"Mentari, keinginan ayahku hanya satu, keturunan dari Rakhan. Bekerja samalah dengan Rakhan agar kau bisa segera bebas dari belenggu pernikahan ini," saran Mawar.
Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan pria yang menjadi penyebab semua deritaku? Aku tidak akan kehilangan Arya jika perjanjian pernikahan sialan ini tidak dibuat, batin Mentari.
Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai.
Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya pada sosok yang balas menatapnya di cermin besar yang melekat di dinding walk in closet. Ia meyakinkan dirinya sendiri akan tetap bertahan dalam perjanjian terkutuk yang dibuat ayahnya dan ayah Rakhan sampai ia berhasil mewujudkan keinginan keluarga Mahawira. Setelah itu, ia akan pergi sejauh mungkin dan tidak akan pernah mau lagi berurusan dengan mereka. Mentari membulatkan tekad dalam hati.
Mentari menuruni anak tangga pelan-pelan. Gugup dan cemas bersatu padu mengiringi langkahnya. Pagi pertamanya di rumah keluarga Mahawira menyematkan rasa pahit yang harus ditelannya sendiri. Ia merasa sendirian meskipun di sekitarnya ada pria yang berperan sebagai suami, ayah mertua, dan seorang wanita cantik yang menjadi adik iparnya. Suasana dan pemandangan asing menyelimuti diri sekaligus mengiris hati.
Seorang wanita berbaju hitam-putih khas pelayan menyambut Mentari penuh hormat ketika wanita itu menginjakkan kaki ke karpet nilon merah bermotif bunga yang melapisi lantai. "Tuan sudah menunggu Anda di ruang makan, Nyonya Muda."
"Tuan?" Mentari menyatukan alisnya yang terukir bagai bulan sabit terbalik.
"Tuan Handoko dan Tuan Rakhan," jelas si pelayan menjawab kebingungan Mentari.
Mentari mengangguk lalu menghela napas untuk mengumpulkan keberanian. "Baik. Terima kasih."
Wanita muda itu berjalan dengan anggun menuju ruang makan. Seluruh anggota keluarga Mahawira sudah duduk mengelilingi meja kayu cokelat berbentuk oval. Penerapan etika dan kesopanan tampak kental di ruang makan tersebut. Mentari biasa sarapan sendiri dan hanya sesekali ditemani ayahnya di saat pria itu benar-benar punya waktu luang. Miris bagi Mentari melihat penampakan keluarga yang nyaris sempurna seperti keluarga Mahawira.
"Selamat pagi." Mentari menyampaikan ucapan selamat pagi sesopan yang ia bisa.
"Selamat pagi, Mentari." Bibir Handoko hampir tak terlihat dan hanya kumis tebalnya saja yang bergerak-gerak saat ia menyambut Mentari. Ayah mertuanya itu kemudian mempersilakan Mentari duduk di samping kursi Rakhan.
Mentari tertegun sesaat ketika tidak ada sambutan apa pun dari sang suami. Ia masih berdiri beberapa meter dari meja makan dan tampak gugup. Dengan alasan kesopanan dan yang terpenting adalah tidak mau mencari keributan dengan sang ayah, Rakhan bangkit lalu menarik kursi di samping kursinya. Manik cokelatnya menangkap pesimisme di mata Mentari.
"Silakan duduk." Nada bicara Rakhan terdengar seperti memerintah.
Mentari duduk dengan gugup. "Terima kasih."
"Hm." Hanya dehaman pelan yang terdengar sebagai bentuk respons dari Rakhan.
Mentari melirik Rakhan yang dibalas tatapan sinis oleh pria itu. Menyebalkan.
"Selamat pagi, Mentari," ucap Mawar yang duduk tepat di seberang Mentari, di samping ayahnya, sesaat setelah Mentari duduk.
"Selamat pagi, Mawar." Mentari tersenyum tulus pada Mawar meskipun hatinya sedang jengkel dengan perlakuan tak mengenakkan Rakhan.
"Hari ini aku akan pulang ke Surabaya. Suami dan anakku tidak bisa kutinggalkan lebih lama. Ayah juga akan ikut bersamaku. Sudah satu bulan Ayah belum bertemu cucunya di sana," papar Mawar sambil merapikan kerah blus hijau daun yang dikenakannya. Wanita itu kemudian meneguk cappucino dari cangkir keramik sebelum menyuapkan sepotong roti lapis ke mulutnya.
"Aku akan memberi keleluasaan pada kalian di sini agar bisa cepat menghadirkan cucu untukku," tambah Handoko.
