Dering telepon mengganggu kegiatan mengajar Aina. Ini sudah yang ketiga kali dalam dua jam terakhir, dan entah yang keberapa kali dalam tiga hari ini. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dengan perasaan tidak nyaman. Baru saja diangkat dan Aina belum mengucapkan sepatah kata pun, panggilan itu sudah terlebih dahulu dimatikan.
Aina menghela napas kasar. Dia membuka profil dari nomor yang baru saja menghubunginya. Tidak ada nama, tidak ada foto profil. Kosong. Asing.
Ini adalah nomor asing kesekian yang menerornya dalam tiga hari terakhir. Setiap kali dia blokir, nomor baru akan masuk dan menerornya beberapa menit kemudian.
Aina meremas ujung jilbabnya kuat-kuat hingga buku-buku tangannya memucat. Dia merasa ingin menangis sekarang. Tanpa diberi tahu pun, dia sudah tahu bahwa pelakunya pasti Rizal. Apa sebenarnya yang laki-laki itu inginkan? Untuk apa dia melakukan ini semua? Apa luka yang dia torehkan untuk Aina
Dipta terbangun oleh suara isakan yang terdengar samar. Dia mengerjap sesaat untuk mengumpulkan kesadaran sekaligus menajamkan pendengaran. Dia menoleh, mendapati bahu istrinya sedang terguncang. Dipta menggeser tubuh mendekat. Tangannya terulur untuk menyentuh bahu Aina yang sedang tidur membelakanginya."Aina, kamu kenapa? Bangunlah," ucapnya lirih. Jemarinya mengusap bahu dan lengan Aina lembut.Aina terhenyak. Perlahan membuka mata lalu menyentuh pipinya yang sudah basah."Ada apa? Kamu bermimpi buruk lagi?" Pertanyaan Dipta membuat Aina tersentak. Dia tidak sadar bahwa Dipta sedang berada tepat di belakang tubuhnya kini."A-aku ... tidak apa-apa." Aina menjawab seraya berusaha menjauhkan tubuh dari Dipta."Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi?" tanya Dipta lagi.Aina menunduk. Pandangannya mengarah pada seprai abu-abu di bawahnya."Apa ini
"Katakan, apa maksudmu mengajakku bertemu di sini?" tanya Aina sesaat setelah pelayan pergi setelah mengantar pesanan mereka.Rizal mulai menyantap steaknya sambil menyunggingkan senyum remeh tanpa membalas pertanyaan Aina. Sedangkan Aina yang sedari tadi memang sudah jengah berada satu meja dengan mantannya itu, bangkit dari duduk. Berniat meninggalkan laki-laki menyebalkan di hadapannya."Kenapa buru-buru?"Pertanyaan Rizal membuat Aina menoleh. Kedua matanya memicing, menunjukkan keengganan."Setidaknya minum dulu sebelum pergi." Rizal meletakkan pisau dan garpunya lalu mengelap mulut dengan tisu."Aku tidak suka basa-basi, Zal.""Aku tidak sedang basa-basi. Duduklah."Aina menghela napas, kemudian kembali duduk dengan terpaksa."Apa yang kau inginkan?" Aina bertanya, untuk yang kesekian kalinya.
Aina sedang berjalan menuju ruang guru saat tiba-tiba seorang siswa muncul dan menghadang jalannya. Siswa tersebut mengulurkan sebuah amplop coklat ke arah Aina."Dari siapa?" tanya Aina dengan raut wajah heran.Siswa itu hanya menggeleng. Lalu, buru-buru pergi saat amplop itu sudah berpindah ke tangan Aina.Penasaran, Aina membuka amplop dan melihat isinya. Dan seketika, dia terbelalak setelah mengetahui isi amplop itu. Apa lagi kalau bukan foto-foto yang pernah Rizal kirimkan untuknya tempo hari.Aina meremas amplop beserta foto di dalamnya sambil menahan air mata.Rizal benar-benar kelewatan. Aina pikir, laki-laki itu sudah lelah mengancamnya karena beberapa hari terakhir tidak melakukan teror lagi padanya. Namun, dia seharusnya tau, jangan berharap banyak pada Rizal. Laki-laki itu benar-benar iblis.Aina memasukkan amplop yang telah diremasnya ke dalam ta
Malam sudah larut saat Aina dan Dipta tiba di rumah setelah makan malam mereka yang berakhir canggung. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai di rumah pun Aina masuk terlebih dahulu tanpa menunggu Dipta. Wanita itu langsung masuk ke kamar dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, dia bergegas membaringkan diri di tempat tidur.Dipta menyusul dengan tanpa bersuara. Langkah kakinya gontai, pandangan matanya menerawang. Jika Aina memilih untuk langsung masuk ke kamar, Dipta justru memilih singgah ke ruang kerjanya.Dia mengetuk-ngetukkan ujung atas ponselnya ke meja dengan alis bertaut, terlihat berpikir. Lalu, setelah pertimbangan matang, dia meraih ponselnya dan menekan tombol panggil pada salah satu kontak."Hallo, Pak," sapa suara bariton di seberang sana."Sudah dapat informasi yang saya minta?" Dipta menjawab dengan pertanya
