Share

3. Misteri Kedua

Rissa naik lift dengan hati berdebar dan berbagai macam pikiran berseliweran. Kantor Mr. Jona berada di lantai paling atas, lantai 10. Kantor dia sendiri berada di lantai 3. Lantai 1 dan 2 adalah divisi pemasaran, sedangkan lantai 4 dan 5 adalah divisi media sosial. Lantai 7 dan 8 digunakan untuk pemotretan para model pakaian mereka. Sementara lantai 9 dan 10 adalah lantai para eksekutif dan jajarannya. Termasuk para sekretaris yang memiliki kantor tersendiri.

Untuk pembuatan baju, perusahaan memiliki perusahaan lain tersendiri yang terpisah. Biasanya hanya orang-orang dari divisi pemasaran yang mengunjunginya, untuk mengecek produksi dan semacamnya untuk kemudian dipasarkan ke pasar. Tim divisi pemasaran bekerja sama dengan tim dari divisi media sosial yang khusus memasarkan pakaian di media sosial. Mereka kuat dalam keduanya, dan hasil penjualan JW Style cukup memuaskan. Setiap tahun perusahaan juga ikut peragaan busana. Biasanya yang memimpin peragaan busana adalah desainer utama perusahaan.

Baru saja lift naik satu lantai, seseorang masuk. Rissa memperhatikan sosoknya yang sangat menonjol. Dia adalah lelaki muda tampan yang berwajah agak pucat seperti orang sedang sakit. Aku hanya sempat memperhatikan pakaian yang dikenalnya, yang sangat modis dan bergaya. Aku cepat-cepat memalingkan wajahku, tak ingin dikira sedang kepo. Satu hal yang pasti, aku tidak kenal dia dan pakaiannya yang bergaya seperti bukan pakaian karyawan.

Rissa dan lelaki berdiri berjauhan di masing-masing sudut lift, tanpa berkata apa-apa. Biasanya antar sesama karyawan akan saling menyapa, tapi kali ini berbeda. Dia tidak menyapa Rissa dan entah mengapa Rissa juga segan untuk menyapanya duluan.

Perjalanan lift rasanya lama sekali karena keheningan itu. Dia hampir membuka mulutnya ketika tiba-tiba terdengar suara.

“Lantai berapa?” tanyanya. Suaranya terdengar merdu walaupun hanya mengucapkan dua kata.

“Paling atas,” kata Rissa dengan suara kecil.

Si lelaki tiba-tiba terkejut.

“Mau ketemu Pak Jona?” tanyanya.

“Iya,” kata Rissa. Pasti dia kaget karena orang kayak aku mau ketemu CEO langsung, katanya dalam hati.

“Tapi saya sedang dalam perjalanan untuk ketemu dia juga!” katanya.

Rissa melongo.

“Anda karyawan baru?” tanya si lelaki lagi.

Rissa mengangguk.

“Anda juga? Dari divisi lain juga?” tanyanya. Apakah mereka akan menemui sang CEO berdua?

“Tidak! Saya karyawan lama,” jawab si lelaki segera.

Rissa mendesah.

“Oh saya kira karyawan baru. Soalnya bulan ini karyawan baru dari divisi saya satu-persatu dipanggil Pak Jona,” katanya.

Si lelaki terlihat terkejut dan hal itu bagi aneh bagi Rissa.

“Maaf. Tapi saya duluan yang akan bertemu dengan Pak CEO. Anda tunggu dulu di kantor sekretaris beliau ya,” kata si lelaki tiba-tiba.

Rissa terkejut.

“Ah! Baiklah,” katanya. Padahal aku duluan yang naik lift, jadi bukannya harusnya aku duluan yang bertemu Pak Jona? Pffft ...

Tapi sudahlah, Rissa yang masih berstatus karyawan baru tak bisa melawan karyawan lama, bisa-bisa dia dibilang tak tahu diri.

Lift lalu membuka dan si lelaki buru-buru keluar. Langkahnya cepat sekali, kata Rissa dalam hati, menahan gerutuan yang akan muncul dalam benaknya lagi.

Dia lalu celingak-celinguk dan mencari kantor sekretaris. Dia segera melihatnya karena di lantai itu hanya ada tiga ruangan. Ruangan CEO, ruangan sekretaris, dan toilet. Selain itu ada tangga yang menuju ke atap. Ifan pernah berseloroh bahwa di atap sana ada landasan helikopter. Semua orang langsung menertawakannya. Tapi kini setelah dia perhatikan, di bawah tangga itu terpasang tanda “private”. Jangan-jangan beneran ada landasan helikopter di atas sana? pikir Rissa.

