"Jack, please sudahlah! Jangan terus menghasutku seperti ini. Kita tidak pernah tahu alasan Barra sampai menghilang saat ini, Jack. Jadi aku mohon, jangan terlalu buruk sangka padanya dulu," ucap Kara yang segera mengusap wajah lelahnya.Sementara Jack, pria itu hanya tersenyum singkat saja menanggapinya. "Jadi setelah semua ini kau masih membelanya, Kara? Ingat, Tante Avaline pasti akan terus menekanmu kalau dia masih tetap kabur dan bersembunyi seperti ini!""Aku tahu, Jack. Tapi—""Sudahlah, Kara. Mungkin bagimu, saat ini terlalu sulit melepaskan perasaanmu padanya. Namun menurutku, kau harus tetap memakai pikiranmu di saat-saat seperti ini, Kara. Ingat! Kini bukan hanya keselamatan dan ketenangan dirimu yang terancam, tetapi keselamatan anakmu juga!" potong Jack langsung yang membuat lawan bicaranya ini terdiam."Mungkin untuk saat ini Tante Avaline masih berbaik hati hanya mengancammu, tetapi untuk nanti? Kita tidak pernah tahu apa yang akan dilakukannya pada Arka, Kara. Aku berb
"Bagaimana?"Barra bertanya, sambil berusaha mengubah posisi menjadi terduduk. Meski begitu sulit, akan tetapi ia tetap mengupayakannya. Ia tentu tak mau terus tergeletak di atas ranjang rumah sakit dengan lemah, karena masih ada banyak masalah yang harus diselesaikannya."Beruntungnya semua berhasil, Tuan. Nona Clarissa telah kembali ke hotel, dan sepertinya dia juga sudah percaya kalau perusahaan itu milik orang lain," jawab sang anak buah seraya sedikit menunduk hormat."Bagus! Kalau begitu berarti ada untungnya aku membeli perusahaan keluarga yang sempat ingin bangkrut itu, karena dengan begitu Clarissa pasti akan mudah terkecoh, ditambah dengan penjelasan beberapa artikel yang masih belum merubah nama kepemilikannya!" tutur Barra yang kini mulai terlihat sedikit mengembangkan senyumnya.Akhirnya setelah sekian lama, Barra memang bisa merasa lebih baik. Tubuhnya tak lagi terasa selemah yang lalu, meski pada kenyataannya dirinya masih belum bisa bergerak dengan bebas."Iya, Tuan. D
"Semua tiket kepulangan saya sudah urus, Tuan! Rencananya kita akan berangkat Minggu depan, karena memang hanya tiket hari itu yang tersisa!" lapor seseorang yang membuat Barra menoleh cepat."Apa?! Minggu depan? Itu terlalu lama! Apa tidak ada penerbangan lain yang jauh lebih cepat?""Maaf, Tuan. Kalau pun ada, itu hanya penerbangan biasa. Di sana Tuan tidak bisa mendapatkan pelayanan khusus, sehingga rasanya tidak mung—""Mungkin saja! Saya bisa pulang dengan penerbangan biasa sekali pun, asalkan bisa cepat sampai!" sergah pria berambut ikal tersebut dengan cepat.Mendengar perintah itu, lagi-lagi sang anak buah hanya bisa terdiam sambil berusaha memikirkan solusinya. Sepertinya atasannya ini memang memaksa pulang cepat, hingga benar-benar mengabaikan semuanya."Maaf, Tuan! Tetapi, untuk kali ini sepertinya tidak bisa saya lakukan. Saya baru saja mendapatkan kabar tentang hasil pemeriksaan Tuan dari dokter, dan katanya masih ada serangkaian pemeriksaan lagi yang harus Tuan jalankan
"Jadi, jangan pernah sekali pun kau coba-coba dekati anakku lagi!"Kata-kata itu terus terngiang di dua telinga Kara sampai saat ini. Meski kini dirinya telah terbaring dengan menatap sang anak yang tengah tertidur pulas, akan tetapi entah kenapa ia tetap terus membayangkan peringatan tersebut hingga tak bisa memejamkan mata."Apa benar itu foto Barra?" Wanita itu bergumam pelan, seraya mengusap pelan rambut ikal anaknya.Pada sebuah foto yang sempat Avaline tunjukkan padanya tadi, memang sebenarnya tak terlalu jelas. Cahaya yang remang-remang menjadi penyebab utamanya, terlebih saat itu posisi duduk Clarissa benar-benar menghalangi pria yang ada di dalam dekapannya.Tidak usah ditanya lagi, Kara tahu foto itu diambil dari sebuah tempat hiburan malam. Meski rasanya sakit dan sesak, tetapi entah kenapa dirinya masih sangat sulit mempercayai sebelum mendapati gambar yang benar-benar menampilkan wajah Barra dengan sangat jelas."Kau terlalu polos, Kara!" Bayang-bayang perkataan Jack, jus
