Keesokan harinya, Jelita, Daisy, Rahmi dan Maria terlambat sampai di kantor yayasan. Saat itu waktu telah menunjukkan menjelang makan siang, ketika mereka mulai tiba.
“Siang sekali kalian sampai di sini. Kami sudah menyelesaikan tiga laporan hasil analisa program sosial untuk penyuluhan penyakit malaria,” tukas Suluh menyambut keempat gadis yang masih sibuk mengatur nafasnya lantaran tergopoh-gopoh menuju kantor yayasan.
“Duh, iya nih, kami kesiangan karena semalam berdiskusi bersama. Oh iya, ada kesulitan apa Suluh?” Jelita langsung menawarkan bantuannya.
“Tidak, hanya kawatir saja. Kasus malaria di Desa Balarambe yang sempat turun kemarin, menjadi naik lagi, nih, kasusnya. Sepertinya kita harus segera mengeksekusi rencana yang sudah dibuat Helena sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Jelita?” tanya Suluh. Jelita berpikir keras. Pikirannya kala itu mulai bercabang. Disapunya pandangan ke seluruh sudut kantor yayasan yang tidak ter
Setelah berkemas dan membereskan serta keperluan yang dibutuhkan, para tim sukarelawan dengan lincahnya bersiap keluar. Namun langkah mereka terhenti di halaman depan kantor yayasan. Rupanya banyaknya sepeda motor yang mereka sewa itu membuat mereka kewalahan sendiri.“Suluh, ini bagaimana dengan pembagian sepeda motornya?” Jelita bertanya mewakili pertanyaan yang ada di benak teman-temannya.“Sudahlah pilih saja kalian mau yang mana. Yang jelas aku bersama Maria. Hahaha.” jawab Suluh.Tidak lama setelah itu, mereka telah berpasang-pasangan duduk di atas sepeda motor pilihan mereka masing-masing dan siap untuk melaju beriringan bak konvoi. Suluh memberikan instruksi pada mereka untuk mengikuti rute yang akan ditempuhnya, karena hanya ialah yang mengetahui persis lokasi kafe itu berada. Mereka akan menyusuri Desa Balarambe beriring-iringan dengan sepeda motor itu.“Teman-teman. Ikuti aku, ya! Kafe yang akan kita tuju ada di pe
Hari Sabtu sore Jelita sudah bersiap diri untuk menunggu jemputan Baruno. Ia mematut dirinya di depan cermin panjang yang berdiri manis di tembok kamar belakang rumah Pak Miko. Diperhatikannya setiap detil dan lekukan di wajah dan tubuhnya sembari memperbaiki posisi kalung emasnya yang ia beli dari hasil jerih payahnya memberi kursus bagi siswa sekolah.Rani mengetuk pintu kamar Jelita. Tanpa menunggu Jelita mempersilakannya, cepat-cepat Rani menyelinap masuk ke kamar Jelita.“Rapi sekali, Kak Lita? Mau kemana?” Rani takjub melihat penampilan Jelita sore itu yang terlihat jauh lebih anggun dari biasanya. Jelita tercekat, tidak berani mengatakan sebenarnya. Entah apa reaksi Rani apabila ia mengetahui apa yang tim sukarelawan lakukan di belakangnya.“Oh, hhhmmm… ngga kok, Rani. Ini… mau pergi dengan Baruno saja hehe,” tukas Jelita berbohong. Rani menangkap raut yang berbeda dari Jelita.“Hahaha. Kok mendadak
Nadine melanjutkan tangisnya dengan beberapa dari para rombongan itu mulai merasa kikuk dan tidak tahu harus berbuat apa.“Maka dari itu, aku ingin mengumpulkan teman-teman semua di sini. Dukungan terhadap Bu Miko yang tengah menderita penyakit berat, bukan hanya tentang uang. Aku ingin kita menghentikan perselingkuhan Pak Miko dan Lisa, kakakku,” ucap Nadine melanjutkan pembicaraannya dengan lesu.“Hhhmmm… kalau boleh tahu, mengapa kamu tadi tidak ikut kami?” Suluh mulai bertanya“Aku menunggu kakakku selesai praktek di sini dan rencananya tadi aku ingin mencegahnya untuk menuju Kafe Senja bersama Pak Miko. Aku menunggu di depan sini, namun ternyata aku kecolongan. Kak Lisa keluar lewat pintu belakang,” jelas Nadine.“Lalu sejak kapan kamu tahu mengenai perselingkuhan mereka?” tanya Daisy.“Kak Lisa gagal menikah sesaat sebelum aku memulai program sukarelawan di yayasan Pak Miko. Calon s
Baruno mencoba menggesekkan punggungnya yang terasa basah itu. Pelan-pelan ditengoknya ke belakang, nampak Jelita yang telah duduk membonceng sedang menyembunyikan tangisannya.“Hei… kok kamu menangis? Kita kan mau jalan-jalan sore bersama. Kamu kenapa, Jelita?” Baruno terlihat sedikit panik. Jelita secara cepat menggeleng, ia enggan curahan perasaannya itu diketahui oleh teman-teman lainnya.“Eh Jelita kenapa, sih?” Suluh mulai terlihat panik. Hal ini semakin menarik perhatian teman-teman lainnya. Kini semua mata tertuju pada Jelita yang sudah tidak dapat lagi menutupi isaknya itu.“Duh, teman-teman. Aku tidak apa-apa, kok! Mungkin hanya terbawa perasaan dan suasana saja. Rasanya belum siap meninggalkan kalian semua dan kebersamaan kita di Balarambe ini. Besok aku dan teman-teman angkatanku sudah harus pulang ke kota masing-masing. Yuk, kita bersenang-senang di hari terakhir ini!” Jelita berseru sembari menghibur dirin
