"Siapa yang berselingkuh? Aku nggak selingkuh, Mas. Justru kamu yang selingkuh.""Nggak selingkuh katamu? Lalu tadi itu apa, hah!? Berduaan, pegang-pegangan tangan! Apa namanya kalo bukan selingkuh?!" Dandy mendekati Mila lalu mencengkeram pipinya. "Dasar cewek kampung murahan!" hinanya lagi.Mila menarik tangan Dandy, mencoba melepaskan cengkreman. "Jaga omonganmu, Mas! Bukankah Mas Dandy yang selama ini selingkuh?" pekik Mila setelah cengkeraman di pipinya terlepas. "Dan pasti uang yang Mas minta selama ini untuk selingkuhan, Mas!" tuduhnya.Tawa Dandy menggema. "Untuk Shellin katamu?!""Oooh, namanya Shellin," batin Mila."Denger, ya, Mila, uang itu tidak ada apa-apanya bagi Shellin. Dia itu janda kaya raya. Kekayaannya takkan habis dimakan tujuh turunan. Malah aku yang punya hutang sama dia. Tapi, sekarang hutangku dah lunas karena mau berkencan dengannya dan bisa memuaskan dia." Dandy berujar bangga seolah itu adalah hal yang membanggakan."Lantas, uangku selama ini untuk apa?""
Mila yang pingsan di kamar mandi mulai tersadar. Wanita itu mengerang sambil memegang kepala yang masih terasa pusing.Tanpa sengaja dia melihat tas selempang yang teronggok tak jauh dari posisinya sekarang. Lalu, Mila beringsut meraih tas tersebut. Tas yang tadinya berisi make up, dompet, dan ponsel itu kini telah kosong. Dia melihat alat-alat perias wajah yang tadinya ada di dalam tas telah berserakan di lantai. Begitu juga dengan dompet yang sudah tidak berisi lagi. Uang, kartu identitas, dan ATMnya telah raib. Namun, Mila tidak menemukan ponselnya."Mas Dandy, sungguh kejam! Bedebah! Biadab!" umpat Mila lirih.Tiba-tiba dia teringat dengan perhiasan yang disimpan dalam lemari. Dia menduga jika benda itu pasti juga dicari dan diambil oleh suaminya. Seperti halnya ponsel, uang, dan barang berharga lainnya. Wanita itu kembali terisak.Mila menangis meratapi segala apa yang terjadi. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa ini akan menimpanya. Apa yang dia pilih dan dia pertahankan terny
Di tengah kemelut hatinya, Mila teringat sesuatu. "Nadiaa! Iya, aku harus ke rumah Nadia dan minta tolong padanya." Senyum simpul terukir di wajahnya. Ada secercah harapan yang terbit di hati Mila guna memperbaiki hal yang telah telanjur itu. Mila mengusap air mata dengan punggung tangan. Semangat wanita itu kembali bangkit. Dia berdiri lalu berjalan gontai ke luar kamar."Ya Allah ... apalagi ini?" keluhnya ketika mendapati pintu depan terkunci. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya. Mila beranjak mencari kunci. Sekian menit, dia mondar mandir mengelilingi rumah untuk mencari benda tersebut, tetapi tidak juga ditemukannya. Mila berhenti dan isirahat sejenak di sofa ruang tamu sambil mengingat-ingat di mana kunci itu. Semakin mencoba mengingat, pening di kepala kembali dia rasakan. Namun, diabaikannya rasa itu dan terus mencoba mengingat. "Astagfirullah ... kuncinya pasti dibawa Mas Dandy. Sedangkan kunci serep pasti masih di bawah keset." Mila memijit pelipis karena rasa s
Aldi menatap sendu wajah pucat orang yang dicintainya, yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Dia terjaga semalaman di rumah sakit demi menjaga Mila, takut jika tiba-tiba wanita itu siuman.Digenggamnya dengan erat tangan yang ditusuk jarum infus itu, tidak melepasnya sedetik pun. Wajah lelaki itu tampak frustasi mendapati keadaan orang yang dikasihinya babak belur. Perban yang melingkar di kepala wanita malang itu menambah rasa pilu di hati Aldi.Jam besuk dokter di pagi hari telah tiba, tetapi Mila belum juga sadar."Bagaimana keadaannya, Dok?" Aldi menanyakan keadaan Mila pada dokter yang sedang memeriksa wanita itu."Bapak tenang saja. Saudari Anda baik-baik saja. Tidak ada luka serius yang dialaminya. Hanya gegar otak ringan akibat suatu benturan pada kepala.""Syukur alhamdulillah," gumam Aldi gembira seraya mengusap wajah. Sang Dokter membenahi stetoskop. Sebelum beranjak, pria berjas putih itu berpesan, "Sebaiknya, pasien jangan diajak bicara banyak terlebih dahulu setelah
