Setelah kepulangan Elvan, Diva hanya berdiam di dalam kamarnya, sekarang dia juga tidak tahu apa dia harus senang atau sedih dengan kejadian yang baru saja dilewatinya. Sang ayah juga belum memanggilnya kembali. Sikap ayahnya yang masih ambigu ini terus membuat tanya untuk Diva. ‘Sebenarnya ayah setuju gak sih?' tanya Diva pada dirinya sendiri sambil menatap pantulan wajahnya di depan cermin, baru kali ini dia melihat ayahnya terkesan kurang tegas memperlihatkan sikapnya untuk menerima atau menolak. Walaupun sebenarnya Diva sangat berharap ayahnya bisa menerimanya Elvan sesegera mungkin. 'Ibu juga sepertinya tidak terlihat welcome dengan Elvan, apa yang salah sebenarnya?' gumam Diva lagi. Saat sedang mempertanyakan hal barusan, Indah masuk ke kamar Diva dan duduk di tepi ranjang, belum bicara sepatah kata pun, dia hanya melihat Diva dengan tatapan yang sulit diartikan dengan jelas. Tingkah ini jelas mengundang tanda tanya besar dalam kepala Diva. 'Apa jangan-jangan Ibu ingin bicar
Ucapan Indah barusan membuat Diva makin memperdalam kerutan yang ada di keningnya, dia tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya ini. “Bu, kenapa ibu bicara seperti itu?” Diva berkata dengan suara tercekat, dia kurang suka saat ibunya mengatakan hal yang buruk tentang Elvan, apalagi konotasinya terdengar sangat negatif di telinga Diva. “Diva, keluarga kita tidak perlu dikasihani, Ayah dan Ibu pasti akan melakukan yang terbaik untuk anak-anak kami, jadi jangan membuat dirimu terjebak dengan perasaanmu yang harus membalas budi pada orang lain.” Kalimat yang terlontar dari mulut Indah ini, jelas tidak bisa diterima oleh Diva. "Diva harus membalas budi bagaimana maksud Ibu? Bu, Elvan itu, tidak selicik yang Ibu kira, dia sangat baik memperlakukan Diva. Diva tahu mana yang tulus dan tidak–” “Kamu tahu mana yang tulus dan tidak?” potong Indah cepat membuat Diva harus menahan kembali kata-katanya. “Bukannya kemarin juga kamu pernah merengek hal yang sama dengan ayah s
Kalimat ibunya barusan seolah membuat gemuruh hebat yang berdentum bersahut-sahutan di langit saat hari sedang cerah-cerahnya. Diva sangat tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Diva berusaha untuk tenang. ‘Diva, tolong tenangkan dirimu, tenangkan pikiranmu, jangan tersulut emosi yang membuat Ibumu akhirnya makin tidak menyukai Elvan. Tetaplah patuh, tetaplah patuh, tetaplah patuh.’ Diva bergumam dalam hatinya seolah membaca mantra penenang. Dirinya sangat tidak habis pikir dengan jalan pikiran ibunya ini. Setelah dirasa cukup bisa menguasai gejolak emosi dalam dirinya, Diva menarik napas panjang beberapa kali, tangannya saling meremas di atas pahanya. ‘Diva cobalah mengerti, tenang dan percaya. Percaya pada Elvan dan hubungan ini.” Kembali Diva berkata dalam hatinya. “Diva, apa kamu mengerti ucapan ibumu ini?” Indah membuyarkan pikiran-pikiran Diva. Diva hanya mengangguk perlahan. “Tapi, Bu, kenapa harus mengorbankan Ratri?” Diva berkata lirih pada Indah. Mendengar
Benar seperti yang dikatakan oleh Elvan, jangan pernah membantah atau mematahkan dulu perkataan orang lain, duduk diam dan dengarkan, karena akan ada waktunya kita bicara menggunakan semua informasi yang diberikan secara tidak sadar. “Bu, ini juga yang ibu takutkan, bukan?” Diva berkata pada Indah dengan perlahan. “Keluarga mereka mengundang ayah dan ibu ke acara ulang tahun perusahaan mereka bukan untuk menjatuhkan, Bu, tapi untuk saling berkenalan. Ibu harus tahu, Elvan membawa Diva pada keluarganya dengan baik-baik, dikenalkan dengan hormat dan diperlakukan juga dengan hangat. Apa ibu pikir Elvan masih ada niat lain?” Diva mengamati perubahan pada wajah ibunya. “Diva harus jujur sekarang, kemarin Diva memang tidak lembur, tapi Diva menjaga Elvan di rumah sakit.” Terlihat Indah seolah ingin memotong ucapan Diva, tapi Diva meneruskan kalimatnya dan tidak memberikan kesempatan itu pada ibunya. “Ibu tahu kenapa? Dia diserang oleh orang lain sampai harus menjalani operasi, karena
