Prank!
Bunyi pecahan piring membuat Milva terkejut. Ia tak akan menyangka melihat suaminya telah di luar batas. Selama sudah satu tahun baru kali ini piring pecah."Kau ini emang nggak tahu diri!" Bagaikan disambar petir, air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya terjatuh juga."Awas kau, ya!" Restu menarik lengan Milva dan menyeretnya. Wanita itu hanya merintih dan menahan sakit."Mas, jangan ... Mas," suara Milva parau. Dirinya mencoba memberontak. Namun, apalah daya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya bisa pasrah. Sudah biasa bila akan menelan air lagi seperti sebelumnya.***"Nduk, maafkan ibumu. Kau harus menikah," ucap Ibu Milva saat beliu belum menghembuskan napasnya untuk terakhir kali."Tapi, Milva tidak menyukai Restu, Bu!" Milva terus terisak di lutut sang ibunda tercinta. Ia tak tahu harus bagaimana, bila tidak menuruti kemauan kedua orang tuanya. Kasihan mereka pasti akan disuruh membayar hutang. Namun, hati tak bisa dibohongi, ingin segera bebas, tetapi tidak tahu harus bagaimana lagi.Hingga pada akhirnya sebuah pernikahan mewah tergelar dengan indah. Ya, Milva memutuskan untuk menikah dengan Restu. Alasannya hanya satu, yaitu hutang keluarga sudah lunas terbayarkan. Walaupun hati menolak semua, tetapi ini lebih baik.Milva merelakan kebahagiaannya demi kebahagiaan orang tuanya. Hanya itulah keinginan terbesarnya. Gaun putih mewah telah terpakai ditubuhnya. Siapa yang tak suka menikah dengan orang kaya, semua kemewahan pasti akan ada bukan!Lagi-lagi Milva hanya tersenyum penuh kepalsuan. Ya, karena ia tak menyukai akan pernikahan ini. Pernikahan yang tidak dilandasi akan cinta. Namun, dilandasi agar hutang kedua orang tuanya lunas. Sungguh, nasip wanita itu sangatlah miris.Milva selalu meyakinkan dirinya agar menjadi orang kuat juga ikhlas dengan semuanya. Ya, hanya itu pedomannya. Membuat orang lain bahagia diatas pernderitaannya itu sangatlah luar biasa baginya.Malam pertama yang mendebarkan bagi Milva. Selama ini dirinya hanya mendengar cerita dari teman-temannya. Namun, kali ini ia benar-benar merasakannya.Setelah mandi dan berganti baju tidur. Ia merebahkan di atas kasur yang telah di desain sangat indah. Kelopak mawar taburkan, juga hiasan lampu kelap-kelip menghiasinya. Milva baru sadar kenapa sedari tadi tidak melihat sosok Restu."Mungkin masih ada urusan, lebih baik aku tidur saja," ucap Milva lirih. Kini ia pun memutuskan untuk tidur duluan. Bersyukur sekali, karena malam ini tidak setegang tadi.Baru juga beberapa menit tertidur, Milva sangat kaget akan suara yang baginya tak bersahabat, "Kenapa kau tidur di kasurku? Cepat sana tidur di lantai!" bentak Restu dengan bau alkohol yang sangat menyengat.Milva pun terkejut karena jarak mereka sangat dekat, apa lagi bau alkohol yang membuat dirinya ingin muntah."Iy-iya, aku tidur di bawah," ucap Milva terbata. Dengan segera ia pun bangkit dari kasur yang super empuk itu dan berjalan sedikit menjauh dari Restu.Lelaki itu dengan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur super besar dan empuk itu. Terdengar samar-samar dengkuran kecil. Milva pun hanya menggaruk-ngaruk kepalanya yang tidak gatal.Ia pun memutuskan untuk membuka lemari dan mencari kasur kecil. Semoga saja ada kasur yang bisa untuk dirinya tidur. Namun, lagi dan lagi Milva kaget akan suara Restu meracau tidak jelas."Cepat temukan kasur lalu segera tidur, Va. Jangan sampai membuat singa itu bangun," ucap Milva lirih. Ia pun terus mencarinya sampai pada akhirnya ia menemukan kasur lantai kecil, bantal juga selimut. Dengan sigap ia pun menyiapkan