Saatnya belanja sepuas hati! go go Diva! Lupakan sejenak si Marissa.
Sampainya di depan supermarket itu, Diva segera berjalan ke arah tempat troli berada. Dengan cepat dia mengambil dua buah troli besar dan memberikannya satu kepada Prisya. Prisya yang sudah paham ini langsung menerima saja tanpa banyak protes, karena sudah jelas sekali kalau dia protes akan sia-sia saja, tidak akan digubris oleh Diva. “Kakak, kali ini kakak mau beli apa?” tanya Prisya saat mereka baru saja memasuki tempat itu. Diva melihat ke arah Prisya dan tersenyum. “Ehm … kita mulai saja dari sini!” Diva berkata santai tidak terlalu peduli dengan pertanyaan adiknya itu. Mendengar hal itu, Prisya mengangguk lemah. “Ayah suka jeruk, bagaimana kalau kita beli 5 kilo.” Diva berkata dengan santainya membuat mata Prisya terbuka lebar. “Kakak boleh marah sama ayah tapi kalau beli sebanyak itu ….” Prisya menggantung kalimatnya, tapi sepertinya Diva tidak mendengarkannya. “Lalu kita ambil ini, terus ini, lalu ini ….” Diva seolah tanpa beban memasukkan banyak barang di troli yang dia
Diva terdiam untuk beberapa saat, lalu segera mengambil kartu yang pernah diserahkan oleh Elvan padanya waktu itu. Kasir itu kembali mengulangi prosesnya dan transaksi disetujui dengan mulus tanpa drama.Setelah semua selesai Elvan langsung mengambil alih troli yang sudah berisi belanjaan Diva, lalu menyerahkannya pada Andi yang mengikutinya dari belakang.“Itu ….” Diva ingin berkata sesuatu tapi tertahan karena Elvan memberikan isyarat untuk tidak bertanya dulu.Setelah mereka berjalan jauh dari tempat itu, handphone Elvan berbunyi, Prisya menghubunginya.“Kakak ipar, apa kamu sedang bersama dengan Kakakku sekarang?” tanya Prisya saat panggilan tersebut terhubung.“Iya aku sudah bersama kakakmu.” Elvan lalu menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Diva.“Apa aku bisa bicara dengannya?” tanya Prisya lagi.Elvan lalu memberikan handphone yang dia pegang pada Diva.“Prisya,” ucapnya pada Diva, hal itu sontak membuat Diva mengingat sesuatu yang penting.Diva lalu menepuk keningnya dan
Diva merasa beruntung karena sekarang dia ada di luar bersama Elvan, entah bagaimana jadinya kalau tadi dia masih bersedih ria di kamar meratapi ayahnya yang tak kunjung memberikan restu. Kalimat Elvan ini bagaikan sebuah obat penenang yang dia dapatkan saat menghadapi masalah seperti ini. Dulu, dia selalu saja melakukan sesuatu sesuai dengan pikirannya saja tanpa banyak pertimbangan dan tanpa mendengar arahan yang menenangkan seperti ini. “Sayang, apa kamu mendengarkanku?” tanya Elvan dengan suara lembutnya itu, menyadarkan Diva dari banyak pikiran yang ada dalam otaknya itu. “Ah, iya aku dengar. Terima kasih, Van.” Diva berkata dengan menatap Elvan, membuat pandangan mereka bertemu dan menciptakan satu momen yang sangat hangat untuk keduanya. Elvan lalu mencium pucuk kepala Diva dengan lembut. Makin membuat Diva merasa nyaman dan sangat dilindungi. Pria ini benar-benar mampu menaklukan hati Diva tanpa bersisa sedikitpun. “Sayang, sekarang saatnya tunjukkan pada orang tuamu kalau
Sesaat Diva benar-benar terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut Elvan. Dia tidak menyangka dengan apa yang dikatakan Elvan, darimana pria ini punya ide gila semacam ini, bukankah secara tidak langsung dia menyuruhnya boros? Atau secara tidak langsung menyuruhnya menjadi wanita matre?“Ka-kamu yakin?” Diva berkata dengan suara tercekat. “Ya, beli saja apa yang ingin kamu beli, gunakan kartu yang kuberikan padamu, jangan pakai uangmu.” Elvan menegaskan kalimatnya itu. Sekali lagi, andai kata Diva adalah wanita matre, maka dia akan sangat senang hati mendengar kalimat Elvan ini, tapi ... ini bahkan seperti sebuah beban yang diberikan Elvan padanya.'Apa ini memang sudah saatnya?' batin Diva.Diva menarik napas saat Elvan mempertegas kalimatnya itu.“Van, tapi ….”“Tidak perlu ada kata tapi, latihan saja perlahan-lahan.” Elvan berkata seolah tidak ada beban di sana. Namun, berbeda dengan Diva.Diva terpikir kalau yang dikatakan Elvan tidak ada yang salah, lingkungannya setelah ini
