“Ternyata kelakuanmu benar-benar memalukan saja! Jangan katakan kali ini kamu dijebak lagi!” Darmawan berkata dengan nada emosi yang memuncak. Anggala masih diam. PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Anggala membuatnya terhuyung jatuh, darah segar menetes dari sudut bibirnya. Ini kali pertama Darmawan memperlakukannya dengan sangat kasar.“Sudah berapa sering kukatakan, kamu bisa melakukan apapun! Apapun Anggala! Tapi jangan sampai semua hal seperti ini mencuat ke luar! Berkali-kali alasan kamu dijebak karena menghamili wanita lain. Aku percaya padamu! Tapi ternyata … Kamu benar-benar membuatku kecewa!” Darmawan berkata dengan suara bergetar. Darmawan kembali teringat, kejadian tahun lalu, saat itu ada yang datang ke rumah mengaku kalau dirinya sedang hamil, tidak lama berselang keluarganya juga datang menuntut tanggung jawab dari anaknya. Kala itu Darmawan sangat marah sekali dengan Anggala, ditambah lagi hal ini adalah hal buruk yang mengancam posisinya jika sampai berita ini ke
“Wah ada Bu Marissa, tumben banget Bu Marissa ada di sini.” Farel berkata dengan nada antusias. “Eh iya benar.” Winda juga menambahkan. “Tuh, Div, itu dia tunangannya Pak Elvan, menurut kamu gimana?” Reni bertanya dengan Diva sambil tersenyum. Diva hanya diam, ingin rasanya dia menjawab tapi sepertinya tidak untuk sekarang. “Bu Marissa ini memang suka dateng ke sini ya?” Diva tidak menjawab, malah bertanya kembali. Reni mengangguk cepat. “Kita kan satu lantai sama bagian yang menangani anak-anak perusahaan, jadi sesekali dia memang suka ikutan briefing pagi juga. Biasanya kalau dia ke sini gak lama pasti Pak Elvan pergi berdua sama dia, untuk urusan deal-deal-an gitu.” “Oh ….” Diva merespon dengan datar. “Tapi kamu kok biasa aja sih? Menurutmu gimana penampilannya? Oke banget, kan? Gak kalah menarik sama bos kita. Menurutku wajar mereka bisa bersama.” Ucapan Reni barusan membuat mood Diva sedikit terganggu. Namun, sekali lagi, ini juga sudah menjadi keputusan dirinya, dia tidak
Diva masuk ke ruangannya, di sana dia sudah ditunggu dengan rekan-rekan satu timnya dengan wajah mereka yang terlihat cemas. “Kalian … kenapa ngeliatin begitu?” tanya Diva. “Diva, kamu tadi kenapa? Kamu gak diapa-apain sama Bu Marissa, kan?” tanya Reni dengan nada khawatir, disusul dengan yang lain juga yang ikut mengangguk. “Gak kenapa-napa kok,” jawab Diva datar. “Yakin kamu gak apa-apa?” Kali ini Winda turut menimpali. Diva hanya mengangguk santai. “Terus tadi kamu ngapain sama Bu Marissa? Apa dia melakukan–” “Udah kalian tenang aja, aku gak salah apapun kenapa harus takut, lagian jangan berlebihan. Dia hanya bertanya katanya dia seperti pernah mengenalku. Hanya itu saja.” Diva berbohong. “Yakin, tapi kenapa kamu ngomong seperti mikir-mikir dulu?” Deska kali ini bertanya pada Diva dengan bersedekap dada dan memandangnya dengan curiga. Diva diam sesaat, lalu berusaha untuk tenang dan menyesuaikan riak wajahnya. “Beneran kok Mbak, tadi dia bilang aku mirip dengan kenalannya
“Pak Sudarso sudah datang!” Elvan melihat ke arah mata Miko memandang. Pria tua itu berjalan menghampiri mereka. Elvan dan Miko dengan cepat berdiri dari tempatnya dan menyambut kedatangan pria itu. “Bagaimana perjalanannya, Pak?” tanya Elvan berbasa-basi. Pria itu tersenyum dan menjawab, “Sangat nyaman sekali.” “Silakan duduk, Pak!” Miko berkata pada orang yang memang mereka tunggu kedatangannya sejak tadi. Sudarso mengangguk dan mengambil tempat kosong diantara mereka. “Pak Elvan, apa kekasihmu itu menyukainya?” tanya Sudarso pada Elvan. “Dia … menyukainya, Pak. Terima kasih juga atas bantuan Bapak waktu itu.” Elvan berkata dengan nada tenang dan tersenyum sekilas. Kalau mengingat kejadiannya, menurut Elvan itu adalah sebuah keajaiban yang sangat nyata. Diva sepertinya memang memberi keberuntungan. Setelah bertemu Diva entah kenapa takdir seperti berpihak padanya. “El, kita mau cari dimana lagi barang itu? Jelas tidak mungkin kita menemukan orang yang sudah membeli perhiasan
Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati, seperti itulah kira-kira pepatah mengatakannya! Elvan benar-benar sangat beruntung kali ini, karena tragedi gelang itu, akhirnya tidak hanya gelang yang dia dapatkan tapi juga kontrak untuk hak paten diperoleh juga. “Pak Elvan, apa sedang memikirkan sesuatu?” Suara Sudarso menarik lamuan Elvan yang mengingat hal itu. “Ah, maaf Pak Sudarso, Saya benar-benar sangat berterima kasih sekali pada Bapak, karena bantuan Bapak, tunangan saya sangat senang saat saya membawa itu untuknya.” Memang seperti itulah adanya. Walaupun ada hal yang dia berbohong sebagian, itu hanya untuk lebih mendramatisir saja. Miko melihat Elvan dengan tersenyum singkat. “Kontraknya sudah saya buat sesuai dengan kesepakatan kita hari itu, Saya tidak menyangka kalau Bapak secara langsung mau datang kemari.” Elvan menambahkan. “Saya tidak enak kalau Pak Elvan dan Pak Miko terus-terusan datang ke tempat saya. Lagipula, mendapatkan fasilitas dari Pak Elvan seperti ini me
Setelah kepergian Darmawan, Anggala yang marah nampak mengobrak-abrik isi penthouse ini, tempat yang awalnya memang sudah berantakan makin terlihat hancur. Dia sangat tidak terima dengan perbuatan Elvan padanya, Elvan sudah membuatnya seperti seorang pecundang, bahkan dirinya tidak menyangka kalau ayahnya juga tidak bisa memberikan dukungannya. Dia benar-benar tidak habis pikir Elvan bisa membaca pergerakannya. Elvan sudah merusak semua citra diri yang dia bangun sejak lama, menutup semua informasi tentang keluarganya, hingga membuat Ayahnya tidak akan merasa terancam dengan posisinya karena perbuatannya ini. “Elvan, awas saja kamu! Aku akan melakukan hal yang tidak bisa kamu bayangkan! Ini akan menyakitkan untuk mereka semua! Kamu sudah berani mengacak semua rencanaku! Baiklah, lebih baik kita hancur bersama!” Teriaknya histeris dengan membanting semua barang yang terlihat oleh matanya. Napasnya terdengar memburu, menandakan pria itu masih ingin menumpahkan semua rasa amarahnya ya
“Diva ini bill pesanan makanan kita tadi.” Winda menyerahkan tagihan itu pada Diva sesaat makan siang mereka sudah sampai di kantor. “Ini pake uangnya Mbak Deska?” tanya Diva lagi. Winda mengangguk. “Okay, nanti aku akan memberikannya ke Mbak Dania setelah jam makan siang. Sekarang aku masih mengerjakan bagian ini, nanggung banget soalnya.” Diva mencari-cari alasan. Entah kenapa melakukan hubungan diam-diam seperti ini di kantor membuat Diva menjadi lebih berdebar-debar, rasanya sangat berbeda dengan sebelumnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Elvan tak henti membuat Diva merasa berbunga-bunga setiap saat mengingat prianya itu. “Awas nanti keselip, letak ditempat yang bener, lumayan soalnya harganya. Hahaha!” Winda terkekeh. “Beres, tenang saja,” jawab Diva singkat lalu meletakkan kertas tagihan itu ke dalam laci meja kerjanya dan dia kembali sibuk di depan komputernya. Tak terasa, perut Diva mulai keroncongan, Diva melirik jam tangannya, sudah nyaris selesai jam makan s
Diva yang mulai geram mendengar ucapan Rey dan Winda ini akhirnya bicara dengan setenang mungkin, “Sebenarnya, kalian selalu mengatakan Pak Elvan dan Bu Marissa bertunangan, apa kalian sudah mendapatkan konfirmasi yang jelas dari kedua belah pihak?” Kedua rekannya ini diam sejenak lalu Winda pun menjawab, “Memang tidak ada fakta yang kuat selain dugaan kita saja, tetapi rasanya tidak mungkin kalau berita itu tidak benar.” Diva menaikkan sebelah alisnya, “Atas dasar apa kalian mengatakan hal itu?” “Itu karena ….” TING! Suara lift terdengar, menandakan mereka sudah sampai di lantai ruang kerja Elvan. “Apa sebaiknya kita langsung tanya saja nanti?” Rey terkekeh, seolah itu hanya candaan saja. “Kamu mau tanya?” Diva menyipitkan matanya melihat ke arah Rey. “Ya kalau nyali gak tiba-tiba menciut melihat tatapan tajam Pak Elvan! Haha!” jawab Rey masih sambil terkekeh. Mereka keluar dari lift dan berjalan ke arah ruangan Elvan. Saat mereka tiba di sana, ternyata Elvan sedang bicara pa