Kara cukup terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Jack, hingga sedetik kemudian dirinya langsung bergerak mundur dan sedikit membulatkan matanya pada pria tersebut."Jack? Kenapa tiba-tiba sekali? Aku malu, Jack! Ini masih di tempat umum!" Wanita itu bersuara pelan memperingati, sambil sesekali melirik ke arah sang anak yang ternyata sudah diamankan oleh Barra lebih dulu.Sementara yang tengah diperingati, ia hanya tertawa renyah saja setelahnya. Jack nampak senang, karena dengan caranya tadi berhasil membuat wajah Barra terlihat merah padam menahan rasa kesal."Maafkan aku, Sayang. Aku memang selalu tidak tahan jika berada di dekatmu. Apalagi tadi aku sedang emosi, dan butuh sesuatu yang cukup menenangkan!"Kara menggeleng, sama sekali tak menyangka dengan alasan yang tak pernah mampir di pikirannya. Ingin marah, tetapi dirinya tak bisa juga. Biar bagaimanapun Kara harus menjaga sikapnya, agar Barra tak salah paham dan menuduhnya selama ini hanya menjalin hubungan pura-pura dengan J
"Hey! Ada apa ini?! Kenapa bisa ribut-ribut seperti in—"Brukkk!"Awhhh!"Kara langsung mengaduh, tepat setelah tubuhnya terhuyung dan terjatuh tepat di hadapan Barra. Beruntung, pria itu langsung dengan sigap menahannya. Sehingga alhasil, Clarissa yang telah mendorongnya pun langsung mendengkus dan menghentakkan kakinya menandakan kesal."Kau tidak apa-apa, Kara?" Barra bertanya tepat di hadapan wajah bundanya Arka tersebut.Tak langsung menjawab, Kara langsung berupaya secepat mungkin terlepas dari dekapan Barra. Ia tak ingin menimbulkan salah paham lagi, terlebih dirinya saat ini sangat yakin kalau Clarissa sedang memperhatikan semua kejadian ini."Awas! Kau tidak usah dekat-dekat dengan calon tunanganku lagi, Kara! Kau membawa virus!" Clarissa langsung kembali mendorong tubuh Kara, hingga membuat wanita itu menjauh dari jangkauan Barra.Putra tunggal Avaline yang melihat semua kejadian ini pun kembali menggeleng. Dengan cepat ia melayangkan tatapan sinis pada Clarissa, dan berusah
"Tapi, Jack. Bagaimana aku bisa tenang? Sampai saat ini keberadaan Arka masih belum jelas. Bahkan orang-orang yang ada di sekitar sini tadi, sama sekali tidak tahu ke mana tepatnya anakku dibawa pergi oleh orang lain!"Tangis Kara akhirnya pecah tak tertahankan. Kekuatannya saat ini benar-benar telah luntur, semuanya hilang seiring tak adanya sosok sang jantung hati di hadapannya.Sementara Clarissa, diam-diam wanita itu tersenyum melihat Kara yang sangat terpuruk seperti ini. Dirinya senang, karena setidaknya bisa melihat secara dekat dan langsung kesedihan Kara, terlebih sekarang dirinya juga bisa sekaligus melihat sang calon tunangan yang merasa tak nyaman dengan Jack karena terus-menerus memeluk Kara sambil mencoba menenangkan wanita tersebut. "Barra, bagaimana kita cari di tempat lain saja?" Wanita berambut pirang itu mengusulkan ide lain, agar bisa menghabiskan waktunya berdua saja dengan pria yang dicintainya.Tak butuh waktu lama, Barra p
"Kau sendiri, kenapa bisa ada di sini sendirian? Bukannya tadi kau sedang mencari Arka bersama Barra?"Jack bertanya, yang langsung membuat Clarissa menggeleng dengan satu tangannya yang masih berada di depan mulut. Ia menatap heran pada wanita itu, tetapi juga tak ingin berlama-lama karena masih kepikiran dengan Kara yang tiba-tiba menghilang."Ishh! Dasar wanita aneh! Kenapa kau seperti ini sih?" ujar pria itu lagi yang membuat Clarissa mendengkus, dan mendorong salah satu bahunya cepat-cepat."Dasar tidak pintar! Kau tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan?""Ya, mana aku tahu? Kau belum bilang apa pun padaku!" sahut Jack dengan sekali lagi menatap jengah pada wanita berambut pirang yang ada di hadapannya.Meninggalkan Jack dan Clarissa yang sedang berdebat kecil sesaat, kini Kara berusaha menyusuri setiap tempat untuk mencari keberadaan jelas letak yang telah disampaikan oleh Barra sebelumnya. Wanita itu menatap sekelilingnya dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya langkahnya terh
"Awhh! Tolong!"Barra terkejut bukan main, ketika langsung menyadari siapa si pemilik suara tersebut. Dengan segera ia membuka salah satu kain yang menutupi beberapa benda di hadapannya. Hingga kembali terperangah, kala melihat kondisi Kara yang sudah sangat lemas dengan beberapa bercak merah di sekitar tengkuk dan belakang telinganya."Kara? Kenapa kau bisa seperti ini?"Wanita itu hanya menggeleng lemah, sambil menunjuk ke arah salah satu kakinya yang sedang terhimpit oleh sesuatu.Melihat hal tersebut, tentu Barra langsung kembali bergerak menolongnya. Dengan cepat ia menyingkirkan sebuah kursi yang menahan salah satu kaki wanita itu. Hingga setelahnya, langsung mencoba membopong tubuh lemas tersebut dengan sekuat tenaga dan memindahkan ke tempat lain yang jauh lebih aman."Awhhh! Sakit, Barra! Pelan-pelan!" lirih bundanya Arka itu dengan dua sudut matanya yang terus mengeluarkan air mata.Sakit? Ya, itu sangat jelas! Selain dari kepalanya yang masih sangat berdenyut dengan rasa p
Srkkk!Kara terkejut, karena Barra yang seketika membuka kancing kemejanya sendiri. Untuk sesaat, wanita itu terpaku menatap beberapa bekas luka jahitan yang ada di sana. Sampai akhirnya memilih memandang ke arah lain, karena entah kenapa dirinya jadi ikut merasa sakit ketika melihatnya.Jadi, separah itukah kondisi Barra waktu itu sehingga pria tersebut tak bisa kembali menemuinya dengan cepat? Kenapa juga Barra baru menjelaskan sekarang? Kenapa pada waktu itu pria tersebut hanya menunjukkan beberapa luka lebam kecil di tangannya, hingga membuat dirinya merasa sangat bersalah detik ini?Ah, sungguh. Lagi-lagi Kara pening dengan semua kenyataan yang terjadi pada hidupnya. Mulutnya sampai kehilangan kata-kata sesaat, hingga dirinya mendengar pria di hadapannya menghela napas tipis sebelum mulai kembali membenarkan pakaiannya."Terima kasih telah mendengar penjelasanku, Kara. Setidaknya sekarang aku sudah lebih sedikit tenang, karena kau tahu alasanku pergi. Aku pergi untuk mengupayakan
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m