Ariella berdiri di ruangan rapat, di hadapan tim eksekutif dan staf perusahaannya yang terkejut dan bingung dengan pernyataan yang baru saja Ariella katakan"Saya ingin berbicara dengan kalian semua. Seperti yang kalian ketahui, saya baru saja dilantik sebagai Presiden Direktur perusahaan Darwin. Namun, saya memiliki pengumuman penting yang perlu saya sampaikan."Tim eksekutif dan staf memandang Ariella dengan penasaran. Ariella mengambil napas panjang“Saya telah memutuskan untuk menyerahkan seluruh kekayaan dan aset perusahaan ini kepada sebuah panti asuhan yang membutuhkan. Saya percaya bahwa sebagai pemimpin, tanggung jawab kami tidak hanya terbatas pada mencari keuntungan, tetapi juga pada memberikan kembali kepada masyarakat."Semua yang ada disana termasuk tim eksekutif dan staf terkejut dengan pengumuman tersebut, beberapa di antaranya menunjukkan reaksi campuran antara kagum dan kebingungan.“Tapi bagaimana kelanjutan perusahaan?”Ariella menanggapi pertanyaan itu dengan seny
Dalam gelapnya malam yang menyelimuti villa mewah itu, Mederick Winston berdiri di tengah-tengah ruangan yang kini tergenang oleh lautan darah dan mayat-mayat yang tergeletak tanpa bentuk. Kekacauan yang terjadi adalah gambaran nyata dari kegilaan yang merajalela di dalam dirinya."SIALAN, KALIAN SEMUA TIDAK BERGUNA!" teriak Mederick dengan suara yang penuh kemarahan, membuat udara menjadi terasa lebih berat di dalam ruangan itu. Tangannya bergetar saat ia memandang ke sekeliling, melihat kehancuran yang ia sebabkan dengan tangannya sendiri.Tak peduli siapa yang berada di depannya, Mederick mengamuk tanpa ampun. Dia tidak membedakan siapa pun yang berada di jalannya, termasuk para bawahannya sendiri. Ia memukul, menendang, bahkan membunuh tanpa ampun, seperti seorang manusia yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri.Di antara orang-orang yang menjadi korban kegilaannya, Jack, salah satu bawahannya yang setia, berdiri dengan wajah yang penuh kebingungan dan kecemasan. Selama delap
Sementara itu, di pulau terpencil yang jauh dari kekacauan di villa mewah Mederick, Ariella Dfretes duduk di sebuah teras dengan pemandangan pantai yang tenang. Bersama dengannya adalah Faniya dan Mason, dua orang yang telah memberikan perlindungan dan kedamaian setelah ia melarikan diri dari kekacauan yang diciptakan oleh Mederick."kak, aku masih tidak percaya bahwa kau berhasil melarikan diri dari Mederick" ujar Faniya dengan nada prihatin. "Kakak tahu bahwa dia tidak akan pernah berhenti mencarimu."Ariella mengangguk dengan penuh ketegasan. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa lagi tinggal di bawah pengaruhnya. Aku butuh kebebasan, dan aku tidak akan kembali padanya. Tenang saja aku gak ganggu kalian kok"Mason menatap Ariella dengan penuh kekhawatiran. "Tapi, bagaimana dengan ancamannya? Apakah kau yakin kau aman di sini?""Aku tahu risikonya" jawab Ariella mantap. "Tapi aku lebih baik berisiko hidup di sini daripada hidup di bawah bayang-bayang ketakutan bersama Mederick. Tapi aku ju
Dalam sebuah kamar rumah sakit yang tenang, Mederick terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan lesu. Tidak jauh darinya, Ariella duduk di kursi, pandangannya terpaku pada wajah Mederick yang lelah. Pikirannya berkecamuk dengan beragam emosi, dari kemarahan hingga belas kasihan."Dia selalu saja menyebalkan" gumam Ariella pelan. "Tapi, aku tidak bisa membantah bahwa dia peduli padaku." Dia merenung sejenak, mengingat momen-momen mereka bersama, bahkan di antara pertengkaran dan konflik yang tak kunjung usai.Ariella menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. "Tapi itu bukan alasan untuk membiarkan dirinya menyakitiku" gumamnya dengan suara penuh ketegasan. "Dia harus belajar mengendalikan emosinya, seperti yang selalu dia katakan kepadaku."Saat itu, Mederick mulai bergerak, matanya terbuka perlahan. Ariella segera berdiri, tatapannya bertemu dengan Mederick yang masih lemah. "Kau sadar" ucapnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan pria itu
