Dengan tersenyum, Fjola mengangguk. Ia tak menyangka mendengar tawaran dari Raja Valdimar langsung. “Itu sebuah kehormatan bagiku, Yang Mulia.”
Ia lantas membalas uluran tangan sang raja. Ishak tampak gembira. Dalam hati ia berdoa supaya Fjola dapat menjaga mulutnya di kereta nanti.
Seorang selir yang tampak paling muda di antara yang lain maju. Ia menyentuh lengan sang raja dengan lembut.“Mohon maaf, Rajaku. Ada masalah dengan kuda Elisabet. Bisakah, dia menumpang kereta Anda juga?”
Sang raja menoleh pada selirnya. Ia lalu melihat Elisabet yang menunduk hormat, kemudian kembali memandang sang selir. “Biarkan dia ikut denganmu.”Pancar terkejut mewarnai raut wajah selir itu. Tetapi, dia diam saja. Ia mengangguk, kemudian undur diri.“Mari.” Sang raja menuntun Fjola menuruni tangga. Kemudian, membawanya ke kereta. Kereta itu luas, dengan meja di tengah. Di sana terdapatTak ada yan lebih ditunggu Fjola kecuali kencannya. Beberapa kali, ia menengok keluar aula istana. Ia melihat matahari yang semakin merangkak naik. Batinnya tidak tenang. Ia harus kembali ke istana calon selir sekarang, kalau ingin bertemu Barrant. Mereka sudah berjanji tadi malam untuk menengok ke luar tembok nanti. Tetapi, karena upacara penyambutan ini belum juga usai, ia khawatir tak akan dapat menemui Barrant lagi. Fjola menjadi gelisah.“Kau kenapa?” tanya Ishak yang peka.“Eh? Oh, tidak apa-apa,” jawab Fjola menoleh ke jendela tinggi aula. Para bangsawan sekarang berdiri menggerombol, menyapa dan mengobrol. Musik mengalun lirih. Raja dikelilingi jajarannya terlihat sangat menikmati pesta itu. Elisabet dikelilingi beberapa bangsawan yang menaruh harapan padanya. Ylfa pun demikian. Lilija memilih bergabung dengan Fjola dan Ishak, meski pelayannya berkeras menyuruhnya untuk bergabung dengan Elisabet.“Omong-omo
“Aku akan membantumu mendapatkan Pangeran, Lilija,” beo Ishak ketika mereka kembali ke istana selir. “Ugh! Waraskah kau?”Fjola memutar bola matanya. “Kenapa?” Ia turun dari kereta. Tangannya sibuk mencincing gaunnya. Ia berkalan memasuki istana calon selir.“Oh, come on! Kau bisa mendapatkan hati sang raja. Hati pangeran tentu mudah bagimu.” Ishak mengekor.“Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai, Ishak,” ujar Fjola memasuki gerbang. Kereta-kereta lain baru saja memasuki gerbang istana. Di depan pintu, Margaret sudah menyambutnya. Ia berdiri, memakai tongkat, memasang wajah tersenyum.Sekilas, Fjola kaget. Ia tak tahu kapan wanita itu kembali dari pesta tadi. Fjola menyapanya dengan menunduk hormat. “Selamat siang, Margaret. Pesta yang meriah, bukan?”Ishak yang mengikutinya juga menunduk, menyampaikan salam.“Tentu saja
Angin bertiup kencang di atas tembok besar. Hawanya dingin dan lembap. Kulit Fjola bergidik. Bulu kuduknya meremang. Di langit tampak awan mendung yang bergulung-gulung kelabu. Tak pelak lagi, musim dingin benar-benar datang.Di bawah tembok tempat gadis itu berdiri terdapat pemandangan yang menerikan. Dua tebing batu terjal dengan jurang menganga seolah tanpa dasar tampak mengancam. Fjola membayangkan dirinya jatuh ke sana. Tubuhnya lalu mengigil.“Kau kedinginan?’ Barrant merapatkan tubuhnya ke tubuh Fjola.“Tidak, tidak,” tolaknya menjauhi pemuda itu sebelum roma merah menjalari pipinya. “Aku hanya takut. Mungkin satu minggu lagi aku akan dibuang ke sana.”Kening Barrant berkerut. “Bagaimana bisa?”“Kau tak tahu?” Fjola tampak terkejut.“Tahu apa?”“Selir yang tidak dipilih raja akan dibuang ke sana oleh orangmu.&
“Berani-beraninya kau mempermalukanku?” kata Elisabet dengan bersungut-sungut.Fjola mendengus menanggapinya. Ia mengelus pipinya yang baru saja ditampar. Matanya melirik dengan muak. Ia meludahi Tuan Putri dari dari Vor itu.Elisabet meradang. Ia mengangkat tangannya lagi untuk menampar Fjola, namun gadis itu dengan mudah menangkisnya. Tangannya yang lain segera mencengkeram pipi putri kurang ajar itu. “Kuperingatkan kau, Tuan Putri, jangan menyentuhku atau aku tak sengaja melukai wajahmu yang cantik ini dengan benda tajam,” desisnya.Elisabet gemetar. Meski begitu, ia berusaha dengan keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya. Ia meronta, melepaskan cengkeraman tangan Fjola. Matanya memandang tajam gadis itu. Kemudian, dia berkata, “Awas kau!” lalu pergi meninggalkan kamar Fjola.Sang pelayan yang menunggu di depa kamar tampak khawatir ketika melihat tuannya keluar dengan ekspresi murka namun k
“Berapa kali aku bilang padamu untuk tidak menjadikan Margaret musuh?” tanya Ishak menaruh tangannya di pinggang. Matanya memelototi Fjola. Mereka tengah berada di kamar.“Tiga, mungkin,” jawab Fjola skeptis. Saat melihat ekspresi sang pelayan yang tambah tertekuk, ia menunduk dengan cepat. Ia tampak seperti anak kecil yang tengah ketahuan menyembunyikan permen di bawah bantal.“Dan, kau tidak mengerti juga?” Suara Ishak menggelegar. Fjola sudah terbiasa mendengar suaranya yang lembut dan sedikit melengking. Namun sekarang, ia terkejut bahwa lelaki itu mampu bersuara dengan keras.“Mereka yang mulai duluan,” jawab Fjola beralasan.“Kau harus bisa bersabar! Kau harus mampu mengendalikan dirimu!”Fjola mendelik. “Aku tidak bisa. Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan terhadap Lilija.”"Lilija?" Ishak mengernyit. "Apa pedulimu terhadap Lilija?"
Ayam belum juga menyuarakan kokoknya, tetapi tubuh Fjola sudah diguncang.“Bangun, gadis pemalas!” Ishak melembarkan gaun berlengan panjang dengan bulu-bulu lembut yang mengelilingi kerahnya. “Udara semakin dingin. Briet memberiku gaun ini untuk dipakaikan kepadamu. Tetapi terlalu panjang. Jadi, aku mencoba menyesuaikannya dengan tubuhmu. Sekarang, cepat pakai itu. Sebentar lagi Margaret akan menyeretmu.”Fjola mengerjap. Ia mendengar pintu kamarnya tertutup dan sekilas melihat punggung Ishak keuar. Ia tidur lagi. Namun, tak bisa. Nama Margaret sekarang menjadi semacam mimpi buruk bagi gadis itu.Dengan perlahan, Fjola bangkit. Rambutnya masih acak-acakan. Selimutnya masih menutupi setengah badan dan di bawahnya tampak gaun krem berleher seperti bulu serigala yang panjang dan lembut. Fjola mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Ia tak yakin dirinya tak bisa menahan bersin jika memakai itu.Sepuluh menit kemudian
Perasaan Fjola begitu gelisah. Ia ragu apakah Barrant akan datang malam itu. Ditambah dengan sahabatnya, Lilija, yang dirundung duka membuat Fjola tak semangat. Setelah makan siang tadi, dia pergi ke kamar Lilija untuk sekadar menghiburnya. Karena suasana hatinya yang syok, gadis itu tidak ikut makan siang. Ia bahkan menolak saat sang pelayan menyuapinya. Pelayannya yang bernama Helga itu berubah menjadi lembut.“Buat apa aku makan? Toh, aku akan mati juga,” tolak Lilija. Matanya menerawang memandang derak perapian. Dia duduk di kursi. Lengannya memeluk lutut.“Kau harus makan, Tuan Putri. Kau akan hidup jika mendapatkan hati raja,” kata Helga merayu. Ia menyodorkan sendok yang berisi makanan ke mulut sang putri yang bungkam.“Aku tidak nafsu makan. Taruhlah di sana. Nanti akan kumakan.” Dengan dagu, Lilija menunjuk meja di samping lemari. “Keluarlah. Aku ingin sendiri.”Helga menghel
Fjola menjerit saat tangan kurang ajar seorang serdadu meraba pahanya. Namun, tak ada siapa pun yang peduli. Mereka yang lewat hanya menoleh singkat, seolah pemandangan itu merupakan hal yang biasa terjadi di sana. Beberapa malah mendengkus.Gadis itu menangis karena marah. Ia lantas menusuk mata sang serdadu yang tengah mabuk itu dengan kedua jarinya. Si prajurit mengaduh. Spontan, ia melepaskan pelukannya. Tangannya mengucek mata.Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fjola berlari. Ia menuju pintu belakang istana. Ia berniat masuk ke celah. Namun sayangnya, sebelum sampai, si prajurit berhasil menyambar tangan gadis itu.Dengan wajah merah karena murka, dia mencengkeram kedua tangan Fjola, meguncinya ke atas dengan satu tangan sedangkan tangannya yang lain mulai menyobek bagian atas gaun gadis itu.“Jangan,” Fjola meronta. Tetapi, tenaga prajurit itu begitu kuat. Ia kesulitan. Apalagi saat tungkai si prajurit mulai mendesak di antara k