Sebulan berlalu dengan lancar dan baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu, semua direksi di perusahaan Radeya mulai memercayai kinerja Anggita. Wanita itu mengerjakan tugasnya dengan baik. Dia juga berhasil menangani proyek barunya.
"Sisil, tolong kamu periksa ulang laporan di dokumen ini. Saya rasa ada kekeliruan di sana."
Anggita memerintahkan asisten pribadinya untuk memeriksa kembali dokumen yang hendak ia tandatangani.
Wanita yang usianya tak jauh dari Anggita itu sedikit mengernyitkan dahinya. Tapi beberapa detik kemudian, dia mengangguk patuh.
"Baik, Nona. Maaf saya masih keliru walau sudah memeriksanya kembali sebelum menyerahkan dokumen ini kepada Nona," ujarnya.
Sisil meraih dokumen berwarna biru itu dari tangan Anggita. Dia membukanya dan membaca ulang. Maneliti di bagian mana kesalahan yang ia lakukan.
Anggita beranjak berdiri. Dia berjalan memutari meja, mendekati Sisil. Kemudian Anggita mulai menjelaskan bagian-bagian yang menurutnya tidak benar dari dokumen tersebut.
Namun, saat Anggita sedang menjelaskan semuanya, Tiba-tiba saja seseorang membuka pintunya begitu saja. Anggita cukup terkejut melihat orang asing berada di ruangannya.
"Apa benar ini ruangan Nona Anggita, CEO di perusahaan ini?" tanyanya.
Anggita yang masih terkejut semakin tak mengerti dengan situasi yang sedang ia lihat saat ini. Beberapa orang lainnya menerobos masuk membawa sebuah wajah besar di masing-masing tangannya.
"Ya, saya Anggita, tapi kalian ini siapa?" tanyanya tanpa mengurangi rasa sopan kepada tamu yang tak diundang itu.
Laki-laki yang pertama masuk tadi mengeluarkan ID Card-nya, memperlihatkan benda itu kepada Anggita.
"Saya dari tim penyidik, ingin menyelidiki kasus penggelapan dana perusahaan yang seseorang laporkan kepada kami," jelasnya.
Kedua bola mata Anggita membulat sempurna. Kemudian dia mengerjapkan matanya sekali. Dia masih berusaha mencerna maksud di balik perkataan laki-laki yang mengaku dari tim penyidik.
"Apa maksud Anda?" tanya Anggita dengan nada lirih masih dengan ekspresi terkejutnya.
Lalu tanpa meminta izin darinya, mereka membereskan dokumen-dokumen yang ada di ruangan Anggita, memasukkan ke dalam tempat yang sudah mereka sediakan. Dan laki-laki yang memperlihatkan ID Card-nya kepada Anggita, langsung menangkap wanita itu.
"Anda kami tangkap atas dugaan penggelapan dana perusahaan."
Mata Anggita semakin membulat. Dia benar-benar semakin terkejut. Dia tidak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan mereka padanya.
"Penggelapan dana? Tapi saya tidak melakukannya," ujar Anggita berusaha membela dirinya sendiri.
Sayangnya, mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Anggita. Tim penyidik menyeret wanita itu untuk ikut bersamanya ke kantor polisi, menjalani penyidikan.
Di luar gedung, para wartawan sudah berkerumun menunggu berita penting yang akan mereka dapatkan. Mereka langsung menyerbu tim penyidik yang membawa Anggita bersamanya.
"Nona Anggita, apakah benar Anda menggelapkan dana perusahaan?"
"Untuk apa Anda melakukan semua ini?"
"Apa Anda ingin memperkaya diri setelah suami Anda meninggal?"
"Apakah Anda sudah merencanakan semua ini sejak suami Anda masih menjabat sebagai CEO?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang jelas dipendengaran Anggita. Dia masih sangat syok atas semua yang terjadi padanya secara tiba-tiba.
"Saya tidak melakukannya."
Anggita menjawab lirih pertanyaan dari para wartawan. Entah dari mana mereka bisa mengetahui informasi tentang kejadian ini. Beritanya terlalu cepat menyebar luas. Semua orang begitu meyakini Anggita telah melakukan kesalahan itu.
***
"Kau sudah melakukannya?" tanya seseorang di sebuah ruangan di dalam gedung pencakar langit kepada asisten pribadinya.
