Enjoy reading 😘
Hanna pagi itu mengunjungi apartemen Sakti, semalam Tari baru memberitahukan padanya tentang kepergian Sakti dari rumah mereka. Hanna menggelengkan kepalanya saat memasuki apartemen yang porak-poranda itu. Setelah membuka pintu apartemen, Sakti berpindah tidur di sofa ruang tengah sambil mendengarkan ocehan Hanna yang membereskan barang-barangnya. "Setau Mama, ada yang suka bersih-bersih di apartemen kamu, Sak. Enggak kamu panggil? kalo begini yang mana baju kotor, yang mana baju bersih Mama nggak tau. Sakti, denger kan Mama bilang apa!" "Hhmm ...." "Kamu harusnya membenahi diri bukan malah kembali lagi kehidupan kamu sebelumnya. Mama bukannya nggak suka dengan kepergian Gendis tiba-tiba, tapi kalo gini kan yang susah kamu juga, kayak nggak ada semangat hidup." Sakti masih diam, matanya masih terpejam namun pendengarannya tetap tajam. "Kita boleh kecewa, tapi kamu juga harus buktikan kalo kamu bisa bangkit, kamu harus tetap semangat mencari dia kalo memang kamu masih cinta. Jika
Tangan Maya cepat melepas satu per kancing kemeja Sakti. Tubuhnya masih bergerak di atas pangkuan Sakti, sementara Sakti mulai terlena dengan gerakan Maya yang membuat miliknya semakin keras dan menegang. "Sakti," desah Maya menciumi leher Sakti dengan liar dan bergairah. Dengan satu kali gerakan, Sakti berhasil mengangkat tubuh Maya dan meletakkannya di atas meja kerjanya. Lupa segala hal, lupa dengan yang baru saja dia lakukan, me-resign-kan dirinya dari perusahaan, bahkan Sakti lupa dengan kata-kata yang dia ucapkan sebelumnya. Layaknya lelaki yang sudah di mabuk kepayang, Sakti berdiri di hadapan Maya, membuka lebar kedua kaki Maya bahkan rok sepan yang wanita itu gunakan sudah terangkat diatas lututnya. "Do it, Sakti ... I'm yours," ucap Maya manja sambil menarik lepas ikat pinggang Sakti. Sakti membalas ciuman liar Maya, bahkan tangannya tak lepas meremas dada Maya. Satu tangan lagi Maya arahkan pada organ intimnya, tubuh wanita itu menggelinjang tak tentu arah. Tangannya as
"Tari," sapa Sakti menghampiri Tari yang duduk di sudut kafe siang itu. "Mas," ujar Tari lalu berdiri dari tempat duduknya. "Duduk, Mas." Tari mempersilahkan kakak angkatnya itu duduk di sampingnya. "Makasih." Sakti menarik kursi di sebelah Tari, matanya mengedar mencari seseorang. "Andi?" "Dalam perjalanan, tadi dia harus pulang dulu." "Oh." "Mas ... Tari dengar dari ibu, Mas Sakti keluar dari perusahaan Pak Satyo? Kenapa?" "Aku sudah malas berhubungan dengan orang seperti mereka termasuk papa, Tar. Penat kepala aku, di pikiran papa hanya kekuasaan, kekayaan dan keegoisan saja." "Artinya, Mas Sakti menolak di jodohkan?" "Iya, apalagi itu ... mengada-ada. Memaksakan kehendak sendiri, belum lagi wanita yang di jodohkan ke aku ada aja ulahnya." "Ulah?" tanya Tari mengerutkan alisnya. "Biasalah, enggak harus aku jelasin kan." "Syukurlah kalo Mas Sakti menolak perjodohan itu. Tapi kasihan ibu, setiap hari ibu dan Pak Satyo selalu bersitegang. Di rumah sudah jarang sekali ibu dan
"Kenal Mas Arya dimana?" tanya Ami manager HRD tempat Gendis bekerja. Sore itu Ami menawarkan diri mengantarkan Gendis pulang ke kost nya. "Kami pernah satu tempat tinggal ... maksud aku tetangga sewaktu di Jakarta dulu," ujar Gendis. "Oh saat dia melanjutkan S2 ya?" "Iya, Mbak. Mbak Ami sendiri kenala dimana?" "Dikenalin teman, ketemu sewaktu gala dinner di perusahaan tempat Mas Arya kerja." "Oh." Gendis mengangguk-angguk. "Dis." "Ya, Mbak." Gendis menoleh ke arah Ami yang sedang mengemudikan mobilnya. "Mas Arya sudah punya pacar? Aku nggak berani nanya-nanya padahal kita udah dua bulan kenal." Ami tersenyum malu-malu. "Pacar?" Gendis merasa tak enak hati, seketika dia teringat saat dulu Arya menyatakan perasaannya dan sampai detik ini Arya masih menunggunya. "Iya, Mas Arya sudah punya pacar belum? Kamu kan dekat tuh sama dia, kali aja dia pernah cerita-cerita tentang seseorang spesial di hati dia." "Oh ... Em, setahu aku enggak ada Mbak," "Mau bantu aku?" tanya Ami kemb
