"Keraguan akan tetap ada. Selama napas berhembus, maka ketidak yakinan akan terus merundung tiap jiwa manusia yang hidup di dunia."***"Perintah pencarian buronan Anthony Radjarta sudah menyebar, kita hanya butuh waktu saja untuk menangkapnya. Soal Marco, ia sedang diselediki, dan ternyata terungkap bahwa ia melakukan beberapa pelanggaran berat di dalam penjara."Seringai itu berbentuk kepuasan. Biru benar-benar senang. Ia merasa bahwa cerita akhir dari keterpurukannya selama ini akan segera usai. Ia bisa menduga kalau segala hal akan terungkap satu persatu, saling menemukan tempatnya masing-masing di dalam puzzle.Kini tinggal masalah narkoba saja. Hal yang entah mengapa membuat Biru kebingungan setengah mati. Biru bahkan hampir berpikir bahwa Djati sudah tak lagi berkontribusi dalam bisnis jahanam itu, saking suksesnya ia di dunia furniture. Biru benar-benar kesulitan menemukan keterlibatan Djati, ia ingin berhenti, tapi ia tidak yakin bahwa dirinya mampu."Pak," sapa Althaf tiba-t
"Mencintai adalah berani melakukan segalanya. Mencintai adalah sebuah keikhlasan. Mencintai adalah level tertinggi dari sebuah kata menyerah."***"Kamu benar-benar tidak tahu keberadaan Praba? Nomor yang dipakai oleh Pak Radja, mana? Sudah bisa kamu hubungi belum? Saya harus tahu di mana keberadaan Praba sekarang."Djati mencerca anak buah Praba dengan semangat. Saat ia dikirimi pesan oleh Praba, ia tentu saja langsung menghubungi pria itu. Sayangnya nomor yang Praba gunakan, tak lagi aktif. Tampaknya Praba memakai banyak nomor untuk berhubungan dengan orang lain.Anak buah yang dituju Radja juga tak tahu menahu. Ia hanya disuruh untuk menyetorkan sejumlah uang, karena kartu debitnya telah ia serahkan pada sang bos. Saat bekerja, segala kerahasiaan adalah nomor satu. Termasuk memberikan identitas pribadi masing-masing kepada pihak Praba atau pun Djati."Saya tidak tahu apa-apa," cicit sang anak buah yang menurut Bernardio bernama Bayu."Kalau begitu biarkan saja. Kalau menelpon lagi,
"Saat terlibat oleh perasaan cinta, manusia akan mengorbankan segalanya. Termasuk perasaan, dan waktu. Karena pada hakikatnya, cinta itu buta. Semua manusia tahu akan hal itu." *** "Atas nama Dewandaru Angkasa Biru." Seorang pelayan mengangguk, lalu membawanya ke salah satu bilik di mana seorang pria berusia empat puluh tahunan akhir sedang menunggunya sambil meminum ocha hangatnya. Ia mengangguk, memberi kode kepada Biru untuk segera masuk, dan duduk. Biru memang sengaja meminta pria itu menemuinya, saat sang ibu mengatakan kalau ia mendapat foto Ava, dan Djati dari istri seorang Harry Taragandhi. Biru pun menurut, ia masuk, dan duduk dengan tenang di hadapan Harry. Harry, seorang taipan kaya berwajah oriental yang sangat khas. Meskipun hampir mencapai usia lima puluh tahunan, pria itu masih terlihat tampan, dan gagah. Harry adalah lawan yang tak bisa dianggap main-main. Meskipun orang baru di dunia politik, tapi ia memiliki kekuatan media massa yang begitu luas. "Apa yang ingin
"Sebenarnya tiap kata baik-baik saja yang terucap dari mulut manusia bisa jadi sebuah bentuk pertahanan, sekaligus sugesti dari kehidupannya yang berantakan."***"Ada apa, Pak?"Dewandaru Angkasa Biru menoleh, dan menemukan mata Althaf tengah mengintipnya dari balik spion. Dhani yang berada di balik kemudi pun juga. Paspampres yang beberapa tahun ini selalu menjaganya itu tampak penasaran saat Biru membanting pintu mobilnya, dan berekspresi begitu sangar setelah keluar dari resto, tempat ia bertemu dengan Harry Taragandhi. Keduanya bingung, karena biasanya setelah melakukan pertemuan bisnis, Biru akan bersikap santai, dan sumringah.Namun kali itu tidak. Kesepakatannya gagal berjalan. Harry lebih memilih keuntungan semu yang belum tentu didapatkannya dari politik ketimbang kerja sama mereka yang telah berjalan beberapa tahun ini. Padahal jelas-jelas keuntungan yang Harry dapatkan dari kerja sama itu lebih banyak, dan lebih jelas. Tapi, kenyataann