semuanya.Milva terhenyak saat memandangi wajah tampan Restu. Dirinya tanpa sadar terus memandangi, bau alkohol yang masih menyengat membuat wanita itu tak bisa memejamkan mata dengan segera. Ia terus gelisah dan terus menatap lekat kepada lelaki yang sekarang telah menjadi suami secara sah."Baiklah, cukup kali ini aku menganti pakaianmu," ucap Milva sembari menyiapkan baju bersih untuk sang suami.Satu persatu ia lepas pakaian Restu dan memakaikannya. Sebelum itu, ia menyeka dengan air hangat, agar bau alkohol segera hilang."Astaga!" pekik Milva melihat apa yang tak terduga, masih terbungkus rapi dalam celana boxer."Milva jangan sampai kau membayangkan, ingat itu!" Milva terus mencoba menguatkan dirinya. Hingga pada akhirnya sudah selesai menganti pakaian sang suami.Ia pun akhirnya merebahkan di atas kasur yang sudah di siapkan tadi. Rasa lelah yang teramat sangat, hingga pada akhirnya Milva sudah tertidur lelap.Pagi hari yang begitu cerah, sepasang pengantin yang baru saja menikah, belum juga bangun. Membuat sang mertua marah. Bu Ningsih—ibunya Restu terus menggedor-gedor pintu kamar tersebut."Heh, bangun. Jangan jadi pemalas!" Teriak Bu Ningsih masih dengan menggedor-gedor pintu. Samar-samar telinga Milva mendengar gedoran tersebut. Hingga lama-kelamaan suara itu semakin jelas terdengar.Milva pun langsung terbangun dan berjalan mendekat ke arah pintu. Menbiarkan sang suami masih tertidur dengan lelapnya. Ia pun langsung membuka pintu, betapa kagetnya, karena sang ibu mertua sudah di hadapan sembari berkacak pinggang."Mentang-mentang sudah ena-ena dengan anakku. Kau tidak mau bangun!" ucap Bu Ningsih kepada Milva.Milva pun hanya bisa menahan rasa nyeri di ulu hati yang datang secara tiba-tiba. Padahal semua itu tidak seperti apa yang dikatakan oleh sang mertua."Cepat sana cuci piring, baju dan bersih-bersih!" bentaknya."Ba-baik, Bu," jawab Milva dengan terbata. Ia tahu, karena di sini hanya sebagai menantu dan itupun hanya menumpang.Bu Ningsih meninggalkan Milva yang masih kaget. Ia pun harus banyak menyesuaikan diri di rumah sang mertua. Ya, semua memang tak bisa dilakukan oleh kehendaknnya sendiri.Milva mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Dirinya pun segera berlalu meninggalkan kamar, membiarkan Restu masih terbaring nyenyak.Berjalan menuju ke dapur, ternyata benar saja. Piring sudah menumpuk harus di cuci. Tanpa rasa jijik, Milva pun dengan cekatan segera mencuci piring tersebut. Ya, alasannya agar semua cepat selesai.Milva memang gadis yang cekatan juga pandai. Apa lagi paras wajahnya yang cantik dan polos, terkadang banyak orang yang mengagumi dirinya. Namun, para lelaki kini harus kandas cinta yang belum tersampaikan itu sudah dimiliki orang lain. Ya, semua tidak ada yang tahu bukan."Ini ada tambahan," ucap Bu Ningsih. Membuat Milva masih tetap di wastafel untuk mencuci semua itu. Padahal tadinya sudah hampir selesai."Ba-baik, Bu," jawab Milva dengan terbata. Ingin mengeluh, tetapi ia tak bisa.Ia pun mencucu dua tumpukan piring itu lagi. Walau rasa lapar sudah menghampiri, tetapi dirinya tidak berani untuk makan. Apa lagi pekerjaannya masih sangat banyak."Apa harus seperti ini terus menerus?" tanya Milva lirih. Dirinya pun tidak akan tahu, sampai kapan ia akan bertahan.Bersambung ....Setelah berjam-jam dirinya berkutat dengan pekerjaan rumah, akhirnya Milva bisa beristirahat. Wajah yang pucat juga keringat yang terus mengucur, rasanya sudah hampir pingsan. Namun, ia tetap menguatkan diri dan segera mengambil piring untuk makan. Baru ingin mengambil nasi tiba-tiba Milva terlonjak maget dengan