muka Milva ke dalam air. Namun, melihat istrinya tidak ada suara rintihan, ia pun memberhentikan aksinya.Menarik dan mencoba melihat ke manik matanya. Sangat terkejut, karena Milva sudah menutup mata. Restu pun melepaskan jambakan di rambut sang istri. Hingga membuat wanita itu langsung jatuh lunglai di lantai kamar mandi."Heh, bangun! Jangan pura-pura tidur," ucapnya sembari menepuk-nepuk pipi Milva. Namun, yang ditepuk-tepuk tetap saja tidak ada respon."O, jadi gini sekarang. Awas saja kalau sudah sadar," imbuhnya. Restu pun meninggalkan Milva sendirian di lantai kamar mandi yang sangat dingin. Bajunya pun sudah bayah akibat beberapa kali tadi ditenggelamkan di dalam air.Tidak ada jiwa kasihan sedikitpun kepada Milva. Sungguh sangat miris sekali nasipnya. Restu sangat puas dengan menghukum istrinya. Seakan semua itu hanyalah pelampiasannya saja."Ke mana wanita itu?" tanya Bu Ningsih sembari duduk di samping putra kesayangannya."Biasa, pingsan," jawab Restu singkat. Ia pun masih fokus dengan menonton televisi."Bagus, kenapa nggak dari dulu saja dia mati." Bu Ningsih sangat kesal, karena memang menantunya sangat sabar terhadapnya. Apa lagi dengan tugas-tugas juga hukuman yang setiap hari diberikan."Sabar lah, Bu. Bila sudah waktunya pasti akan segera mati," ucap Restu dengan tertawa terbahak-bahak.Awal yang tidak lucu pun membuat Bu Ningsih juga ikut tertawa. Semua memang telah merencanakan dan menanti kematian Milva. Padahal wanita itu sangatlah tulus, juga penyabar. Andaikan Milva tahu, mungkin dirinya akan memberontak dan lari dari rumah itu.Siapapun yang berada di sana pastinya tidak akan betah, walau hanya satu hari saja. Namun, Milva sangatlah wanita kuat, sudah setahun dirinya bertahan dengan semua itu.Malam sudah menyapa, rembulan juga kerlap-kerlip bintang sangatlah menenangkan. Milva yang berjam-jam di lantai kamar mandi sendirian, tiada orang yang menolongnya. Akhirnya ia pun mulai sadar, saking lelahnya juga karena pingsan dirinya pun sampai tidak terasa tertidur lama.Badan yang terasa dingin, tulang-tulang juga seperti remuk, pusing melanda, serta rasa nyeri di bagian dagu mulai terasa. Ia pun menatap sekeliling, dan dirinya mulai mengigat-ingat semua kejadian yang beberapa jam dilaluinya."Awh ...," rintihnya tertahan. Ia pun hanya bisa menghembuskan napasnya. Sudah mengigat memori yang masih jelas dengan dirinya di celupkan di dalam air membuat rasa sesak itu melanda. Tanpa terasa buliran air bening menetes tanpa aba-aba."Kenapa aku tidak mati saja," ucapnya lirih. Ia sudah sangat tidak tahan, seakan semua merasa menekannya.Mencoba bangkit perlahan, menahan semua rasa sakit. Milva pun dengan hati-hati mulai melangkah. Walau, dirasa kaki sangat dingin tak bisa untuk berjalan. Namun, semua harus ia tahan, yang ada dalam pikirannya agar segera berganti pakaian dan menghangatkan tubuhnya. Semua itu ia lakukan agar tidak terkena flu.Perlahan membukan kenop pintu kamar mandi, Milva melihat ke segela penjuru kamar. Ia merasa lega, karena Restu tidak berada di kamar. Entah jadinya bila sang suami berada di kamar dan menanti dirinya. Bisa-bisa memang akan ada penyiksaan part ke dua."Syukurlah, aku sangat takut sekali," ucap Milva lirih. Ia pun terus berjalan menuju ke lemari pakaiannya. Dengan segera langsung mencari pakaian dan memakainya.Tangan gemetar dan semua badan terasa sakit, ia harus segera melewatinya sendiri. Apa lagi selama ini Milva masih terus tidur dibawah. Belum seranjang bersama Restu.Bersambung ..."Ibu ... Bapak, Maafin Milva belum bisa menjadi anak terbaik bagi kalian," ucapnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur kecil, yang selalu menjadi teman setianya. Ia pun meringkuk, mencoba untuk segera memejamkan matanya. Semua tubuh memang terasa sakit, tetapi ada yang sudah hancur berkeping-keping. Rasa itu telah mati, harapan-harapan yang indah telah sirna. Seakan hilang lenyap ditelan kepahitan. Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada tanda-tanda ia akan segera tidur. Pikirannya pun melalang buana ke mana-mana. Berharap bisa meluluhkan hati sang suami. Namun, ternyata tidak berhasil juga. Usahanya seakan sia-sia, andaikan kematian datang lebih cepat, mungkin Milva akan merasa sangat bersyukur. Penderitaan selama ini membuat dirinya hancur, apa lagi tidak ada dukungan serta pelukan hangat dari orang-orang terncinta. Ia hanya sendiri, semua yang dikerjakan juga selalu salah. Apalah yang hanya menumpang makan serta tidur, tetapi melakukan hal-hal ini dan itu tidak pernah d
Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum. "Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh. "E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai. "Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu barubangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut. "Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab. "Milva di mana?" tanya Restu spontan. "Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih
Tak berselang lama akhirnya Restu telah sampai di hotel yang dijanjikan bersama Sely. Ia sangat tak bersemangat hari ini, entah karena masih terpengaruh alkohol semalam atau entahlah, dirinya malah bimbang sendiri. Mengetuk pintu hotel agar segera dibukakan oleh Sely. Tidak menunggu waktu yang lama, akhirnya seorang wanita menggunakan baju mini membuat Restu berbinar. Lelaki mana bila tidak tergoda dengan bongkahan padat dan kenyal itu. "Ayo masuk," ucap Sely sembari mengerlingkan matanya. Demi uang apapun itu bisa ia lakukan. Kini wanita dan lelaki itu masuk ke dalam hotel. Melihat tingkah Restu yang kurang bersemangat membuat Sely curiga. Ia pun terus menggoda agar apa yang diinginkan segera tercapai. "Ada apa? Sepertinya kau kurang sehat?" tanya Sely sembari terus menggoda. "Entahlah, aku rasa kurang bergairah," jawab Restu jujur. "Baiklah, akan aku tingkatkan gairahmu.""Tidak! Aku sedang tidak ingin." Sely yang mendapat penolakan dari Restu membuat sedikit kesal. Bisa-bisan
Ya, Sely sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sebuah nama Dinda tertera di layar ponsel Restu. Apa lagi saat dirinya membaca pesan chat yang memang muncul di layar. Dinda[Sayang, kenap tidak diangkat?]Begitulah isi pesan chat tersebut. Sely beberapa kali ingin membuka ponsel Restu. Namun, dirinya selalu gagal, benda pipih tersebut ternyata di kunci. "Argh! Sial!" ucap Sely sembari membanting ponsel Restu ke kasur yang masih longgar. Untung saja ponsel tersebut tidak mengenai dipan yang terbuat dari kayu. Bisa jadi kalau terkena itu akan pecah layarnya. "Aku kira, kekasih simpananku itu hanya aku. Eh, ternyata ada wanita lain, pantas saja dirimu selalu alasan ini itu." Sely menggerutu tidak karuan. Hatinya sudah terlalu sakit.Walaupun awalnya dia hanya sebagai wanita panggilan, tetapi makin lama dirinya menggunakan hati. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih apa lagi bisa menjadi istrinya. Argh, semua wanita akan segera berbondong-bondong pastinya. "Baiklah, kalau beg
Setelah puas dengan berselfi, mereka pun memulai acara intinya. Ya, ibu-ibu sosialita memang lebih mementingkan gaya glamor juga kemewahan. Sampai tak terasa waktu mereka telah habis. Mereka semua pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk juga Bu Ningsih juga ikut pulang. Berjalan menuju ke parkiran, dirinya pun masuk ke mobil mewahnya. Hingga pada akhirnya, mobil pun berjalan meninggalkan restoran mewah tersebut. Bu Ningsih sangat bahagia, karena bisa memamerkan tas mewahnya. Ya, banyak yang memujinya tadi.Tanpa terasa mobil pun sudah sampai digarasi rumah. Perjalanan yang menyenangkan serta bahagia membuat semua tidak terasa sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata di dalam rumah terasa sangat sepi sekali. "Apa Restu belum pulang?" ucap Bu Ningsih lirih. Ia pun segera berjalan menuju ke lantai atas. Ingin memastikan bila anak semata wayangnya itu memang belum pulang. Ceklek! Pintu kamar Restu pun terbuka lebar. Bu Ningsih kaget, kare
Setelah melihat sang suami merebahkan di atas kasur. Milva pun juga merebahkan dirinya ke kasur tipis itu. Membelakangi Restu, wanita itu perlahan menitikkan air mata kembali. Sungguh, hatinya sangat sesak sekali. Andaikan hati Restu dan Milva saling melontarkan kata dan mereka berdua bisa mengetahui satu sama lain. Mungkin semua ini tak akan seperti itu, hanya saja diam bertemu dengan gengsi. Ya, sudahlah, memang mereka bukan jodohnya. Restu mendengar suara rintihan, ia tahu bila suara itu terdengar dari Milva. Membalikkan badannya dan menatap punggung istrinya itu. Dirinya pun dengan secepat kilat mengeluarkan benda pipih yang berada di saku celananya itu.Menekan nomor seseorang dan dirinya pun beberapa saat terlibat mengobrol sebentar. Hingga pada akhirnya, ia menaruh ponselnya di kasur. Bangkit dan berjalan menuju ke jendela. Restu pun masih tetap memandangi Milva terus menerus. Apakah memang dirinya jatuh cinta? Namun, kenapa selalu saja merasa kasihan bila wanita itu tersaki
Setelah puas menatap punggung sang suami dan berandai-andai yang semua itu tak akan mungkin terjadi. Milva pun memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali. Berharap bertemu mimpi indah sangat menyenangkan. Menghilangkan apa yang sudah terjadi selama ini. Padahal dirinya sudah tak ingin lagi menjalani semua kehidupan pahit ini. Menutup mata, hingga tanpa ia sadari, dirinya pun tertidur dengan nyenyak. Sungguh, bagi Milva semua itu sungguh melelahkan. ***Restu yang masih menyibukkan dengan bermain ponselnya. Ia pun sedikit menoleh ke arah sang istri. Melihat Milva sudah merebahkan badannya, dan ternyata terlelap. Restu pun hanya tersenyum, melihat kebekas luka. Dirinya hanya bisa tersenyum getir. Sangat merasa kasihan, karena telah melakukan hal yang telah dibatas wajar. Hingga lada akhirnya, dirinya juga ikut ke merebahkan badannya ke kasur. Ia menatap ke atas atap langit dan pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan saat bertemu sama Milva. Restu hanya bisa tersenyum kembal
"Tolong lepasin, gua," ucap Restu yang merasa sangat jengkel dengan tindakan Dinda. Apa lagi, wanita itu bersikeras untuk terus mengandengnya. Banyak sorot mata yang menatap ke arah mereka. Mungkin dalam hati bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Kenapa bisa-bisanya mereka ribut di depan umum?"Jangan begitu, lihatlah mereka semua melihat kita," ucap Dinda masih tak ingin melepaskan pelukannya. "Aku tidak peduli, sekarang lepaskan aku!" Restu sudah kehilangan kendali. Ia dorong tubuh Dinda sampai dirinya tersungkur menubruk beberapa kursi. Restu pun langsung meninggalkan wanita itu sendirian. Dirinya tidak peduli dengan cibiran orang-orang. Menuju ke parkiran, pikirannya sangatlah lelah. "Argh!" Restu memutul setir mobil dengan keras. Dirinya pun juga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Di satu sisi dirinya memang butuh sandaran. Namun, sang mama tidak seperti yang ia harapkan. Restu tak tahu harus bersandar ke siapa? Dirinya sudah terlalu lelah dengan semua yang menimpa kehidupannya