Menyadari ekspresinya yang mulai bocor di depan kakeknya, Elvan segera membuat suasana hatinya menjadi lebih netral. Dia berusaha kembali memasang wajah dinginnya itu di hadapan Hartono dan berdehem beberapa kali sembari melonggarkan sedikit kerah bajunya. “Apa benar begitu, El?” Hartono kembali bertanya pada Elvan, dia beranggapan bahwa kecurigaanya ini benar. “Kakek, ini kantor sebaiknya kita bicara tentang urusan pekerjaan saja.” Elvan mengelak dengan memandang datar ke arah pria itu. Dia tidak ingin urusannya ini diusik eh sang Kakek. “Ah, sepertinya benar begitu, ya? Seorang cucu dan pewaris Lux Tech Group tidak diterima oleh keluarga wanita ternyata?” Sang Kakek berkata dengan suara penekanan dan tangan yang melipat di depan dada melihat ke arah cucunya dengan tatapan prihatin. “Kek, urusan pribadi–” “Elvan, dengarkan Kakek. Kakek menyukai kepribadian Diva, dia juga bukan wanita yang lemah dan mudah ditindas, tetapi menikah adalah persetujuan kedua keluarga. Kamu bukan hany
Mendengar pernyataan dukungan itu membuat Elvan bersemangat. “Baiklah kalau begitu, nanti aku akan hubungi lagi kalau ada perlu.” Elvan berkata pada Prisya.“Tenang aku akan membantumu membawa Ayah dan Ibu ke acara ulang tahun perusahaan. Kak Elvan mengundang ayah dan ibu karena disuruh oleh keluarga, kan?” Pertanyaan Prisya ini membuat Elvan mengangguk.“Benar, tapi tenang saja di sana aku akan memastikan kalau tidak akan terjadi hal apapun.” Secara tidak langsung Elvan membuat janji ada Prisya.Prisya nampak berpikir sesuatu, membuat Elvan mengernyitkan keningnya karena penasaran. "Ada apa?" tanyanya."Begini Kakak iparku, mari kita mengatur rencana." Prisya berkata dengan senyuman lebar."Rencana? Rencana seperti apa?" Jelas kalau saat ini Elvan penasaran.Prisya lalu menjelaskan rencananya dengan detail pada Elvan, pria itu sesekali merespon dengan anggukan ringan."Apa kamu yakin ini akan berhasil?" tanya Elvan dengan sedikit ragu."Aku tidak bisa menjamin seratus persen berhasi
Prisya melihat ke arah Diva yang masih menampakkan wajah kusutnya, dia tahu kakaknya saat ini pasti sangat sedih karena meraih restu tidak semulus yang ada dalam pikirannya dan dia juga sangat paham kalau sekarang ini Kakaknya pasti sangat penasaran dengan apa yang dia katakan tentang Elvan barusan. Tentu saja Diva tidak tahu tentang Elvan ini. Kalau saja Andi tidak mengatakan padanya secara tidak sengaja, dia juga tidak akan menghubungi Elvan kembali untuk memastikannya. Akhirnya, diantara semua kelebihannya itu Prisya menemukan satu kelemahan pria itu! “Kenapa kalian sangat yakin?” Lukman bersedekap lalu melihat kedua anaknya secara bergantian. Dia sedikit tidak menyangka kalau selama ini Prisya yang dia tahu tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain sekarang malah ikut terlalu banyak masalah hubungan Diva dan Elvan, seseorang yang berasal dari kelas atas di negeri ini. Prisya menghela napas berat lalu berkata, “Karena hati Prisya tidak ditutupi oleh rasa ego tinggi seperti
Siapa lagi yang bisa dihubungi Prisya di saat seperti ini. Tentu saja seseorang yang bisa membuat Diva tunduk dan menurut hanya dengan mendengar satu atau dua patah kata darinya, Elvan! Suara Prisya kini terdengar sangat putus asa. Terakhir kali Diva melakukan hal ini saat putus dengan Nico, waktunya belum lama dan dia yang menemani Diva sampai toko-toko yang ada di mall itu tutup. Tidak puas sampai di sana, Diva mengajaknya duduk di cafe yang buka 24 jam! Kalau saja ayah tidak menyusul mereka ke sana, pasti Diva masih betah berlama-lama dengan kegilaannya. "Maksudmu gila belanja?" Suara Elvan terdengar bingung. "Ah, Maaf maksudku bukan gila belanja, tapi dia ... dia tidak belanja hanya melihat-lihat saja dan mencobanya lalu keluar tanpa membeli. Itu sedikit memalukan." Prisya berkata dengan nada berat. "Ya kamu suruh beli saja, biar tidak malu." Elvan menjawab enteng. "Bukan begitu, tapi ...." Prisya kehabisan kata-katanya. "Baiklah saya mengerti. Kamu sedang bersama Diva dim