"Sudah Tuan. Saya sudah melakukan semua yang Anda perintahkan."
Radeya menyeringai. Puas dengan kinerja asisten pribadinya itu. Laki-laki paruh baya itu menyenderkan punggung lebarnya pada penyangga kursi.
"Bagaimana dengan bukti-buktinya?" tanya Radeya lagi.
"Sudah saya kerjakan, Tuan. Saya sudah menyalin semua dokumen yang ditangani Nona Anggita sehingga semua bukti menyudutkan padanya. Dia tidak akan bisa mengelak dengan bukti-bukti yang ada."
Laki-laki paruh baya itu mengangguk puas. Dia berhasil menjebak Anggita ke dalam perangkapnya.
Kedua sudut bibir tua itu tertarik ke atas membentuk sebuah senyum. Lega, karena pada akhirnya, saham yang dimiliki sang putra akan kembali menjadi miliknya.
"Baiklah. Saya akan membayarmu atas pekerjaan ini. Ingat! Jangan sampai semua ini bocor kepada siapapun. Ini akan menjadi rahasia di antara kita berdua. Kau mengerti!" tegas Radeya kepada asisten pribadinya itu.
Laki-laki paruh baya itu beranjak dari kursi keagungannya. Mengambil jas yang ia sampirkan pada penyangga kursi dan memakainya. Dia hendak pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan kepada tim penyidik atas kasus yang sedang mantan menantunya hadapi.
Baru saja dia ke luar dari gedung pencakar langsit perusahaannya. Bertepatan dengan datangnya Arumi yang ingin menanyakan kabar kebenaran tentang kasus Anggita.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Radeya kepada Arumi.
"Pa, aku melihat berita di TV, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Anggita ditangkap polisi?"
Radeya menghela napasnya. "Dia telah melakukan penggelapan dana perusahaan," ujarnya dengan mimik muka yang sulit ditebak.
Arumi mengernyitkan kedua alisnya menampakkan garis kerutan pada dahinya. Wanita paruh baya itu sulit memercayai berita tersebut.
Meski ia tidak begitu dekat, tetapi sedikit banyaknya dia tahu siapa Anggita. Arumi tidak percaya jika wanita itu melakukan seperti yang telah dituduhkan.
"Bagaimana mungkin dia melakukan semua itu?" tanya Arumi dengan nada lirih. Terkejut dengan berita yang baru saja ia dengar.
"Aku tidak tahu. Sekarang aku akan ke kantor polisi memenuhi penyidikan."
Tanpa menunggu sahutan dari sang istri, Radeya langsung masuk ke dalam mobilnya dan melesat pergi.
Arumi menghela napas panjang. Dia merogoh ponsel di dalam tas dan langsung menghubungi asisten pribadinya untuk mencari tahu kejadian yang sebenarnya atas kasus yang dituduhkan kepada Anggita.
Di kantor polisi di dalam ruang penyidikan, Anggita sedang diintrogasi. Wanita itu terlihat cemas dan juga bingung. Seumur hidupnya dia baru merasakan betapa mencekanya berada di dalam ruangan tersebut dengan di bawah tekanan orang-orang yang tegas dan menakutkan.
"Nona Anggita, jadi Anda tetap kukuh tidak mau mengakui perbuatan Anda?" tanya penyidik. Dingin, datar dengan suara yang tegas penuh penekanan.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Aku benar-benar tidak melakukannya. Aku tidak tahu apapun tentang semua ini," sahut Anggita lirih.
Iris matanya merkaca-kaca. Dia sudah mengatakan yang sebena-benarnya kepada tim penyidik. Tapi tak ada yang memercayainya.
Dia tidak tahu mengapa dokumen-dokumen itu bisa berubah. Karena seingatnya, dia sudah melakukan pekerjaan dengan benar. Tidak ada penggelapan dana perusahaan. Semua ia kerjakan dengan jujur.
Laki-laki bertubuh kekar dan tegas itu menghela napas panjang. Tajam iris matanya tak melepaskan sedikitpun dari wajah Anggita.
"Semua bukti-bukti dan berdasarkan informasi yang kami dapatkan, semuanya mengarah kepada Anda, Nona. Anda tidak bisa mengelak dari tuduhan."