Ucapan Handoko membuat tenggorokan Rakhan tiba-tiba gatal oleh kesal. Pria itu berdeham melepas umpatan untuk ayahnya yang tidak bisa ia ucapkan. Ia lalu mengendurkan dasi hitam bergaris putih yang melingkari leher kemeja biru yang dikenakannya. Ia perlu lebih banyak oksigen untuk bisa bernapas di ruangan yang penuh tekanan itu. Seandainya norma tidak lagi berlaku, ia ingin sekali meneriakkan protes sekencang yang ia bisa ke telinga pria tua yang sudah memaksanya menikah dengan wanita seperti Mentari.
Sama halnya dengan Rakhan, Mentari pun merasa terombang-ambing oleh keadaan. Ia mencemooh dirinya sendiri lantaran terlalu takut untuk mati dan justru menerima pernikahan yang pelan tapi pasti sedang menyiksanya.
"Kami akan kembali minggu depan sebelum acara resepsi pernikahan kalian digelar," cetus Mawar beberapa saat kemudian.
"Apa?!" Rakhan hampir melempar cangkir kopi yang dipegangnya jika tak segera menyadari bahwa sang penguasa Mahawira sedang menatap tajam ke arahnya. "Ayolah, Ayah! Kenapa harus ada resepsi segala? Tidak cukupkah aku menikah dengan gadis—"
"Cukup bicaramu, Rakhan!" potong Handoko dengan nada geram. "Kau putra pertamaku. Apa kata dunia jika putra pertamaku menikah tanpa perayaan? Apa kata ibumu di surga sana saat melihat anak laki-laki kebanggaannya menikah tanpa diketahui orang banyak, dan hanya mengenakan setelan jas kerja? Seandainya ibumu masih ada, ia pasti akan memarahiku habis-habisan." Handoko menggelengkan kepala dan tampak putus asa.
Syukurlah Ibu tidak harus melihat pernikahan bodoh ini. Rakhan bersyukur dalam hati.
"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat. Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari. "Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya. "Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan ap
"Arya!" Mentari meneriakkan nama pria selalu mengisi hatinya. Matanya otomatis terbuka seiring dengan detak jantung yang terpacu semakin cepat. Tanpa ia sadari air mata menetes dari sudut mata dan membasahi bantal. Ia menatap lampu gantung kristal di langit-langit yang memancarkan cahaya kekuningan selama beberapa saat sebelum ia bangkit untuk duduk.Mentari menekuk lutut lalu menangkup wajah dengan kedua tangan sambil terisak-isak. Lintasan memori yang terselip dalam tidurnya membangkitkan derita terdalam yang menghancurkan diri. Ia tidak pernah menduga akan kehilangan Arya secepat itu. Arya adalah satu-satunya orang yang tidak bersalah dalam kekacauan hidupnya saat ini. Cara ayahnya menyingkirkan Arya, itu yang dikutuk Mentari. Sangat kejam."Kau sudah bangun?" Suara berat yang mulai akrab di telinga Mentari membuat saraf-saraf di tubuhnya menegang.Sial! Mentari mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat ia menoleh ke kanan dan pandangannya sejajar dengan pundak, ia mendapati
Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu."Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi,
Tanggapan Mentari memicu reaksi marah Rakhan. Rahang pria itu mengeras dan kilat tajam mata gelapnya menghujam dada Mentari dengan kemurkaan. "Kau mengendarai salah satu mobilku tanpa izin, pergi ke tempat yang menjadi markas musuh besar ayahmu, dan memancing kegaduhan dengan pingsan di dalam mobil. Apa yang akan dipublikasikan para pencari berita jika mereka mengetahui semua itu? Apa aku harus mengklarifikasi berita dengan mengakuimu sebagai istriku atau sebagai anak raja preman yang mencuri mobilku? Kurasa aku tidak akan pernah memilih opsi pertama. Kau tahu itu." "Menjadi istrimu adalah sebuah kutukan dan aku tidak perlu pengakuan." Mentari merespons dengan geram. "Jangan merepotkanku jika kau ingin mati di sana." Mentari menyibakkan selimut lalu beringsut ke tepi tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sedikit terbuka—mengenakan baju tidur tipis, pendek, dan bertali pundak kecil. Semua kalimat yang diucapkan Rakhan membuat telinganya panas dan meletupkan marah.