Tokk! Tokkk! Tokk!Suara ketukan pintu berulang, membuat Kara penasaran dengan siapa yang telah mendatangi rumahnya pagi-pagi seperti ini. Dengan segera ia mencuci tangan terlebih dahulu, sebelum akhirnya kembali menatap sang anak."Bunda cek siapa yang datang dulu ya, Arka?" ucap Kara sambil sesekali menatap awas ke arah pintu rumahnya.Berkat ibunya Barra yang akhir-akhir ini sering datang dan mengancam dirinya, Kara memang jadi selalu was-was di setiap ada tamu yang mengunjungi rumah kontrakannya."Iya, Bunda! Arka juga mau ambil telepon Bunda! Nanti Arka kasih ke Bunda ya?" balas anak kecil tersebut dengan dering telepon yang masih menjadi latar belakang suaranya.Kara mengangguk, seraya mencoba berjalan mendekati jendela. Ia berinisiatif untuk mengintip terlebih dahulu, sebelum akhirnya dirinya menghela napas ketika mendengar suara Jack yang memanggilnya."Oh astaga, Jack! Aku pikir siapa?" ucap Kara yang membuat senyum pria
"Iya! Iya! Ada apa sih? Aku sedang bersiap-siap sekarang!" Clarissa berujar, seraya menyalakan pengeras suara ponselnya.Dengan tubuh yang masih berbalutkan handuk, wanita yang terkenal akan kecantikannya tersebut bergerak mengambil pengering rambut. Ia keringkan rambut panjangnya di hadapan cermin, sambil kembali menyimak perintah seseorang yang sedang menghubungi dirinya."Ah, sial! Kenapa tanda merahnya jadi banyak sih?" Wanita itu menggerutu kesal, menatap bayangan dirinya sendiri dari pantulan cermin.Ada banyak tanda kecupan hampir di setiap jengkal tubuhnya. Semalam Clarissa benar-benar tak menyadari semua itu, karena terlalu terlarut dalam perlakuan yang amat membuatnya mabuk kepayang.["Hey! Hey! Clarissa! Kau mendengarkanku tidak?! Aku sedang berbicara!"] berang seseorang dari sambungan telepon tersebut.Dengan berdecak malas, Clarissa pun mengambil kembali ponsel yang sempat diletakkannya di atas meja. Ia memutar kedua bola mat
"Sepertinya apa, Jack?" Dua alis Kara semakin menyatu, terlebih ketika pria yang sedang menggenggam erat tangannya tersebut terlihat sedikit kebingungan."Kara, aku minta maaf sebelumnya. Bukannya ingin memaksa atau menekanmu, tapi karena beberapa hal—""Jack, tolong langsung saja ke intinya," sela Kara sebelum dirinya semakin bingung.Jack mengangguk, seraya membuang napasnya pelan. Entah kenapa ia jadi mendadak gugup, terlebih Kara juga tak lagi mengelak genggaman tangannya seperti yang lalu."Bagaimana kalau hubungan kita dipercepat?""Hah?" Kara berucap dengan dahinya yang semakin menekuk. Ia sangat tak mengerti, terlebih ucapan Jack tak terlalu jelas."Dengan berbagai kesibukanku nanti, dan beberapa hal lain yang telah terjadi ke belakang ini. Aku berinisiatif untuk mempercepat hubungan kita menjadi lebih jelas lagi, Kara. Aku ingin segera melamarmu dengan resmi, hingga akhirnya kita menikah nanti," jelas Jack akhi
"Ya ampun, Sayang. Arka, ada apa?"Kara segera berlari menghampiri sang anak. Ia terlihat begitu panik, tetapi sang anak malah menunjukkan senyumnya yang membuat wanita itu menghela napasnya pelan."Maaf, Bunda. Tadi, Arka enggak sengaja senggol gelasnya, jadi airnya tumpah deh," aku anak kecil tersebut yang langsung membuat Kara mendekat dan menggendong buah hatinya menjauh agar tak terpeleset."Lain kali, hati-hati ya? Untung tadi gelas plastik. Kalau kaca? Itu sangat bahaya, Sayang," ucap Kara seraya melihat ke arah baju anaknya yang sudah basah."Iya, Bunda. Maaf, lain kali Arka akan lebih berhati-hati lagi," sahut Arka menunduk menyesal.Kara mengangguk, mengusap sekilas rambut ikal anaknya dengan penuh kasih sayang. Dan tak hanya itu, ia juga memberikan sebuah kecupan di pipinya agar Arka tak terus merasa bersalah."Ya sudah, Sayang. Kamu sekalian mandi saja ya? Biar nanti setelah itu, Bunda kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan membuat roti," kata Kara yang kini mulai kembali