"Tak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kesempurnaan bisa jadi boomerang. Sebab, kesempurnaan bisa membuat manusia merasa dirinya adalah Tuhan."***"Apa Marco ketahuan? Berarti saya sudah masuk ke dalam DPO, ya? Sial!"Anthony Radjarta mengumpat, ia kesal bukan main. Ternyata kasus Purwanto jadi besar, dan sudah pasti Marco beserta dirinya akan menjadi tersangka utama. Radja sebenarnya sudah menduga, saat ia menemukan kalau rekeningnya terblokir tanpa permintaannya. Radja yakin ini adalah ulah polisi, bukan oknum KPK seperti yang Radja katakan pada Praba.Radja mulai memberikan instruksi, namun suara berdeham dari seseorang membuatnya kaget. Tanpa menoleh pun, Radja yakin kalau orang itu adalah Praba, bosnya. Radja pun segera menutup teleponnya, dan menghadap pada Praba yang tengah menatapnya dengan tajam. Radja tak bereaksi berlebihan, hanya diam tak berkutik."Ada apa, Radja? Mengapa kamu terlihat sangat kesal? Ada apa dengan Marco? Kenapa adikmu itu?" cerca Praba yang dibalas
"Ada hal-hal yang biasa bagi orang lain, tapi bagi sebagian yang lain justru menakutkan. Tuhan menciptkan perbedaan. Tiap individu berbeda, dan peraturanlah yang membuat mereka seragam. Bukan individunya yang seragam." *** Ava kaget, tentu saja. Meskipun ia sudah mengetahui fakta itu dari suaminya, ia tetap gemetar saat melihatnya secara langsung. Tapi, Ava tidak boleh gentar. Dengan tangan gemetar, ia buka aplikasi kamera, lalu difotonya beberapa kali, setelah itu ia buat video berdurasi lima menit. Menurutnya, itu sudah cukup membuktikan kalau Djati memang bandar narkoba yang suaminya curigai.Setelah mengumpulkan semua bukti itu, ia pun mengunci ponselnya. Ia hendak pergi dari bilik tersebut, namun baru beberapa langkah ia bertemu tatap dengan Bernardio, dan Pramudya. Ava bersyukur, karena memutuskan pergi lebih cepat sebelum kedua orang itu memergokinya, dan mungkin membunuhnya. Ava tahu Djati tidak akan melakukan itu, tapi siapa yang bisa menebak. Sekarang saja Djati terbukti s
"Tiap berita punya fakta, dan asumsi. Hanya yang memiliki data, maka disebut dengan berita. Bukan hoax yang bisa menghancurkan siapa saja."***"Apa? Pingsan? Ava pingsan, dan kalian baru memberi tahu saya setelah di rumah?"Pertanyaan Djati tidak ditanggapi oleh Bernardio, tapi langsung diangguki oleh Pramudya lengkap dengan cengirannya. Pemuda itu lalu menunjuk ke Bernardio, lalu memainkan alisnya dengan sengaja. Djati menoleh, dan menatap Bernardio dengan tajam. Namun seperti kebiasaan Bernardio, tatapan bosnya tak pernah mempan, pria itu tetap tak berkutik.Djati mau tidak mau langsung mengambil ponselnya. Meminta penjelasan dari Bernardio juga percuma. Ia lebih baik langsung menelepon orang yang membuatnya khawatir. Tapi, mengingat ia sedang sakit, Djati pun mengurungkan niatnya. Ditaruhnya lagi ponselnya, dan berusaha untuk tidak menelepon Ava."Kok, enggak jadi?" tanya Pramudya heran."Perempuan itu memiliki suami, Pram." Bukan Djati yang menjawab, tapi Bernardio. "Lagipula dia
"Siapa yang lebih lama bertahan, dan berhasil menang adalah yang tak hanya menggunakan otak, serta otot. Melainkan juga menggunakan strategi."***"Maksud Ibu bagaimana? Saya enggak paham."Tarissa tersenyum. Ia paham kalau caranya ini akan sulit untuk dipahami bagi siapa pun, termasuk untuk otak sepintar anaknya sendiri. Tarissa sudah menyiapkan diri untuk pertanyaan Biru yang sudah pasti kebingungan. Di pikiran anaknya, cara satu-satunya adalah dengan menghalau Harry untuk tidak memberitakan apa pun mengenai foto itu.Tapi, hal itu adalah hal yang mustahil. Hampir sepuluh tahun, Tarissa berkecimpung di dunia politik meskipun hanya sekadar sebagai pendamping suaminya. Namun ia sudah hafal di luar kepala bagaimana politikus baru menginginkan tempat yang ajeg untuk dirinya sendiri. Apalagi Harry Taragandhi datang dari latar belakang pengusaha yang sukses, pastilah ia berpikir untung ruginya dengan cermat."Bolehkah saya yang menjelaskan?" tanya sang konten kreator pada Tarissa. Tarissa