Jelita masih mencoba untuk tertidur pulas walaupun ia tahu bahwa usahanya akan sia-sia. Seluruh kejadian di Desa Balarambe itu terjadi sudah dua tahun yang lalu lamanya, namun rekam ingatan Jelita akan kenangan di Desa Balarambe begitu tajam melekat hingga ia dapat menghafal segala kejadian secara rinci.Satu hal yang pasti adalah, ternyata Baruno mampu membuktikan janji dan perkataannya bahwa ia akan tetap menjaga hubungan asmaranya dengan Jelita. Bahwa ternyata hubungan cinta yang terjalin saat mereka mengikuti program sukarelawan dua tahun silam itu bukanlah sebatas cinta lokasi biasa. Bahkan lebih dari itu, berkali-kali Baruno menyelamatkan hubungan mereka yang hampir kandas karena tidak kunjung mendapatkan restu orang tua Baruno.Sepulangnya mereka dari Desa Balarambe, hubungan itu justru bertambah hangat dan mesra. Apalagi ternyata Jelita dan Baruno berkuliah di kampus yang sama dengan gedung fakultas mereka yang berseberangan. Baruno
Klakson mobil Arina hampir saja membangunkan tidur Jelita. Namun alih-alih mencari tahu sumber suara klakson itu, Jelita yang hanya tergugah beberapa detikpun kembali lelap dalam tidurnya.“Duh, mana sih nih si Jelita, dari tadi ngga diangkat nih teleponku!” ucap Arina pada dirinya sendiri. Ia meraih ponselnya dan mencoba menelepon Jelita sekali lagi.“Hhhmm… Ha… Halo?” sapa Jelita mengangkat telepon.“Ya ampun, kamu dari tadi masih tidur, ya? Mentang-mentang weekend dan jomblo ya kamu bangun siang? Hahaha. Ta, temenin ke mall sebentar please, mau cari kaos basket, nih, yuk!” seru Arina.“Hahaha. Duh, mau jam berapa? Sore aja, yuk? Ini masih ngantuk banget, nih, Na…” bujuk Jelita.“Eh, ngga bisa! Ini aku sudah parkir di depan rumah kamu, tahu ngga?”“Lah pantes tadi ada suara klakson kaya familiar gitu hahaha”“Sudah, cepat sana kamu man
Baruno dan Jelita saling berpandangan dari kejauhan. Sorot mata Jelita menunjukkan keibaan, seolah mengundang Baruno untuk kembali ke pelukannya, sedangkan Baruno hanya melihat dengan tatapan tanpa arti. Bunga yang berdiri di sebelah Baruno mengernyitkan dahinya, menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi di antara Jelita dan Baruno.“Dia siapa, sayang?” tanya Bunga cukup keras hingga dapat terdengar oleh Jelita dan Arina. Baruno menoleh ke arah Bunga yang berada di sisi kirinya, lalu menggeleng dan melangkah pergi sembari merangkul Bunga. Jelita dan Arina saling bertukar pandang, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Permisi, Kak. Ini untuk pesanannya, ya,” suara seorang pelayan yang mengantarkan makanan pesanan merekapun menggugah pikiran keduanya.“Mas, maaf boleh semuanya dibungkus saja?” tanya Jelita cepat. Arina yang baru saja meraih garpu langsung dibuat bingung olehnya.“Lho, kamu tidak jadi makan di s
Hari Minggu pagi, Jelita sudah siap dengan gaya casual nan manisnya itu. Sesaat lagi Arina akan datang menjemputnya untuk bersama-sama menuju GOR Nasional, tentunya dalam agenda menemani Arina bermain basket sembari mencuri waktu dan kesempatan untuk bertemu kembali dengan Baruno. Jelita sedang menjajal beberapa pasang anting yang sekiranya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya ketika suara klakson mobil Arina menginterupsi kegiatannya itu. Buru-buru Jelita menyibak gorden jendela ruang tamu. Di sana terlihat Arina yang menanti dirinya dari dalam mobil di luar pagar rumah Jelita. Arina melambaikan tangan, memberikan kode agar Jelita segera masuk ke dalam mobilnya. Jelita mengangguk. Ia lalu berpamitan kepada kedua orang tua dan adiknya yang sedang makan siang di meja makan.“Hai, Rin!” sapa Jelita yang lalu membuka pagar dan bergegas masuk ke dalam mobil Arina. Tanpa basa-basi, Arina langsung tancap gas dan menuju GOR Nasional. Di dalam mobil, Jeli