suara ibu mertuanya, "Apa yang kau lakukan?""Ma-mau makan, Bu," ucap Milva terbata, dirinya sudah sangat lemas. Apa lagi sedari tadi perut belum diisi apa-apa. "Makan nasi saja, lauknya buat Restu." Milva hanya tersenyum getir. Ia pun tak bisa membantah, lagi pula apalah dirinya bila sampai membantah. Hanya anggukan sebagai jawaban. Bu Ningsih mengambil sepiring lauk yang berisi ayam. Semuanya di ambil, hanya tersisa nasi saja. Padahal dengan menantunya sendiri, kenapa bisa seperti itu? Akankah memang sudah garis takdirnya Milva? Namun, wanita mana yang akan tahan bila seperti itu, sungguh nasipnya miris sekali. Rasa lapar dan perut harus segera di isi, dengan terpaksa M
"Ibu ... Bapak, Maafin Milva belum bisa menjadi anak terbaik bagi kalian," ucapnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur kecil, yang selalu menjadi teman setianya. Ia pun meringkuk, mencoba untuk segera memejamkan matanya. Semua tubuh memang terasa sakit, tetapi ada yang sudah hancur berkeping-keping. Rasa itu telah mati, harapan-harapan yang indah telah sirna. Seakan hilang lenyap ditelan kepahitan. Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada tanda-tanda ia akan segera tidur. Pikirannya pun melalang buana ke mana-mana. Berharap bisa meluluhkan hati sang suami. Namun, ternyata tidak berhasil juga. Usahanya seakan sia-sia, andaikan kematian datang lebih cepat, mungkin Milva akan merasa sangat bersyukur. Penderitaan selama ini membuat dirinya hancur, apa lagi tidak ada dukungan serta pelukan hangat dari orang-orang terncinta. Ia hanya sendiri, semua yang dikerjakan juga selalu salah. Apalah yang hanya menumpang makan serta tidur, tetapi melakukan hal-hal ini dan itu tidak pernah d
Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum. "Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh. "E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai. "Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu barubangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut. "Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab. "Milva di mana?" tanya Restu spontan. "Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih
Tak berselang lama akhirnya Restu telah sampai di hotel yang dijanjikan bersama Sely. Ia sangat tak bersemangat hari ini, entah karena masih terpengaruh alkohol semalam atau entahlah, dirinya malah bimbang sendiri. Mengetuk pintu hotel agar segera dibukakan oleh Sely. Tidak menunggu waktu yang lama, akhirnya seorang wanita menggunakan baju mini membuat Restu berbinar. Lelaki mana bila tidak tergoda dengan bongkahan padat dan kenyal itu. "Ayo masuk," ucap Sely sembari mengerlingkan matanya. Demi uang apapun itu bisa ia lakukan. Kini wanita dan lelaki itu masuk ke dalam hotel. Melihat tingkah Restu yang kurang bersemangat membuat Sely curiga. Ia pun terus menggoda agar apa yang diinginkan segera tercapai. "Ada apa? Sepertinya kau kurang sehat?" tanya Sely sembari terus menggoda. "Entahlah, aku rasa kurang bergairah," jawab Restu jujur. "Baiklah, akan aku tingkatkan gairahmu.""Tidak! Aku sedang tidak ingin." Sely yang mendapat penolakan dari Restu membuat sedikit kesal. Bisa-bisan