Ketidaksabaran Rakhan membuat ciumannya terasa sedikit kasar dan membuat Mentari mengerang kesakitan. Namun, Rakhan justru menekan tubuhnya ke tubuh Mentari, ke arah hasrat memuncak yang minta diredakan. Dan perlahan, dominasinya berhasil membuat Mentari menyerah. Tanpa melepaskan ciumannya di bibir Mentari, Rakhan melucuti pakaiannya dan membebaskan bukti gairahnya untuk menyentuh, memompa, dan memenuhi tubuh Mentari.Tidak ada yang lebih menakutkan Mentari saat ini, melainkan rengkuhan sang predator yang tengah memangsanya. Dorongan yang begitu kuat memaksa Mentari meneteskan air mata dan memekik menahan sakit. Seluruh perasaannya luluh lantak. Mentari merasakan dirinya pecah dan hancur menjadi jutaan kepingRasa sakit di sekujur tubuhnya diam-diam menyelusup ke dalam hati, menciptakan jelaga sekaligus kehampaan. Mentari menarik apa saja yang dapat ia gapai untuk menutupi tubuh telanjangnya. Gaun tidur yang masih tergeletak di tepi ranjang menjadi pilihan alternatif di saat i
"Sebaiknya kamu pulang ke rumah suamimu sekarang, Tari." Lucian terang-terangan mengusir Mentari. Ia kemudian kembali ke kursinya.Mentari mendesah kesal. Ia mengambil satu langkah lebih dekat ke meja Lucian. "Pa, katakan Arya ada di mana? Papa apa-in Arya?"Alih-alih menjawab, Lucian justru berteriak memanggil Anton. "Anton!"Tidak berapa lama Anton muncul di ruang kerja Lucian. Pria berpostur tinggi dan berbadan kekar yang menjadi kepercayaan Lucian sejak belasan tahun silam itu menunduk penuh hormat kepada sang pemimpin. "Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?""Bawa Mentari pulang ke rumah suaminya," perintah Lucian.Mentari membelalak. Darahnya mendidih seketika mendengar titah Lucian pada Anton. Lucian benar-benar tidak peduli kepadanya, pikir Mentari."Pa!" protes Mentari, "Papa nggak bisa mengusir Tari begitu saja. Katakan pada Tari, Arya di mana?"Sekali lagi Lucian tidak memedulikan pertanyaan putrinya. Ia kembali memberi perintah pada Anton hanya dengan anggukan. Anton memahami
"Nanti gue tanyain sama Edo. Lo tenang aja ya dan tunggu kabar dari gue." Sri mengerti betul apa yang dirasakan Mentari. Ia tulus ingin membantu Mentari."Gue kan nggak pegang HP. Nanti gue aja yang datang ke sini.""Oke deh. Ngomong-ngomong, elo mau apa ke rumah orangtuanya Arya?"Mentari menggeleng. "Gue enggak tahu. Mungkin gue mau minta maaf sama mereka karena gue anak mereka ...." Napas Mentari tiba-tiba tersekat di tenggorokan dan rasa panas kembali menyengat matanya dan menciptakan genangan baru di matanya."Hei, kok nangis lagi sih?" Sri membelai lembut punggung Mentari. "Elo nggak salah apa-apa, Tari. Arya mungkin sedang pergi melepas kekecewaannya karena elu nikah sama orang lain."Gue yang salah. Mentari tak sanggup membendung aliran air mata. Ia sudah berbohong kepada semua orang. Perasaan bersalah terus menghukumnya tanpa ampun."Kalau elo mau ke rumah orangtua Arya, nanti gue temenin elo," lanjut Sri berusaha menenangkan."Gue berutang banyak sama elo, Sri.""Elo ngomong
Kepalan tangan Rakhan di atas stir mengerat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. Sebisanya ia menahan diri untuk tidak menampar mulut lancang Mentari. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan Mentari untuk membebaskan diri dari belenggu pernikahan. "Ayahmu menghubungiku siang tadi. Untuk apa kau masih mencari Arya dan ke mana saja kau sesiangan ini?""Bukan urusanmu ke mana aku pergi.""Sekarang ke mana pun kau pergi akan menjadi urusanku. Undangan resepsi pernikahan sudah disebarkan Ayah dan Mawar. Acara itu akan digelar hari Minggu besok. Sebentar lagi seluruh dunia akan tahu kau adalah istriku. Kau pikir itu bukan beban berat untukku? Menikah dengan anak Lucian Sagara adalah yang terburuk."Ucapan Rakhan meremas hati Mentari. Meskipun ia tidak pernah setuju menikah dengan pria itu, tetapi hinaan Rakhan terhadapnya dan juga ayahnya terasa sangat menyakitkan."Aku akan mengajukan tuntutan cerai secepatnya, sebelum resepsi digelar." Mentari menegaskan. Hanya itu satu-satunya cara