Tanpa banyak berpikir lagi, Prisya langsung memutarkan kendaraannya dan fokus mengejar sosok itu. Akan tetapi, jarak mereka yang lumayan jauh dan juga sedikit ada kemacetan di tempat memutar, membuat Prisya kesulitan untuk mengejar kendaraan Anggala yang sudah melaju dengan kencang.“Ah, sial!” umpat Prisya saat dia tidak bisa lagi melihat kemana arahnya mobil yang dikendarai oleh Anggala.Napas Prisya sedikit memburu karena kesal. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya, lalu berikutnya dia mengambil handphone ingin menghubungi Elvan, tetapi saat nama tersebut sudah muncul di screen ponselnya, tiba-tiba otaknya memerintahkan untuk menghentikan jarinya menekan tombol dial. “Menghubungi Pak Elvan, apa ini tidak berlebihan? Gak enak juga tapi ngerepotin terus. Dia juga sepertinya sedang sibuk dengan pekerjaannya juga.” Prisya berkata pada dirinya sendiri.Jari-jari Prisya mengetuk-ngetuk setir mobil yang dikendarainya, dengan tangan kirinya masih memegang ponselnya. Dia diam sejenak, set
Mendapatkan pesan seperti itu, Diva langsung menggelengkan kepalanya lalu tersenyum. “Ada-ada saja,” gumam Diva perlahan.“Div! Ngapain senyum-senyum begitu?” Reni menyenggol lengan Diva, membuatnya tersadar dari pikirannya sendiri terhadap pria itu.“Ah, gak apa-apa,” jawab Diva lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam saku blazernya.“Ih, dapet pesen dari Vanvan, ya?” bisik Reni dengan nada menggoda.Diva hanya tersenyum, memasang wajah penuh misteri. “Mau tau aja deh, makanya cari pacar.” setelah mengatakan hal itu Diva terkekeh ringan membuat Reni merotasi malas bola matanya.“Mentang-mentang punya pacar! Nanti kenalin ke kita dong pacarnya, kita jadi penasaran siapa sih Vanvan ini.” Suara Reni yang cukup kuat ini membuat seisi ruangan melihat ke arahnya dan hal itu juga yang membuat Diva secara reflek mencubitnya.“Aw!” teriak Reni sambil cengar-cengir melihat ke arah Diva.“Eh, gosip apa lagi sih?” tanya yang lain.“Sudah, kalian jangan membuat kekacauan. Reni, kamu kalau bicara
Elvan lalu berjalan melewati Farel menuju kursi yang biasa dia tempati, mereka semua saling berpandangan mencoba mengerti suasana hati dari bos mereka, suasana horror menyelimuti tempat ini sekarang, terasa begitu dingin dan menakutkan. “Lanjutkan,” ucap Elvan setelah duduk di kursinya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dengan wajah datarnya, merekat tidak mengerti dengan ucapan Elvan barusan. Demi membuat suasana tidak terlihat menyeramkan seperti sekarang, dengan cepat Deska memulai rapat untuk urusan pekerjaan mereka. “Baik, Pak Elvan. Jadi, di sini sudah kami buat seperti yang Bapak–” “Nanti dulu yang ini, kita lanjutkan ucapan Farel barusan.” potong Elvan saat mendengarkan ucapan Deska yang akan memulai rapat mereka. “Ma-maksudnya, Pak?” Deska terpaksa bertanya dengan memberanikan diri. “Lanjutkan dulu cerita tentang gosip tadi. Apa aku memang sepantas itu bersama dengan Marissa?” tanya Elvan diakhiri dengan melihat ke arah Diva. Diva yang dilihat Elvan seketika
Reni yang mendapat tugas untuk merekam Elvan tadi sangat penasaran dan langsung mematikan rekamannya demi melihat huruf yang dimaksud. “Wow?!” Reni membolakan matanya saat tahu huruf apa yang dimaksud adalah “Y” apa artinya …. “Pak Elvan sudah bertunangan dan tunangan Pak Elvan bukan Bu Marissa?!” Reni berkata dengan mata membesar melihat ke arah Elvan. Elvan tidak menjawab dia hanya diam memasang wajah tanoa ekspresinya itu. “Rekamanmu barusan, perlihatkan padaku.” Elvan meminta ponsel Reni. Wanita itu berjalan cepat memberikan handphonenya pada Elvan. Menyadari sesuatu yang mungkin saja terekam sampai akhir saat dirinya menggoda Diva, Elvan melihatnya dan memastikan sekali lagi apa yang di rekam oleh Reni. Setelah dipastikan tidak ada yang salah dari rekaman itu, Elvan lalu memberikan kembali benda itu pada karyawannya. “Bagus, nanti kamu bisa bantu saya untuk meredam gosip saya dan Marissa,” ujar Elvan. “Lalu … kamu,” tunjuknya pada Diva, “apa aku perlu membuat pernyataan jug