Ya, Sely sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sebuah nama Dinda tertera di layar ponsel Restu. Apa lagi saat dirinya membaca pesan chat yang memang muncul di layar. Dinda[Sayang, kenap tidak diangkat?]Begitulah isi pesan chat tersebut. Sely beberapa kali ingin membuka ponsel Restu. Namun, dirinya selalu gagal, benda pipih tersebut ternyata di kunci. "Argh! Sial!" ucap Sely sembari membanting ponsel Restu ke kasur yang masih longgar. Untung saja ponsel tersebut tidak mengenai dipan yang terbuat dari kayu. Bisa jadi kalau terkena itu akan pecah layarnya. "Aku kira, kekasih simpananku itu hanya aku. Eh, ternyata ada wanita lain, pantas saja dirimu selalu alasan ini itu." Sely menggerutu tidak karuan. Hatinya sudah terlalu sakit.Walaupun awalnya dia hanya sebagai wanita panggilan, tetapi makin lama dirinya menggunakan hati. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih apa lagi bisa menjadi istrinya. Argh, semua wanita akan segera berbondong-bondong pastinya. "Baiklah, kalau beg
Setelah puas dengan berselfi, mereka pun memulai acara intinya. Ya, ibu-ibu sosialita memang lebih mementingkan gaya glamor juga kemewahan. Sampai tak terasa waktu mereka telah habis. Mereka semua pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk juga Bu Ningsih juga ikut pulang. Berjalan menuju ke parkiran, dirinya pun masuk ke mobil mewahnya. Hingga pada akhirnya, mobil pun berjalan meninggalkan restoran mewah tersebut. Bu Ningsih sangat bahagia, karena bisa memamerkan tas mewahnya. Ya, banyak yang memujinya tadi.Tanpa terasa mobil pun sudah sampai digarasi rumah. Perjalanan yang menyenangkan serta bahagia membuat semua tidak terasa sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata di dalam rumah terasa sangat sepi sekali. "Apa Restu belum pulang?" ucap Bu Ningsih lirih. Ia pun segera berjalan menuju ke lantai atas. Ingin memastikan bila anak semata wayangnya itu memang belum pulang. Ceklek! Pintu kamar Restu pun terbuka lebar. Bu Ningsih kaget, kare
Setelah melihat sang suami merebahkan di atas kasur. Milva pun juga merebahkan dirinya ke kasur tipis itu. Membelakangi Restu, wanita itu perlahan menitikkan air mata kembali. Sungguh, hatinya sangat sesak sekali. Andaikan hati Restu dan Milva saling melontarkan kata dan mereka berdua bisa mengetahui satu sama lain. Mungkin semua ini tak akan seperti itu, hanya saja diam bertemu dengan gengsi. Ya, sudahlah, memang mereka bukan jodohnya. Restu mendengar suara rintihan, ia tahu bila suara itu terdengar dari Milva. Membalikkan badannya dan menatap punggung istrinya itu. Dirinya pun dengan secepat kilat mengeluarkan benda pipih yang berada di saku celananya itu.Menekan nomor seseorang dan dirinya pun beberapa saat terlibat mengobrol sebentar. Hingga pada akhirnya, ia menaruh ponselnya di kasur. Bangkit dan berjalan menuju ke jendela. Restu pun masih tetap memandangi Milva terus menerus. Apakah memang dirinya jatuh cinta? Namun, kenapa selalu saja merasa kasihan bila wanita itu tersaki
Setelah puas menatap punggung sang suami dan berandai-andai yang semua itu tak akan mungkin terjadi. Milva pun memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali. Berharap bertemu mimpi indah sangat menyenangkan. Menghilangkan apa yang sudah terjadi selama ini. Padahal dirinya sudah tak ingin lagi menjalani semua kehidupan pahit ini. Menutup mata, hingga tanpa ia sadari, dirinya pun tertidur dengan nyenyak. Sungguh, bagi Milva semua itu sungguh melelahkan. ***Restu yang masih menyibukkan dengan bermain ponselnya. Ia pun sedikit menoleh ke arah sang istri. Melihat Milva sudah merebahkan badannya, dan ternyata terlelap. Restu pun hanya tersenyum, melihat kebekas luka. Dirinya hanya bisa tersenyum getir. Sangat merasa kasihan, karena telah melakukan hal yang telah dibatas wajar. Hingga lada akhirnya, dirinya juga ikut ke merebahkan badannya ke kasur. Ia menatap ke atas atap langit dan pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan saat bertemu sama Milva. Restu hanya bisa tersenyum kembal