Mahesa menghubungi seorang teman untuk membantunya mencari tahu informasi mengenai foto yang baru saja ia dapatkan.
Sungguh dia sama sekali tidak bisa mengingat apa saja yang terjadi di masa kecilnya, dia juga tidak bisa mengingat siapa dan di mana orang tuanya berada. Penjaga panti pernah mengatakan seseorang membawanya ke panti di saat dia dalam keadaan kritis di usia lima tahun.Mahesa semakin penasaran ingin mengingat semuanya. Dia ingin tahu keberadaan orang tuanya, apakah masih hidup atau sudah tiada?"Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi terbaru?" tanya Mahesa pada seseorang di sebrang teleponnya.'Ya, aku sudah mendapatkan sebuah alamat yang berkaitan dengan tempat yang ada dalam foto yang kamu kirimkan padaku. Aku sudah mengirim alamatnya ke ponselmu.'Mahesa langsung memutus sambungan telepon lalu memeriksa kolom chat untuk melihat alamat yang temannya kirimkan. Dia menghela napas panjang, kemudianSuasana di kediaman Mahesa terasa hangat dengan kehadiran Anggita di dalamnya. Keluarga kecil itu terlihat bahagia saat sedang menikmati makan siang bersama memakan masakan yang dibuatkan oleh Anggita.Selepas makan Siang, Anggita menemani Sabiya untuk tidur siang. Gadis kecil itu sangat menempel sekali kepada Anggita seperti kepada ibu kandungnya sendiri. Mahesa pelan-pelan membuka pintu kamar dan mendapati Anggita sedang berbaring bersama Sabiya.Lelaki beralis tebal itu tersenyum dan merasa terharu melihat pemandangan tersebut kemudian menutup pintu kembali dengan hati-hati agar tidak membangunkan mereka.Dia berjalan menuju ruang tengah dan mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Pikirannya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Mahesa menyenderkan punggungnya pada penyangga sofa dan menghela napas panjang. Dia memejamkan mata dan memijit kepalanya yang terasa berdenyut sakit."Kamu terlihat sangat lelah sekali hari ini," ucap Anggita.Mahesa membuka
Anggita terbangun dari tidurnya saat merasakan kerongkongannya kering. Dia melihat gelas di atas nakasnya kosong. Terpaksa wanita itu turun dari ranjang dan bergegas ke dapur untuk mengambil air minum."Mahesa?" gumam Anggita kaget saat melihat lelaki itu masih berkutat di dapur sedang membuat adonan roti.Lelaki beralis tebal itu mendongak melihat Anggita yang baru saja masuk ke dapur."Kenapa kamu belum tidur?" tanya Anggita heran.Mahesa menghentikan aktivitasnya. "Aku tidak bisa tidur. Kamu sendiri kenapa tidak tidur?" tanya Mahesa.Wanita itu membuka lemari pendingin kemudian mengambil air dan menuangkannya ke dalam gelas. "Aku tadi sudah tidur, tapi tenggorokanku terasa kering," sahut Anggita setelah itu dia meneguk air di gelasnya hingga tandas kemudian menyimpan gelas kosong itu di atas meja.Mahesa hanya mengangguk sambil menguleni adonan roti."Perlu kutemani?""Kamu gak
Mahesa menghentikan ciumannya saat merasakan sesuatu berdesir dalam tubuhnya. Dia menginginkan hal yang lebih dari sekedar mencium bibir wanita di hadapannya.Mahesa menggiring Anggita ke awah westafel untuk mencuci tangan dan wajah mereka yang terkena tepung dan mentega. Setelah itu dia kembali menyerang Anggita. Mencium dan melumatnya penuh gairah.Lelaki beralis tebal itu menggigit bibir bawah Anggita agar wanita itu membuka mulutnya membiarkan lidahnya masuk dan mengambsen apa saja yang ada di sana.Anggita mendesah pasrah mendapat sentuhan bergairah dari Mahesa. Hatinya ingin menolak tetapi tubuhnya terangsang dan ingin melakukan lebih.Mahesa berhenti mencium bibir Anggita. Sekarang dia turun ke arah leher jenjang wanita itu. Mencium dan memberikan tanda merah penuh gairah apa lagi saat mendengar suara desahan yang keluar dari bibir Anggita.Entah sejak kapan dan siapa yang memulainya. Saat ini Anggita dan Mahesa