Mederick menyerahkan sebuah kertas pada Ariella. Surat pengalihan seluruh aset milik atas nama Mederick pribadi. Mulai dari property hotel, restoran bintang 5 miliknya hingga asset lain seperti mansion dan gendung-gedung atas nama Mederick ditambah lagi pulau pribadi milik Mederick“Kau mau menjual ini semua?” Tanya Ella penasaran karena Mederick menyerahkan dokumen itu ke arahnya. Mederick menggeleng. Pria itu menyerahkan sebuah surat yang berbeda dari surat-surat lainnya.“Surat pernyataan?” Gumam Ariella membaca selembar surat yang Mederick serahkan“Semua aset milikku sudah menjadi milikmu termasuk aku. Jadi tandatangani surat yang menyatakan bahwa kau adalah milikku untuk selamanya” Jelas Medrick cepat. Ariella melotot terkejut.“Apa-apaan ini, kau tidak takut jika aku pergi darimu lagi, Der?” Tanya Ariella tanpa menghilangkan raut terkejutnya. Ariella terkesiap saat Mederick bergerak cepat meraih pinggangnya dan mendekapnya lebih eratAriella merasakan hatinya berdebar kencang k
“BAGAIMANA BISA AYAH MENYERAHKANKU? AYAH GILA YA?! LEBIH BAIK AKU MATI DARIPADA HARUS MENIKAH DENGAN PRIA CACAT ITU!!!” Suara teriakan seorang wanita cantik yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 21 tahun itu sontak membuat Ariella menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Mata dengan warna coklat madu itu mengintip ke dalam ruangan tempat teriakan tersebut berasal. Senyum lebar terpatri dibibirnya begitu melihat Faniya berdiri disana dengan raut muka yang penuh dengan emosi. Sedangkan sang pemilik ruangan, Andrew menghela napas lalu memijat dahinya pelan, merasa pusing dengan teriakan putrinya yang sangat keras kepala. “Tapi pernikahan kalian sudah disiapkan Faniya, tidak mungkin dibatalkan lagi. Apa kamu ingin perusahaan kita bangkrut? Jangan lupa jika sejak awal kita sudah sepakat dengan semuanya Faniya!” Ucap Andrew “Ayah menjualku?! Anak kandung ayah demi keuntungan perusahaan?!” Tanya Faniya, dia menatap tak percaya pada Andrew dengan
Sebuah mobil Ferrari Purosangue hitam memasuki halaman ketika pagar dibuka. Mobil itu berhenti di halaman depan mansion putih yang cukup luas. 15 menit lalu, setelah menerima telpon dari pemilik rumah dia bergegas menuju kemari. Seorang pria dengan kaos coklat polos yang dilapisi oleh jaket kulit itu turun dan langsung disambut beberapa pelayan yang membukakan pintu Mansion “Selamat datang tuan muda Sevant. Tuan Andrew sudah menunggu anda di ruangannya” Sapa Hidar, pria berusia 44 tahun yang menjabat sebagai kepala pelayan. Pria muda itu mengangguk lalu melangkah menuju ruang kerja milik Andrew. Cklek. Pintu ruangan itu terbuka. Andrew menatap sekilas ke arah pria muda yang baru saja masuk dan melangkah mendekat ke sofa. “Kau sudah datang”ucap Andrew yang dibalas anggukan oleh Mason “Duduklah” lanjutnya Mason de servant, pria campuran Indonesia-Spanyol itu kini mendudukkan dirinya di sofa ruang kerja Andrew. Pria itu menatap bingung ke arah Faniya yang menunduk didepannya serta
“Menikahlah dengan pria pilihan ayah, gantikan Faniya!” lanjut Andrew, setelah sedikit jeda dalam ucapannya. Ariella menatap pria paruh baya itu dengan sebelah alis terangkat “Apa itu sebuah perintah untukku?” tanya Ariella tenang, dia masih berdiri tak jauh dari meja kerja Andrew. Andrew menghela nafas lelah, jika boleh jujur dia tidak ingin menyerahkan Ariella pada tuan muda Winston. Seharusnya Faniya lah yang menikah dengan Tuan muda itu, tapi apa boleh buat, putri kesayangannya itu justru melakukan hal terlarang dengan tunangan Ariella sehingga posisi mereka harus tertukar. Melihat keraguan dari Andrew membuat Faniya mengepalkan tangannya. Dia berdiri dan menarik lengan Ariella dengan kuat, membuat gadis itu menatap ke arahnya. “Kak Ella tolong.. Aku dan Mason saling mencintai dan kakak hanya benalu dalam hubungan kami!” Ucap Faniya dengan nada lirih, Ariella mengakui kemampuan akting wanita didepannya ini, panggilan ‘kakak’ hanya Faniya gunakan jika dia sedang memohon, terlebih