Tidak lama berselang, terdengar kaca di sebelah Diva diketuk dari arah luar. Diva melihat yang mengetuknya adalah Prisya. Lagi-lagi dia melupakan kalau saat ini dia sedang bersama adiknya!Diva lalu menurunkan kacanya dan tersenyum tidak enak hati melihat adiknya ini. Tidak perlu ditanya siapa yang bisa membawa Elvan sampai kemari, sudah barang tentu jawabannya adalah Prisya. Adiknya memang sangat mengerti apa yang dia inginkan dan butuhkan saat ini.“Maaf,” ucap Diva dengan tersenyum lebar melihat wajah adiknya yang saat ini bertekuk masam.“Sudah lebih dari lima belas menit kalian di dalam, apa sudah selesai dan kami boleh masuk?” tanya Prisya dengan tatapan tajam pada Diva sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.“Bo-boleh, salah sendiri siapa yang menyuruhmu menunggu di luar.” Diva berkata tanpa rasa bersalahnya.“Menyebalkan,” gerutu Prisya lalu membuka pintu di sebelah pengemudi dan masuk ke dalamnya.Hal ini membuat Elvan tersenyum ringan melihat kelakuan dua
Sementara itu di rumah Diva.Terlihat Lukman menatap layar televisi dengan tatapan kosong, istrinya menghampiri pria itu dengan membawakan ubi rebus dan teh hangat.“Diminum dulu, Yah, tehnya.” Indah berkata dengan suara lembut pada suaminya, secara tidak langsung membuyarkan pikiran Lukman tentang Diva yang menurutnya sangat terobsesi dengan Elvan.“Mikirin Diva, ya?” tanya Indah pada pria itu. Lukman hanya tersenyum singkat.“Yah, sepertinya anak kita memang sangat menyukai pria itu.” Indah berkata sembari menghela napas berat, seolah ada beban yang menghimpit di dadanya itu.“Benar, Bu, tapi … ibu tahu sendiri, kita tidak bisa prediksi kapan hati orang lain akan berbalik.” Lukman mengeluarkan kekhawatirannya itu.Indah hanya diam, dia belum merespon kalimat suaminya ini.“Lagipula kali ini adalah pewarisnya L Tekno.” Lukman menunjuk logo di remote televisi mereka yang berlambang L Tekno.Indah mengangguk perlahan. “Betul, Yah, tapi kalau dilihat lagi, si Elvan ini cukup berbeda dar
“Dasar wanita murahan.” Makian itu membuat Diva yang sedang berada di tengah kerumunan pesta pernikahan terkejut. Dia menoleh ke sumber suara, lalu melihat sejumlah pasang mata menatapnya dengan pandangan merendahkan. “Hari ini adalah hari pernikahan Nico dan Nadya, bisa-bisanya dia dengan tidak tahu malu datang ke sini? Apa dia masih mau berusaha merebut kekasih sahabatnya sendiri?” sahut seorang tamu lainnya. “Namanya juga wanita kelas bawah, mana tahu malu, sih?” Walau mendengar jelas berbagai komentar mengenai dirinya, Diva hanya terdiam. Dia mengabaikan cacian tersebut dan mengalihkan pandangan ke arah pelaminan. Sepasang pengantin tampak tersenyum bahagia selagi menyalami satu persatu tamu yang menghampiri mereka. Di saat ini, Diva mendengus. Wanita murahan? Berusaha merebut kekasih sahabatnya? Omong kosong! Orang-orang yang tadi mencacinya sama sekali tidak tahu apa-apa. Kenyataannya, pasangan pengantin bernama Nadya dan Nico yang ada di pelaminan itu adalah sahabat ba
“Tangkap wanita jalang itu!” Perintah Farha membuat sejumlah petugas keamanan menoleh ke arah Diva, lalu mereka gegas berusaha menangkapnya. Diva tahu ini akan terjadi, jadi dia langsung berlari kencang keluar dari ballroom. Mata Diva langsung berkeliaran saat berlari, mencari-cari letak tempat yang telah dia rencanakan menjadi tempat persembunyiannya. Akan tetapi, jauh berlari, Diva menyadari satu hal. Diva keluar dari pintu ballroom yang salah! “Sial! Harus sembunyi di mana ini?!” gumam Diva pada dirinya sendiri sambil celingak-celinguk mencari tempat untuk bersembunyi. Saat dirinya melihat tanda petunjuk ke arah toilet, Diva langsung berbelok cepat. Dalam pikirannya, ruang paling aman dari kejaran para pria adalah toilet. Para tamu wanita di dalam pasti akan ribut kalau petugas keamanan itu asal menerobos ke dalam! Alhasil, Diva pun mendorong pintu toilet dan– “AAHH!” Diva setengah berteriak sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Apa yang kamu lakukan di sini!?” Dia