Matanya terpejam, tetapi pikiran Mila melayang-layang entah ke mana. Melanglang buana menyusuri adegan demi adegan kelam yang telah dilaluinya. Malam kian larut, tetapi sejak tadi dia tidak bisa tidur juga, karena hatinya begitu gelisah dan bingung. Ingin sekali rasanya Mila melupakan semua yang telah terjadi dan memulai lagi dari awal. Pergulatan pun terjadi dalam benak wanita itu."Apa sebaiknya aku memaafkan segala kesalahan dan perbuatan buruk Mas Dandy selama ini, dan menganggap semua itu tidak pernah terjadi? Haruskah aku melupakan segala bentuk hubungan dengan Mas Dandy dan menganggap tidak pernah mengenalnya? Lalu ... memulai lembaran baru di kampung halamannya dengan status baru?"Ataukah aku harus memenjarakannya terlebih dahulu agar Mas Dandy jera dan tidak mengulang perbuatan buruknya selama ini? Barulah aku mengurus perceraian? Atau ...."Mila menggeleng keras. "Ah, tidak! Tidak akan! Aku tidak mau lagi berhubungan dengan Mas Dandy! Cukuplah sampai di sini penderitaanku,
"Dengar, ya, wanita kampung! Aku nggak akan tinggal diam! Suatu saat aku bakal buat perhitungan denganmu!" ancam Dandy ketika berpapasan dengan Mila, di luar ruang sidang, sebelum dibawa oleh petugas ke ruang tahanan.Mila bergeming sambil menatap pilu lelaki yang masih dicintainya itu. Meski selama ini banyak luka yang diberikan Dandy, tetapi jauh di lubuk hatinya masih tersimpan rasa yang pernah ditancapkan oleh si Cupid, walau tak sebesar dulu."Andai saja engkau tidak seperti itu, Mas," batin Mila sambil menunduk. "Hey, Bung, jaga bicara Anda! Perkataan itu adalah sebuah ancaman dan bisa menambah masa tahanan Anda!" hardik salah seorang petugas yang memegangi Dandy.Mendengar suara tegas dari sang petugas, Mila seketika mendongak dan dengan segera menepis keinginan yang sempat terbesit. Keinginan untuk bisa kembali memperbaiki keadaan.Sedangkan Dandy seketika terdiam. Matanya masih menatap tajam dan dingin kepada Mila. "Tunggu aja Mila, aku pasti bikin perhitungan denganmu!" tek
Sepanjang perjalanan, Nadia terus saja mengamati Aldi. Semua tingkah laku pria itu tak pernah luput dari pandangannya. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran lelaki bercambang tipis itu.Mila yang dari tadi terpekur, menatap jalanan dari kaca jendela, segera berdehem ketika tanpa sengaja menangkap bayangan sahabatnya di kaca. Tadinya, dia abai saja ketika Nadia bertingkah, terkadang tegap terkadang bersandar. Namun, disaat dirinya melihat Nadia tampak serius menatap Aldi dengan dahi berkerut dan sesekali menyipitkan mata, membuat hatinya tergelitik untuk menggoda.Sayangnya, deheman Mila tidak berefek pada gadis itu. Nadia masih tetap saja menatap lekat lelaki yang sedang mengemudi itu. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu.Mila mengepalkan tangan kanan lalu mengangkatnya ke depan mulut. "Ehem ehem ... ntar jadi demen looo, kalau liatnya seperti itu. Sampai nggak berkedip," ucapnya sambil tersenyum. Mila sengaja mengeraskan suara, spontan membuat Nadia tersadar."Ap
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah