Avery dan Aldi berjalan gontai keluar dari ruangan Rosalind. Avery memeluk erat Aldi, ia sangat tidak kuat menahan penderitaannya.
“Al, kenapa harus Rosa? Kenapa harus dia yang menjadi korban, Al?” Avery memukul-mukul dada Aldi perlahan. Getir, lirih dan sangat nelangsa semua ucapan yang Avery katakan kepada Aldi. Aldi hanya bisa berdiri tegak sebagai sandaran Avery.
“Kita akan membalas mereka, Nona. Saya akan membantu Nona,” ujar Aldi tegas. Ia tidak rela majikannya diperlakukan seperti binatang oleh seorang Vladimir.“Kita akan membalas mereka, Aldi. Kita buat Xavier Vladimir lebih menderita dari apa yang dialami oleh Rosalind,” janji Avery kepada dirinya sendiri.Dokter dan Suster keluar dari ruang perawatan Rosalind, mereka berwajah kusut dan tidak bisa memberikan kabar bahagia sama sekali untuk Avery dan Aldi.“Maaf, Nona. Pasien tidak bisa diselamatkan. Saya turut berbelasungkawa.” Dokter menunduk, sedih rasanya tidak bisa menyelamatkan seorang pasien.Setelah pulang dari pemakaman Rosalind, Avery pergi beristirahat di kamar adiknya. Ia membuka pintu kamar Rosalind, seketika wangi parfum candy yang sudah samar-samar baunya menyeruak ke penciuman Avery. Ia berjalan pelan masuk ke dalam kamar dan memperhatikan kamar adik satu-satunya yang telah meninggalkannya selamanya. Pajangan foto Rosalind yang ceria dan beberapa foto keluarga tergantung di kamar Rosalind.Avery mengambil foto Rosalind bersama dirinya ketika berada di Jerman yang sedang berpose begitu centil. “Sepertinya baru kemarin kulihat wajah ceriamu, andai aku tahu apa yang akan terjadi sekarang. Huhuhu …,” ucap Avery berbicara sendiri sambil melihat foto mereka berdua yang sangat ceria. “Aku pasti akan ikut denganmu ke Indonesia seperti ajakanmu saat itu di Jerman. Aku pasti akan menemanimu di setiap waktu dan tidak akan membiarkan kamu sendiri. Huhuhu …” Rasa sesak dan bersalah memenuhi relung hati Avery. Ia terisak mengingat kenangan delapan bulan lalu sa
Tok! Tok! Tok!Bunyi seseorang mengetuk pintu kamar Rosalind."Masuk," ucap Avery sambil menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya."Nona, ayo kita makan. Semenjak kemarin anda belum makan," ucap Aldi di balik pintu kamar."Aku tidak lapar saat ini, Al," balas Avery lemah."Jangan menyiksa diri lagi. Jika anda ingin membalas Vladimir, maka anda harus kuat," ucap Aldi berusaha menyemangati Avery yang tertekan.Avery bangun dari posisi tidurnya. Ia menghapus semua air mata yang sudah tumpah."Aku akan kuat, Al. Bantu aku." Avery mencoba membuat tegar dirinya sendiri. Ia tidak boleh terpuruk terlalu lama dalam kesedihan."Aku akan selalu membantumu, Nona," balas Aldi untuk mendukung Avery."Al, cari semua informasi tentang Vladimir. Aku akan membuatnya membayar atas segala penderitaan Rosa," ujar Avery sambil mengepalkan kedua tangannya."Tentu, Nona. Sekarang lebih baik anda makan terlebih dahulu. Ayo, kita makan bersama," ajak Aldi kembali."Aku
Seperti hari biasanya dalam satu minggu Avery tinggal di Vermont mansion, Avery tidak akan bertemu dengan Jordan di setiap waktu untuk sarapan, makan siang ataupun makan malam karena ayahnya itu sangatlah sibuk. Sendiri dan sepi… ya kata-kata itu paling cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini bagi Avery. Ia tidak merasakan hangatnya sebuah keluarga di dalam mansionnya yang sangat megah ini.“Pantas saja Rosa merasakan kesepian. Ternyata di dalam rumah ini tidak ada yang bisa diajak untuk berbicara,” lirih Avery di dalam hati. Ia menghela nafasnya yang terasa lelah.Avery berjalan menuju ruang makan dan ia mendapati berbagai hidangan makanan yang mewah yang sesuai dengan seleranya tapi ia menjadi tidak berselera karena semua makanan itu mengingatkannya pada ibu dan adiknya. Di meja yang mewah dengan hidangan yang mewah, hanya ia sendiri yang menikmati hidangan itu, tidak ada satupun orang yang bisa ia ajak bicara. Mungkin hanya tembok, meja, garpu, sendok, piring dan gelas y
Avery pergi bersama Aldi ke suatu pusat perbelanjaan yang biasa saja. Ia memang lebih suka berpenampilan seperti orang biasa tanpa memakai barang bermerek yang terlalu mahal. Beberapa barang kebutuhan sudah dibeli oleh Avery dan Aldi membawakan semua barang milik Avery. "Nona, apakah masih ada yang ingin anda beli?" "Sepertinya semua sudah selesai, Al." "Lalu apakah sekarang kita akan pulang?"“Kita makan terlebih dahulu ya, Al. Aku sangat lapar sekarang,” ajak Avery kepada Aldi. Avery memang selalu sedikit manja terhadap Aldi karena ia menganggap Aldi sebagai kakaknya sendiri. Mereka berdua sangat dekat dari kecil sehingga Avery tidak canggung untuk bermanja-manja terhadap Aldi meskipun Aldi selalu bersikap hormat kepadanya.“Baik. Makanan apa yang nona inginkan sekarang?” tanya Aldi kepada Avery.“Steak saja,” ucap Avery singkat.“Ada satu restaurant yang recommended menurut pembahasan di internet. Ayo kita ke sana, Nona.” Aldi menunjukkan jalan
Avery sudah bersiap untuk melakukan interview di Vladimir Corp sebagai sekretaris Xavier atau bisa saja disebut dengan Jayden sesuai yang ia kenal sebelumnya di pesawat.“Hai Xavier, kehancuranmu sudah ada di depan matamu dan aku akan membuat semua itu menjadi kenyataan. Kenyataan pahit yang akan kamu rasakan sebagai balasan yang setimpal dari kejahatanmu terhadap adikku. Aku juga akan membuatmu membusuk di dalam penjara selamanya untuk menyesali semua perbuatanmu terhadap Rosalind,” ucap Avery penuh percaya diri di depan cermin. Setiap harinya ia meyakinkan diri bahkan mendoktrin diri sendiri untuk melakukan pembalasan terhadap Xavier. Tok! Tok! Tok!Bunyi ketukan pintu kamar Avery berbunyi.“Masuk!” Jordan membuka pintu kamar Avery dan celingak celinguk untuk mengetahui dimana Avery berada. “Av, apakah kamu sudah siap?” tanya Jordan berusaha untuk mengakrabkan diri kembali dengan anak satu-satunya.“Sudah,” jawab Avery singkat. Ia tidak mau terlalu banyak bicar
“Please, Av. Maafkan atas semua kesalahanku. Ayah akan menjadi ayah yang terbaik untukmu. Aku akan melepaskan semua usahaku dan hidup tenang bersamamu,” pinta Jordan putus asa. Ucapan yang Avery katakan seperti pisau belati yang terus menyayat hatinya. Jordan sudah berusaha untuk membagi waktu dan bahkan ia sudah menyerahkan beberapa kendali atas perusahaannya kepada anak buahnya. Ia telah membagi tugas agar ia bisa meluangkan waktu untuk anak satu-satunya. “Aku tidak butuh Ayah terbaik. Rosalind lebih membutuhkannya dan kamu mengabaikannya hanya untuk perusahaan, hanya untuk uang. Apakah uangmu saat ini bisa menghidupkan Rosalind?” ucap Avery ketus yang lebih menyakiti hati Jordan.“A-apakah tidak ada sedikitpun yang bisa aku lakukan agar kamu memaafkan aku, Av?” ucap Jordan putus asa. Mata tuanya sudah tidak mampu menanggung semua ucapan menyakitkan dari Avery. Tetes air mata kesedihanpun sudah mulai berjatuhan dari mata Jordan.“Pintu maafku sudah tertutup saat kamu
Aldi mengantarkan Avery menuju gedung Vladimir Corp. Avery terlihat sangat cantik dan natural dengan tampilannya yang sangat sederhana. Ia hanya mengenakan dress simple berwarna hitam selutut dipadukan dengan blazer berwarna putih. Ia mengikat rambutnya hingga leher jenjangnya terlihat sangat sempurna. Wajah Avery hanya di poles natural, ia tidak pernah ber-make up tebal karena tidak menyenangi gaya seperti itu.Setelah sampai ke halaman depan gedung Vladimir Corp, Avery memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Ia melihat eksterior gedung itu dengan seksama. Gedung pencakar langit yang sangat tinggi dan megah. Ia masuk ke dalam lobi gedung dan ia mendapatkan interior yang sangat nyaman untuk sebuah gedung perkantoran. Terdapat cafe, taman kecil dan meja resepsionis yang terbuat dari marmer. Avery mendatangi meja resepsionis untuk meminta tolong agar bisa dihubungkan dengan bagian HRD karena ia mempunyai janji pukul delapan pagi.“Permisi, Bu. Nama saya Belle. Saya ada janj
“Tunggu!” seru seorang wanita yang seperti terlambat absen disusul dengan seorang pria yang berada di belakangnya dan berjalan dengan sangat santai. “Se-selamat pagi, Pak,” sapa Rachel yang sangat kaku karena ia bertemu dengan atasannya. Ia menggerakan siku-nya ke arah Avery agar Avery sadar dan menyapa bos-nya itu.“Selamat pagi, Pak!” sapa Avery salah tingkah saat tatapannya saling beradu dengan Xavier.. “Ehm … Pagi,” sapa Xavier sedikit berdehem. Ia melirik ke arah Avery yang seakan terlihat menunduk malu dan tidak mau memandangnya sama sekali. Ting!Lift berbunyi dan menandakan bahwa lantai yang dituju Avery dan Rachel sudah sampai.“Permisi, Pak,” pamit Rachel kepada Xavier sementara Avery tidak mau melihat wajah Xavier sama sekali, bahkan berpamitanpun enggan. Avery mengalami kesulitan untuk menutupi perasaannya yang sangat kesal terhadap seorang Xavier.“Belle … apakah kamu akan bekerja denganku disini? Apakah kamu tidak akan pergi ke Jerman la