Minggu pagi yang cerah. Sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar lewat kaca jendela yang kordennya telah terbuka sepenuhnya. Kicau burung sesekali terdengar dari arah pepohonan belakang rumah, dekat lapangan. Udara dingin dari AC tak membuat wanita pemilik iris kecoklatan nan indah itu enggan untuk beranjak dari tempat tidur.Meskipun hari ini Hari Minggu, Aina tetap melakukan rutinitas paginya seperti biasa—rutinitas yang baru beberapa minggu dia lakukan, sebenarnya. Setelah sholat subuh berjamaah dengan suaminya, dia bergegas turun dan melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Jemarinya dengan lincah meracik berbagai bumbu untuk membuat nasi goreng. Sederhana memang. Karena baru itu masakan yang bisa dia buat tanpa melihat resep. Yah, itu pun terkadang masih keasinan.Dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya telah tersaji di meja makan. Dia melanjutkan membuat secangkir kopi hitam untuk suaminya, dan teh beraroma vanilla untuk dirinya sen
-Aina's POV-Kami telah menjalin hubungan selama satu tahun, sejak aku duduk di kelas 2 SMA. Dulu dia adalah kakak kelasku, umurnya 3 tahun lebih tua dariku. Saat kami masih berada di SMA, setiap hari kami selalu bersama. Dia selalu ingin menghabiskan waktu denganku. Entah di kantin, di taman belakang sekolah, bahkan saat aku ke perpustakaan pun dia menemani.Bagiku, memilikinya terasa seperti mimpi. Bagaimana tidak? Dia anak dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya seorang pejabat daerah sementara ibunya seorang dosen di universitas yang nantinya menjadi kampus tempatnya melanjutkan studi. Wajahnya juga tampan, bahkan sangat tampan. Dia juga pemain inti di tim sepak bola sekolahku. Satu-satunya kekurangannya adalah kenakalannya. Dia terkenal sering membolos pelajaran dan suka tawuran. Tapi terlepas dari segala kekurangannya, bagiku dia tetaplah pangeran.Aku kadang heran kenapa dia mau berpacaran dengan perempuan sepertiku. Aku hanyalah gadis seder
Dipta menginjak rem dan menghentikan mobil di titik koordinat yang ditunjukkan Aina sebelumnya. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aina di situ. Baru saja dia melepas seatbelt dan bersiap untuk turun dari mobil, ponselnya tiba-tiba berdering.Dia mengerutkan dahi saat melihat nama si penelepon. Padahal dia pikir itu Aina, ternyata bukan."Hallo ....""Pak, Bu Aina diculik."Deg! Dunia Dipta serasa berputar seratus delapan puluh derajat mendengar penuturan orang suruhannya itu. Seperti dihantam godam besar tepat di dada, napasnya terasa begitu sesak."Bagaimana bisa? Aina di mana sekarang?" Nada suaranya terdengar cemas. Dia kembali menyalakan mesin mobil dan memutar kemudi."Kami sedang mengikuti mobilnya. Sepertinya mereka akan keluar dari Semarang."Dipta mengendarai mobilnya dengan satu tangan menempelkan ponsel ke telinga. "Baik. Ikuti terus. Saya akan segera menyusul."Setelah mematikan panggilan, Dipta memacu m
Dipta mengendarai mobilnya melewati perkebunan teh yang luas. Diliriknya rute di layar ponsel. GPS Aina telah berhenti berjalan. Berarti mereka telah sampai di tempat Aina akan disandera.Jalan terjal dan berbatu menghambat laju kendaraan yang dikemudikannya. Selain medan yang lumayan susah, jarak pandangnya yang terbatas karena malam semakin larut juga menjadi alasan dia tak bisa melajukan mobilnya lebih cepat.Di sejauh mata memandang, hanya ada gelap yang begitu mencekam. Tak ada lampu penerangan jalan di sini. Hamparan kebun teh yang luas juga terlihat seperti bayangan hitam tak bertepi. Begitu gelap. Purnama pun seperti enggan menerangi jalan Dipta saat ini. Yang bisa dia andalkan hanyalah lampu dari kendaraannya sendiri.Jalanan yang terus menanjak dengan bebatuan terjal yang menjadi alasnya benar-benar menguras habis tenaga. Deru mesin mobil semakin meraung keras seiring medan yang dilaluinya semakin sulit.