Share

Bab 2. Milva bertahanlah!

Setelah berjam-jam dirinya berkutat dengan pekerjaan rumah, akhirnya Milva bisa beristirahat. Wajah yang pucat juga keringat yang terus mengucur, rasanya sudah hampir pingsan. Namun, ia tetap menguatkan diri dan segera mengambil piring untuk makan.

Baru ingin mengambil nasi tiba-tiba Milva terlonjak maget dengan suara ibu mertuanya, "Apa yang kau lakukan?"

"Ma-mau makan, Bu," ucap Milva terbata, dirinya sudah sangat lemas. Apa lagi sedari tadi perut belum diisi apa-apa.

"Makan nasi saja, lauknya buat Restu." Milva hanya tersenyum getir. Ia pun tak bisa membantah, lagi pula apalah dirinya bila sampai membantah.

Hanya anggukan sebagai jawaban. Bu Ningsih mengambil sepiring lauk yang berisi ayam. Semuanya di ambil, hanya tersisa nasi saja. Padahal dengan menantunya sendiri, kenapa bisa seperti itu? Akankah memang sudah garis takdirnya Milva? Namun, wanita mana yang akan tahan bila seperti itu, sungguh nasipnya miris sekali.

Rasa lapar dan perut harus segera di isi, dengan terpaksa Milva pun hanya makan nasi putih saja. Ya, rasa hambar sama seperti dirinya. Namun, semua harus ia jalani. Kebanyakan, wanita diluar sana yang baru saja menjadi pengantin baru. Mereka kebanyakan bersenang-senang dan disanjung seperti layaknya seorang ratu.

Apa jadinya seorang Milva, yang menempatkan hati untuk menikah dengan agar hutang kedua orang tuanya segera lunas. Kini semua sudah terjawabkan. Ya, seperti itulah nasipnya, sangat berbanding terbalik sekali.

Dengan lahapnya, Milva makan hanya nasi putih. Ya, tentu saja, karena dirinya lapar yang ada dipikirannya hanya supaya lekas kenyang.

"Alhamdulillah," ucapnya lirih. Wajah yang tadinya pucat, kini sudah tidak terlalu pucat. Butuh istirahat sebentar, mungkin wajahnya akan berseri kembali.

Hari berganti bulan, semua sudah dilalui oleh Milva. Dari awal yang menjadi pengantin baru, dengan sebuah siksaan. Dirinya sudah merasa kebal akan semua itu, hanya saja terkadang ia hanya bisa menangis.

Ya, itulah cara satu-satunya meluapkan beban semua. Pukulan serta hinaan telah ia dapat. Semua sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Apa lagi kedua orang tuanya sudah tiada. Semua yang dilakukan olehnya selalu salah di mata sang mertua dan suaminya. Semoga semua ujian ini, segera berlalu, itulah yang diharapkan.

***

Wajah yang tenggelam di dalam bak air membuat Milva sering tak bisa bernapas dengan sempurna. Apa lagi dengan kasarnya Restu menjambak rambut, mengangkat dan menenggelamkan lagi berkali-kali.

Suara rintihan Milva selalu tak pernah didengarnya. Semua seperti angin lewat biasa saja. Memohon ampun berkali-kali pun tidak akan ada gunanya, sebelum sang suami memberi ampunan sendiri.

"Sudah aku katakan, kalau masak yang enak sedikit kenapa, hah!" bentak sang suami dengan rahang yang mengeras.

Milva yang sudah pusing tujuh keliling akibat rambutnya di tarik berkali-kali membuat kesadarannya mulai menghilang. Terkadang janggut menghantam ujung bak yang terbuat dari beton itu membuatnya sakit. Ingin sekali dirinya segera terbang jauh dan tak kembali pulang. Ya, ia ingin sekali tidur untuk selama saja. Dari pada nasipnya selalu seperti ini.

Milva sudah tidak tahan lagi. Kini mata yang sudah berat pun tak bisa ditahan lagi. Sudah terlalu samar untuk mendengar ucapan sang suami. Hingga pada akhirnya semua terasa gelap, sunyi dan sangat damai sekali. Ia pun sudah tak merasakan sakit kembali.

"Kau dengar tidak!" bentak Restu, masih terus menarik dan mencelupkan muka Milva ke dalam air. Namun, melihat istrinya tidak ada suara rintihan, ia pun memberhentikan aksinya.