Tapi dia tak memikirkan hal itu lama-lama. Dia harus segera ke kantor sekretaris karena siapa tahu pertemuan lelaki tadi dengan Pak Jona berlangsung lama. Dia mengetuk pintu sekretaris.

“Silakan masuk.” Suara anggun di dalam menjawabnya.

Rissa segera masuk dan terperangah. Dia seperti melihat malaikat turun dari bumi ...

Sekretaris Pak Jona amat sangat, sungguh, rupawan sekali. Dia tinggi dengan kaki jenjang dan proporsi tubuh sempurna. Wajahnya yang putih pucat bagaikan wajah dewi. Bibirnya yang penuh diwarnai merah, sangat kontras dengan pucatnya kulitnya. Rambutnya digelung dengan gaya Prancis yang ketat, sangat formal.

Dia memakai setelan dua pasang, atasan dan bawahan rok ketat yang berwarna biru gelap dengan pita terpasang di kerah seperti pramugari. Ada pulpen terpasang di saku dadanya.  

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”

Suaranya memang benar-benar anggun! Rissa yang sudah terperangah saat melihat penampilannya kembali dibuat terperangah oleh suaranya.

“Sa ... saya diminta ke sini. Tadi saya diminta untuk bertemu Pak Jona, tapi rupanya beliau sedang akan ditemui oleh orang lain dan saya diminta menunggu di sini,” katanya agak terbata-bata.

Sang sekretaris lalu tersenyum dan menyilakannya duduk. Saking terpesonanya Rissa dengan penampilan dan suara wanita itu, dia melupakan fakta lainnya yang begitu jelas terpampang di depannya. Kemegahan kantor yang sedang dimasukinya.

Lantai kantor itu seluruhnya terbuat dari marmer hitam mengkilap, dan diberi furnitur berkelas. Jendela-jendela tinggi ditutup, menghalangi sinar matahari sehingga ruangan, seandainya tidak diterangi oleh lampu megah di atas akan sangat gelap gulita.

Sofa yang ditunjuk oleh sang sekretaris bukan main cantiknya. Jelas sofa mahal. Belum lagi meja kerja! Meja kerja itu terbuat dari marmer putih ...

Ada berbagai macam pajangan di atasnya. Globe, patung dewi Yunani, vas berisi bunga mawar ...

Bahkan ruangan itu memiliki perpustakaan pribadi. Ada dua rak buku tinggi di sana, keduanya dipenuhi buku-buku.

“Ayo, silakan duduk. Akan saya buatkan minuman,” kata si sekretaris ketika Rissa masih melongo melihat kantornya. Dia bahkan tidak sadar bahwa ada pantry di ruangan itu! Dan si sekretaris sedang menuju ke sana.

“Oh tidak! Tidak perlu repot-repot,” katanya segera.

“Ah tidak apa-apa. Segelas teh tidak pernah merepotkan,” kata si sekretaris dengan anggun.

Rissa dengan gugup menunggu di sofa dan beberapa menit kemudian di depannya tersaji teh dengan bau yang sangat harum, mengundang seleranya.

“Silakan di minum,” katanya.

Rissa mengangguk dan mengambil tehnya. Saat dia melakukan itu, dia melihat tanda pengenal si sekretaris: Marissa Reynaldi. Bahkan nama si sekretaris sangat cantik...

“Anda tadi bertemu Pak Aidan, ya? Tadi Pak Jona berkata bahwa beliau berencana untuk bertemu Pak Aidan,” katanya.

Rissa langsung tersedak tehnya.

“Astaga, Anda tidak apa-apa?” tanya Marissa segera dan menawarkan tisu.

Rissa terbatuk-batuk.

“Ah maaf, saya tidak apa-apa,” katanya.

Bisa-bisanya tadi dia bertemu dengan Direktur dan tidak mengenalinya! Tapi memang hanya orang-orang tertentu yang mengenal jajaran direksi kantor. Dan karyawan biasa macam dirinya mana bisa bertemu dengan pemimpin kecuali ada kondisi khusus.

Saat dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara keras.

“Aku kira Ayah tidak akan langsung melakukannya!”

Rissa langsung terkejut dan dia mendapati bahwa Marissa juga tampak kaget.

“Itu kejam, ayah! Ayah sama saja membunuh mereka!”

Jantung Rissa seolah berhenti berdetak. Apa kata Direktur tadi? Membunuh? 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ratna Shinta
hayolo Clarissa, lu tau terlalu banyak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status