Setetes cairan bening luruh dari mata bundar Anggita. Dia ketakutan. Dia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa untuk membantunya terlepas dari tuduhan palsu.
Anggita tertunduk lemas ketika ia menjadi tersangka dalam kasus penggelapan dana di perusahaan Radeya yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Wanita berambut kecokelatan itu berjalan diapit oleh dua petugas kepolisian hendak dimasukan ke dalam sel tahanan."Dasar wanita rubah! Beraninya kau berniat mencuri uang dari kami. Sedari awal aku memang sudah menaruh curiga, dan ternyata memang benar kau itu seorang wanita matre dan tidak tahu malu!"Aluna yang sedari tadi sudah menunggu untuk bertemu Anggita langsung mencercanya dengan hinaan. Ia semakin membenarkan prasangka yang selama ini tertanam di hatinya.Sendu iris mata berwarna hazel itu menatap wajah Aluna sekilas. Lalu dia menundukan pandangannya. Dia tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya akan musibah yang menimpa dirinya.Petugas langsung membawa Anggita menuju ke ruang tahanan. Mereka tak memedulikan Aluna yang terus berteriak melontarkan kata-kata kasar dan
"Diam lah! Kenapa kau seperti anak kecil?! Sedari tadi kau tak berhenti menangis. Suaramu itu sungguh berisik sekali!"Anggita yang sedang terisak sendirian di pojok ruangan berukuran sempit itu mendongak melihat wajah teman barunya sekilas. Kemudian dia kembali menundukkan kepalanya, bertopang pada kedua lututnya yang ditekuk.Dia tak menghiraukan perkataan wanita yang perkiraan seusia dengannya. Anggita melanjutkan tangisnya, melepaskan rasa sesak dan sakit atas penderitaan yang dialaminya.Bagai jatuh tertimpa tangga pula. Ya, seperti itulah posisi yang sedang Anggita jalani. Sudah sakit atas kehilangan sang suami secara tiba-tiba. Kini ia juga harus mendekam di dalam jeruji besi atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.Ingin marah, ingin melampiaskan segenap perasaan sesak dan sakit dalam dada. Tapi ia tak memiliki cukup keberanian untuk melawan. Dia bukanlah siapa-siapa untuk bisa melawan seorang
"Bia, sayang, ayok mandi dulu. Sebentar lagi akan terlambat masuk sekolah."Mahesa memasuki kamar putri kecilnya. Hari ini adalah hari pertama Sabiya masuk sekolah taman kanak-kanak. Gadis kecil itu harus segera bersiap agar tidak kesiangan di hari pertamanya.Begitu Mahesa masuk, gadis itu sudah siap dengan handuknya akan masuk ke dalam kamar mandi. Laki-laki berkulit putih itu menyunggingkan senyum terbaik menyapa putri kecil kesayangannya."Ayok buka bajumu. Papa akan membantumu mandi dan bersiap," ujar Mahesa sembari berjalan mendekati Sabiya.Gadis kecil itu memundurkan langkah menjaga jarak dengan papanya. "Stop, Pa!" katanya sambil mengangkat satu tangannya meminta agar Mahesa berhenti.Duda tampan beranak satu itu mengernyitkan kedua alisnya merasa heran dengan sikap putrinya. "Kenapa?""Mulai hari ini, aku akan melakukan semuanya sendiri. Aku ini sud
Mahesa menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan melalui mulut. Dia melakukannya hingga tiga kali berturut-turut. Pandangannya terpaku pada pintu gerbang di hadapannya.Dia ragu untuk masuk ke dalam. Tapi tugas yang sudah dipercayakan padanya tidak bisa ia tolak. Mahesa menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan pikiran buruk tentang keadaan di dalam sana."Semangat, Mahesa! Kau hanya menjadi instruktur selama tiga bulan saja. Ini tidak seburuk seperti yang ada dalam pikiranmu. Semua pasti baik-baik saja. Ya, semoga!"Laki-laki berambut hitam kecokelatan itu berusaha memberikan semangat dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Dia kembali menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan melalui mulutnya. Setelah berhasil mengumpulkan semangat dan keberanian, Mahesa membuka gerbang dan mulai memasuki lapas para tahanan.Mahesa menemui