Menarik dan mencoba melihat ke manik matanya. Sangat terkejut, karena Milva sudah menutup mata. Restu pun melepaskan jambakan di rambut sang istri. Hingga membuat wanita itu langsung jatuh lunglai di lantai kamar mandi.

"Heh, bangun! Jangan pura-pura tidur," ucapnya sembari menepuk-nepuk pipi Milva. Namun, yang ditepuk-tepuk tetap saja tidak ada respon.

"O, jadi gini sekarang. Awas saja kalau sudah sadar," imbuhnya. Restu pun meninggalkan Milva sendirian di lantai kamar mandi yang sangat dingin. Bajunya pun sudah bayah akibat beberapa kali tadi ditenggelamkan di dalam air.

Tidak ada jiwa kasihan sedikitpun kepada Milva. Sungguh sangat miris sekali nasipnya. Restu sangat puas dengan menghukum istrinya. Seakan semua itu hanyalah pelampiasannya saja.

"Ke mana wanita itu?" tanya Bu Ningsih sembari duduk di samping putra kesayangannya.

"Biasa, pingsan," jawab Restu singkat. Ia pun masih fokus dengan menonton televisi.

"Bagus, kenapa nggak dari dulu saja dia mati." Bu Ningsih sangat kesal, karena memang menantunya sangat sabar terhadapnya. Apa lagi dengan tugas-tugas juga hukuman yang setiap hari diberikan.

"Sabar lah, Bu. Bila sudah waktunya pasti akan segera mati," ucap Restu dengan tertawa terbahak-bahak.

Awal yang tidak lucu pun membuat Bu Ningsih juga ikut tertawa. Semua memang telah merencanakan dan menanti kematian Milva. Padahal wanita itu sangatlah tulus, juga penyabar. Andaikan Milva tahu, mungkin dirinya akan memberontak dan lari dari rumah itu.

Siapapun yang berada di sana pastinya tidak akan betah, walau hanya satu hari saja. Namun, Milva sangatlah wanita kuat, sudah setahun dirinya bertahan dengan semua itu.

Malam sudah menyapa, rembulan juga kerlap-kerlip bintang sangatlah menenangkan. Milva yang berjam-jam di lantai kamar mandi sendirian, tiada orang yang menolongnya. Akhirnya ia pun mulai sadar, saking lelahnya juga karena pingsan dirinya pun sampai tidak terasa tertidur lama.

Badan yang terasa dingin, tulang-tulang juga seperti remuk, pusing melanda, serta rasa nyeri di bagian dagu mulai terasa. Ia pun menatap sekeliling, dan dirinya mulai mengigat-ingat semua kejadian yang beberapa jam dilaluinya.

"Awh ...," rintihnya tertahan. Ia pun hanya bisa menghembuskan napasnya. Sudah mengigat memori yang masih jelas dengan dirinya di celupkan di dalam air membuat rasa sesak itu melanda. Tanpa terasa buliran air bening menetes tanpa aba-aba.

"Kenapa aku tidak mati saja," ucapnya lirih. Ia sudah sangat tidak tahan, seakan semua merasa menekannya.

Mencoba bangkit perlahan, menahan semua rasa sakit. Milva pun dengan hati-hati mulai melangkah. Walau, dirasa kaki sangat dingin tak bisa untuk berjalan. Namun, semua harus ia tahan, yang ada dalam pikirannya agar segera berganti pakaian dan menghangatkan tubuhnya. Semua itu ia lakukan agar tidak terkena flu.

Perlahan membukan kenop pintu kamar mandi, Milva melihat ke segela penjuru kamar. Ia merasa lega, karena Restu tidak berada di kamar. Entah jadinya bila sang suami berada di kamar dan menanti dirinya. Bisa-bisa memang akan ada penyiksaan part ke dua.

"Syukurlah, aku sangat takut sekali," ucap Milva lirih. Ia pun terus berjalan menuju ke lemari pakaiannya. Dengan segera langsung mencari pakaian dan memakainya.

Tangan gemetar dan semua badan terasa sakit, ia harus segera melewatinya sendiri. Apa lagi selama ini Milva masih terus tidur dibawah. Belum seranjang bersama Restu.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status