"Kenapa dia ada di rumahmu?" Aluna mempertanyakan keberadaan Anggita di rumah Mahesa.Ya, meskipun dia sudah tahu sebelumnya tetapi dia ingin mendengar langsung dari Mahesa."Beberapa hari yang lalu ada orang jahat ingin mencelakai Anggita, itu sebabnya aku meminta dia untuk tinggal di rumahku sementara waktu," jelas Mahesa tanpa menoleh ke arah Aluna karena dia sedang fokus dengan kemudi mobilnya.Aluna mengepalkan kedua tangan di atas pahanya. Antara gugup dan kesal. Gugup karena takut perbuatannya akan terbongkar dan kesal karena Mahesa begitu peduli kepada Anggita."Tapi kenapa harus tinggal di rumahmu?" gerutu Aluna memperlihatkan ketidaksukaannya atas keputusan Mahesa membawa Aluna tinggal di rumahnya."Itu karena permintaan Sabiya. Dia sangat menyukai Anggita," sahut Mahesa.Dia melihat wajah Aluna sekilas lewat kaca spion depan."karena Sabiya atau karena kamu menyukainya?" Aluna menyi
Di kediaman Radeya. Arumi terlihat cemas setelah berbicara dengan seseorang melalui sambungan teleponnya. Wanita paruh baya itu berjalan tergesa hendak segera pergi dari rumah.Namun, langkahnya terhenti sejenak tatkala ia berpapasan dengan Nino yang baru saja pulang dari kantor. "Mama mau pergi ke mana?" tanya Nino yang baru saja masuk ke dalam rumah sepulang dari kantor.Arumi cukup kaget melihat keberadaan putranya. Namun, ia berusaha bersikap tenang agar tidak membuat Nino mencurigainya."Mama akan menemui seorang teman. Ada hal penting yang harus kami bicarakan," sahut Arumi.Mata pria muda itu menyipit menatap wajah mamanya. "Malam-malam seperti ini?” tanyanya ragu.Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Nino merasa aneh melihat sang mama akan pergi saat ini. Ia merasa ada sesuatu hal yang sedang disembunyikan Arumi, tetapi ia tidak tahu hal apa yang se
"Esa, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu–"Mahesa tersenyum kemudian menarik tubuh Anggita ke dalam dekapannya dan tidak membiarkan wanita itu melanjutkan perkataannya."Tidak apa-apa. Aku sangat mengerti perasaanmu," ujar Mahesa."Kamu tidak marah atau cemburu?" tanya Anggita di balik dekapan Mahesa."Hei, kenapa aku harus merasa cemburu dengan dia yang jelas sudah tidak ada lagi di dunia ini? Sekarang, kamu ini hanya milikku dan akan selamanya menjadi milikku, karena sebentar lagi kita akan menikah," ucap Mahesa tenang dan penuh percaya diri.Anggita tersenyum tipis dan membalas pelukan Mahesa dengan sangat erat serta membenamkan kepalanya di dada bidang pria yang sebentar lagi akan menjadi suami barunya itu.Meski saat ini hatinya cukup terganggu dengan kehadiran Devan dalam mimpinya yang terasa begitu nyata. Namun, Anggita berusaha menepikan perasaannya sendiri. Ia harus melupakan masa lalu dan
Di kantor Radeya, pria paruh baya itu sedang melakukan meeting penting dengan para kolega bisnis untuk mengembangkan perusahaan mereka, termasuk Mahesa, Aluna, Nino dan Arumi berada di dalamnya.Mahesa kembali ke ruangannya setelah acara meeting selesai. Ada banyak pekerjaan yang sedang menanti pria tampan itu.Saat ia baru saja akan duduk di kursinya, iris cokelat itu tak sengaja melihat sebuah amplop misterius tergeletak di atas meja kerjanya.Kedua alis tebal itu saling bertautan menatap penuh rasa penasaran akan isi dari amplop tersebut. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang, tetapi tak ada siapa pun tinggal di ruangannya. Ia mengambil dan membolak balikkan surat itu kemudian satu tangannya menekan tombol telepon untuk menghubungi sekretarisnya."Sisil, apa kau tahu dari siapa surat ini?" tanya Mahesa kepada sang sekretaris.Wanita bernama Sisil itu menggelengkan kepalanya. Ia hanya mengantar surat te
"Dari mana kamu mendapatkan foto-foto ini? Apa aku sedang tidak salah melihat? Pria di dalam foto ini mirip sekali dengan putraku," ujar Radeya dengan suara yang bergetar menahan gejolak perasaan yang sulit diartikan saat melihat wajah yang begitu mirip dengan putra kebanggaannya yang sudah tiada."Benar, Pak. Pria di foto itu sepertinya benar-benar Tuan Muda Devan, putra Anda, Pak. Awalnya saya juga bingung mengapa Bu Arumi pergi ke rumah sakit, tapi setelah saya tanyakan kepada suster yang bertugas di sana, dia mengatakan bahwa pasien yang ditemui Bu Arumi bernama Devan. Selama dua tahun ini Tuan Devan koma dan baru kemarin dia sadar," jelas asisten pribadi Radeya.Ya, dia mengancam seorang suster yang bekerja di rumah sakit itu agar memberikan informasi yang jelas dan benar kepadanya hingga terungkaplah bahwa sebenarnya putra atasannya itu ternyata masih hidup.Satu tangan Radeya mengepal meremas foto-foto pemberian asisten pribadinya, semen