"Man, cari tau tentang suami Ibu Soraya tadi, barangkali suatu saat kita membutuhkan dia," ujar Sakti. "Baik, Pak. Ini kita langsung ke bandara dua jam lagi adik Pak Sakti akan take off." Sakti mengangguk tanda setuju. Perjalanan menuju bandara di selingi kemacetan kota Jakarta siang itu memang cukup membosankan untungnya Sakti tepat waktu bertemu dengan Tari sebelum mereka masuk ke dalam. "Jadi, seperti yang aku bilang kemarin-kemarin, sekeci apapun informasi yang kalian temukan laporkan aja sama aku. Dan jika nanti di sana kalian menemukan Gendis jangan langsung kalian temui tapi lebih dulu kabari aku, aku usahakan untuk langsung terbang ke Jogja, paham kan maksud aku." Sakti menatap Andi dan Tari secara bergantian. "Iya, Mas ... kita pastikan Mas Sakti lebih dulu yang mendapatkan kabar dari kita." "Akomodasi dan fasilitas kalian selama di sana sudha semua kan di urus oleh Norman?" "Sudah, Mas. Terimakasih," kata Andi. "Jaga adik gue, jangan lo macem-macem in," tegas Sakti p
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah celah tirai berwarna abu-abu yang menutupi jendela kaca kamar kecil milik Gendis. Hari ini hari Minggu, sebenarnya Gendis mempunyai jadwal bahwa setiap dua minggu sekali Gendis akan menyempatkan pulang ke rumah orang tuanya di Gunung Kidul, dan seharusnya minggu ini Gendis akan pulang namun Gendis urungkan niatnya. Gadis itu merasa capek, selama lebih dari dua minggu bekerja dia merasa pekerjaannya selalu membutuhkan tenaga dan pikiran yang ekstra. Gendis meraih gawainya, mengirimkan pesan pada Bayu agar datang ke kost nya siang nanti. Sudah lama rasanya tidak bertemu adik satu-satunya itu. Setelah mendapatkan balasan Ok dari Bayu, Gendis bergerak membereskan kamarnya serta bersiap pergi mengajak Bayu sekedar menikmati waktu libur bersama. "Kamu pesan apa, Bay?" tanya Gendis memberikan daftar menu restoran cepat saji pada Bayu. "Chicken Cordon Blue itu yang kayak gimana, Mbak?" tanya Bayu penasaran. "Haha, mana Mbak tau. Pesen aja,
"Siapa sangka kita bertemu di sini," ujar Sakti tersenyum sinis namun dia tetap mengulurkan tangannya pada Arya. "Iya, siapa sangka," jawab Arya. "Apa kabar?" "Seperti yang kamu lihat, enggak ada yang berubah ...." Arya mengangguk angguk. "Betul tidak ada yang berubah, masih sama ... penuh kharisma." Arya tersenyum kecil. "Seperti itulah ... mungkin kita bisa makan siang bersama?" tanya Sakti. Sepertinya Arya harus bersiap dengan berbagai kemungkinan, alih-alih pertanyaan menjebak Sakti bisa mengacaukan semuanya. "Dengan senang hati, tapi sepertinya kamu harus menunggu beberapa waktu karena ada yang harus saya selesaikan terlebih dahulu." "Silahkan ... aku bisa tunggu kamu di sini, teman lama," ujar Sakti mengangkat satu alisnya. Selama 40 menit Sakti harus menunggu Arya, jika saja ini bukan karena Gendis mungkin sudah dia tinggalkan lelaki yang menjadi rival nya selama ini. "Maaf menunggu," ujar Arya. "Jadi makan siang dimana kita?" Arya mengikuti langkah Sakti keluar dari lo
"Pagi, Pak." Suara bariton lelaki bertubuh tegap memasuki ruangan Satyo Anggara pagi itu. "Pagi, silahkan." Satyo mempersembahkan lelaki itu duduk tepat berada di hadapannya. "Apa yang kamu dapat?" tanya Satyo menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi empuk itu. "Beberapa poto yabg berhasil kami ambil," ujar lelaki tadi memberikan poto Gendis keluar dari tempatnya bekerja dan beberapa lagi aktivitas gadis itu di sekitar kostnya. "Dia bekerja di salah satu hotel ternama, di Jogja sebagai junior akuntansi, baru dua bulan belakangan ini. Sementara orang tuanya tinggal di desa, saya masih menyelidiki dimana mereka tinggal, belum ada informasi tambahan tentang kedua orangtuanya. Dan, ini—" Lelaki itu kembali memberikan tiga lembar poto pada Satyo. "Tari? ngapain dia?" Satyo mengerutkan keningnya, karena setahu Satyo anak angkatnya itu berada di panti asuhan selama libur semester. "Anak angkat Bapak berada di satu hotel yang sama dengan gadis bernama Gendis itu. Hanya saja dari yang