Diva segera menetralisir kegugupannya dengan terkekeh ringan. “Masa sih?” Reni mengangguk. “Suaranya kok gak asing, ya. Kayak pernah denger dimana gitu.” “Udah ah! Yuk naik, liftnya udah kebuka nih.” Diva berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. “Tau nih, Reni! Sok-sokan kenal dimana,” sahut Winda menggandeng tangan keduanya dan masuk ke lift. “Eh, Div, pacar kamu orang kaya juga, ya?” Reni kembali bertanya pada Diva. Diva hanya diam dan tersenyum. “Ih, Reni rese banget pake nanya-nanya gitu, lagian kalo Diva cerita entar dikira pamer. haha!” Winda terkekeh santai. “Iya, soalnya dia siapin sopir segala lagi buat jemput si Diva. Pasti dia bukan orang sembarangan, ya.” Reni kembali berusaha mengulik informasi tentang Diva. Diva berusaha tenang dan tidak terpancing dengan pertanyaan menjebak dari rekannya ini. Dia tersenyum penuh misteri dan berkata, “Ada deh! Nanti aku bakalan kasih tahu kalo waktunya udah pas.” Winda makin terkekeh mendengar pernyataan yang keluar dari mulut D
Setelah mendengar ucapan dari Marissa, Anggala memutus sambungannya, otaknya penuh dengan banyak permasalahan yang bergejolak hebat. Dia sudah berhasil mengetahui keberadaan Ratri, sudah sangat pagi-pagi sekali dia datang ke tempat dimana Ratri dirawat, tetapi sayangnya, dia masih kalah cepat dengan pergerakan Prisya. Dia menyelidiki di mana tempat Ratri dilakukan transfer pasien, dengan bersusah payah akhirnya dia bisa mendapatkan informasi itu. “Tak kusangka kalian bergerak sangat cepat, tapi tenang saja … aku akan mengimbangi kalian saat ini,” geram Anggala sambil mencengkram kuat setir mobil yang sedang dikendarainya saat itu. Anggala, melihat Ratri dari kejauhan, wanita itu benar-benar sangat menyedihkan, tatapan kosong, mata yang sendu dan wajah yang pucat, entah kenapa sangat kontras sekali dengan Ratri yang dulu dia kenal sangat cantik, anggun dan tentunya seksi dengan tubuhnya yang sangat proporsional itu. Membayangkan Ratri yang dia lihat siang tadi membuat hatinya berden
Di dalam Mobil yang membawa Diva kembali ke rumahnya, wanita itu memandang benda pipih yang sejak tadi dipegangnya. Belum ada satupun pesan masuk dari Elvan lagi. Entah Kenapa membuatnya sedikit khawatir.Diva lalu mengetikkan sesuatu dan mengirim pesan pada Elvan.[Van, kamu ada dimana?]Pesan terkirim, tapi sudah sepuluh menit berlalu, tidak ada balasan apapun. Diva juga menyadari bahwa mobil yang membawanya pulang ke rumah sudah makin dekat.“Pak Bimo, nanti tolong turunkan saya di depan komplek saja, ya,” ucap Diva.“Maaf, Bu, tadi saya dapat pesan dari Pak Elvan untuk memastikan Ibu benar-benar sampai di rumah, jadi saya tidak bisa menurunkan Ibu di depan komplek.” Pria itu berkata dengan nada sopan, pernyataannya membuat Diva terkejut.“Hah?! Apa tidak bisa kalau masalah ini kita saja yang tahu, Pak?” Diva berkata dengan tidak percaya atas apa yang Elvan perintahkan pada orangnya ini.“Maaf, Bu, mohon kerjasamanya Bu Diva, Pak Elvan akan marah pada saya kalau sampai pesan beliau
Setelah mengatakan hal itu, terdapat suara yang sangat berisik di ujung telepon.“Halo, Van … Van, apa kamu mendengarkanku?” Diva kembali menyapa lawan bicaranya, tapi suaranya hanya gemercak tak karuan, khas gangguan jaringan!“Van … apa kamu masih di sana?” tanya Diva lagi. Suara itu makin keras terdengar membuat Diva harus menjauhkan telinganya dari telepon itu. Namun, hal ini membuat Diva sedikit lega, setidaknya pria itu kemungkinan tidak mendengarkan apa yang baru saja dia katakan. Kalau sampai dia mendengarkannya sekarang ini pasti dia sangat malu mengakui hal barusan.“Diva, Div, kamu mendengarkanku?” Akhirnya suara Elvan terdengar kembali, suara yang ada tadi sudah menghilang dan kini terdengar sangat jernih.“Iya, kita masih dalam sambungan telepon.” Diva menjawab cepat.“Maaf, tadi sepertinya ada gangguan sedikit. Tadi, kamu bilang apa?” Elvan bertanya pada Diva, seketika wanita itu nampak gugup.“Ti-tidak, aku tidak bilang apapun. Ya, ya aku tidak mengatakannya.” Kalimat Di