Setelah memantapkan diri, Mahesa memutar kelop pintu dan membukanya perlahan. Baru saja dua langkah kakinya masuk ke dalam ruangan itu, dia dikejutkan dengan tumpahan tepung tepat di kepalanya. Wajah dan pakaian yang ia kenakan di penuhi butiran berwarna putih.Hening selama beberapa detik. Mahesa mengepalkan kedua tangan dan mengeraskan rahangnya. Dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke sekeliling ruangan. Dan menit berikutnya penghuni ruangan itu tergelak menertawakan penampilannya saat ini."Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja," ucap Anggita dengan penuh penyesalan.Dia menjadi salah tingkah antara ingin membantu laki-laki di hadapannya untuk membersihkan tepung dari tubuhnya atau kembali ke tempat duduk mengabaikan laki-laki itu.Mahesa menggeram kesal. Dia membersihkan tepung dari wajah dan menghalangi pandangannya. Hingga iris mata tajamnya bisa melihat dengan jelas siapa orang yang bertanggungjawab atas semua yang te
"Apa kau mengenal Pak Instruktur? Dari cara dia melihatmu, sepertinya kalian saling mengenal. Kau hebat sekali bisa mengenal lelaki tampan seperti dia," ujar Nelda kepada Anggita.Saat ini wanita itu sangat tertarik untuk mencari tahu hubungan antara Anggita dengan Mahesa yang menjadi pengajarnya. Tetapi sayang, Anggita menyangkal telah mengenal lelaki itu sebelumnya. Ya, walau dia pernah tidak sengaja bertemu, tetapi Anggita benar-benar tidak mengenal Mahesa. Lagi pula pertemuan mereka tidak meninggalkan kesan yang baik."Aku tidak mengenalnya," jawabnya jujur. "Memang kami pernah bertemu. Dia yang sudah membuat cincin pernikahanku tenggelam bersama ombak."Mimik wajah Anggita berubah masam saat mengingat kejadian hari itu. Mahesa tiba-tiba muncul dan menariknya saat ia hendak mengambil cincinnya yang terjatuh hingga akhirnya dia kehilangan benda berharga itu."Dia melakukannya? Kenapa begitu?" Neld
Setelah selesai mandi dan mengganti pakaian, Mahesa langsung pergi ke kamar Sabiya. Dia tidak boleh membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Malam sudah larut dan gadis kecilnya itu harus segera tidur. Sabiya tidak akan bisa tidur jika ia tidak menemani dan membacakan sebuah dongeng."Pa, tadi pulang sekolah aku dijemput sama Tante Luna."Sebuah kerutan halus terlihat di dahi Mahesa. Dia sedikit merasa tertegun mendengar cerita Sabiya, Aluna datang untuk menjemput gadis kecil itu."Oh ya?" ucap Mahesa bersikap tenang.Gadis kecil itu mengangguk mengiakan. "Iya, Tante Aluna juga menemaniku mengerjakan PR," ucap Sabiya polos.Mahesa hanya tersenyum tipis sebagai respons atas cerita putri kecilnya itu. Dia mengusap puncak kepala Sabiya dengan lembut dan sayang."Tante Aluna baik, dia juga cantik. Menurut Papa, Tante Aluna seperti apa?" tanya Sabiya lagi.
Anggita membayangkan tubuhnya akan terjatuh ke lantai. Wanita itu memejamkan mata bersiap menerima rasa sakit akibat benturan tersebut. Tapi setelah beberapa detik berlalu, tak ada rasa sakit yang diterimanya. Perlahan Anggita membuka mata dan terkejut saat melihat wajah Mahesa yang pertama kali dia lihat. Yang lebih mengejutkannya lagi ketika sebuah telur pecah tepat pada wajah laki-laki itu hingga pecahannya mengenai wajahnya juga. Setelah kesadarannya terkumpul, Anggita segera membenarkan posisinya dan menjauh dari Mahesa yang sedang memeluknya. Dia merasa sangat malu lagi-lagi berurusan dengan Mahesa. "Haisss ...." Mahesa mendesis kesal sambil mengelap wajahnya dengan tangan. Dia menatap wajah para wanita yang ada di sana dengan sorot dipenuhi kekesalan. Mahesa menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Tanpa berbicara laki-laki itu beranjak pergi dari sana.