Dengan menatap sebuah cincin yang ada di hadapannya, Kara terdiam dengan perasaannya yang seperti tengah diobrak-abrik. Entah kenapa ia merasa semuanya berjalan begitu cepat hingga semuanya saling bertubrukan, dan membuatnya sulit percaya."Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini?" Kara bergumam sambil menaruh kembali cincin yang baru saja diberikan oleh Jack padanya.Sekarang, Kara memang sudah kembali ke rumah kontrakannya. Saat ini sudah larut malam, tetapi sayang dirinya sama sekali tak kunjung merasakan kantuk meski tadi telah berusaha tertidur mengikuti Arka.Apa ini karena dirinya yang masih sangat kepikiran dengan Barra? Ya, Kara memang mengakui penyebab itu. Namun kali ini dirinya juga memikirkan masalah lain yang menambah beban pikirannya, karena kini dirinya bingung harus bersikap seperti apa pada Jack jika bertemu nanti.Jackson Xavier, kakak tingkat yang dulu sebenarnya sempat dikaguminya dalam diam baru saja melamar dirinya? Sempat Kara tak percaya, tetapi memang kenyataanny
"Bunda! Arka tadi dikasih ini sama Bibi yang jualan di pasar!" adu Arka seraya memamerkan permen lolipop yang ada di genggaman jari mungilnya.Pagi ini, Kara dan Arka memang kembali rutin menjalani hari-harinya seperti awal berbelanja ke pasar. Setelah sempat berhenti beberapa hari karena merasa sangat terpuruk dan sulit sekali membagi konsentrasinya, akhirnya kini ia bisa memulai lagi dengan Arka yang tentunya selalu menemani dirinya di setiap langkah.Ya, untuk saat ini Kara memang hanya mempunyai anak lelaki itu saja. Ia tak lagi mempunyai penguat lain seperti yang lalu, karena sampai saat ini Barra masih benar-benar menghilang tanpa kabar. Sementara Jack, entah kenapa pria itu tak lagi memunculkan diri semenjak menyatakan perasaan dan memberikannya sebuah cincin. Sebenarnya Kara tak terlalu mempermasalahkannya juga karena dengan begitu dirinya tak harus bingung berinteraksi seperti apa, akan tetapi tetap saja pada akhirnya dirinya merasa semakin kesepian berkat semua orang yang d
"Aku sungguh tidak main-main, Bu! Semua yang aku katakan benar adanya! Barra sempat pamit pergi padaku, lalu menghilang tanpa bisa aku hubungi setelahnya! Aku tidak berbohong, Bu! Sungguh!"Tangis Kara pecah setelah mencoba menyakinkan Avaline dengan semua ucapannya. Wanita muda itu tampak begitu panik dengan ancaman sosok tersebut, dan bahkan benar-benar takut jika nanti Arka akan dibawa jauh dari jangkauannya.Entah ini semua berhasil membuat Avaline percaya atau tidak, tetapi yang jelas Kara memang sudah mengatakannya secara betul-betul. Dirinya sama sekali tak mengarang atau pun menutupi kenyataan yang ada. Ia sungguh tak tahu keberadaan Barra di mana sekarang, dan tak tahu kabar pria tersebut seperti apa."Aku masih belum bisa percaya! Kau bisa menutupi hubunganmu dengan Barra selama ini di belakangku, dan itu berarti bisa saja kau melakukan hal yang serupa sekarang!" tutur Avaline seraya menatap tajam wanita lemah yang ada di hadapannya.Tangis Kara semakin tumpah tak tertahanka
"Apa? Jadi dia tahu keberadaanku? Bagaimana mungkin?"Sosok yang masih terlihat lemah di atas ranjang rumah sakit itu terlihat begitu terkejut dengan laporan salah satu anak buahnya. Ia ingin beranjak duduk, tetapi sayang saat ini hampir seluruh tubuhnya masih sulit untuk digerakkan."Iya, Tuan! Maaf, saya belum tahu persis dari mana dia mengetahui semua ini. Akan tetapi, saya akan tetap berusaha mencari tahunya dan berusaha mengecohnya sebelum akhirnya dia berhasil menemukan keberadaan Tuan Dimas di sini," jelas sosok itu yang langsung dijawab oleh sebuah anggukan lawan bicaranya.Setelahnya, sosok tersebut berpamitan pergi. Dimas pun akhirnya termenung sendiri, sambil berusaha berpikir langkah apa yang harus ditempuhnya saat ini.Sungguh, rasanya ia benar-benar tak bisa menghindar dari berbagai masalah. Baru saja pekan lalu dirinya dihajar oleh orang-orang tak dikenal sampai lama tak sadarkah diri, dan kini ia malah mendapatkan berita kalau Bella sudah mengetahui tempat persembunyia
"Jack, please sudahlah! Jangan terus menghasutku seperti ini. Kita tidak pernah tahu alasan Barra sampai menghilang saat ini, Jack. Jadi aku mohon, jangan terlalu buruk sangka padanya dulu," ucap Kara yang segera mengusap wajah lelahnya.Sementara Jack, pria itu hanya tersenyum singkat saja menanggapinya. "Jadi setelah semua ini kau masih membelanya, Kara? Ingat, Tante Avaline pasti akan terus menekanmu kalau dia masih tetap kabur dan bersembunyi seperti ini!""Aku tahu, Jack. Tapi—""Sudahlah, Kara. Mungkin bagimu, saat ini terlalu sulit melepaskan perasaanmu padanya. Namun menurutku, kau harus tetap memakai pikiranmu di saat-saat seperti ini, Kara. Ingat! Kini bukan hanya keselamatan dan ketenangan dirimu yang terancam, tetapi keselamatan anakmu juga!" potong Jack langsung yang membuat lawan bicaranya ini terdiam."Mungkin untuk saat ini Tante Avaline masih berbaik hati hanya mengancammu, tetapi untuk nanti? Kita tidak pernah tahu apa yang akan dilakukannya pada Arka, Kara. Aku berb
"Bagaimana?"Barra bertanya, sambil berusaha mengubah posisi menjadi terduduk. Meski begitu sulit, akan tetapi ia tetap mengupayakannya. Ia tentu tak mau terus tergeletak di atas ranjang rumah sakit dengan lemah, karena masih ada banyak masalah yang harus diselesaikannya."Beruntungnya semua berhasil, Tuan. Nona Clarissa telah kembali ke hotel, dan sepertinya dia juga sudah percaya kalau perusahaan itu milik orang lain," jawab sang anak buah seraya sedikit menunduk hormat."Bagus! Kalau begitu berarti ada untungnya aku membeli perusahaan keluarga yang sempat ingin bangkrut itu, karena dengan begitu Clarissa pasti akan mudah terkecoh, ditambah dengan penjelasan beberapa artikel yang masih belum merubah nama kepemilikannya!" tutur Barra yang kini mulai terlihat sedikit mengembangkan senyumnya.Akhirnya setelah sekian lama, Barra memang bisa merasa lebih baik. Tubuhnya tak lagi terasa selemah yang lalu, meski pada kenyataannya dirinya masih belum bisa bergerak dengan bebas."Iya, Tuan. D
"Semua tiket kepulangan saya sudah urus, Tuan! Rencananya kita akan berangkat Minggu depan, karena memang hanya tiket hari itu yang tersisa!" lapor seseorang yang membuat Barra menoleh cepat."Apa?! Minggu depan? Itu terlalu lama! Apa tidak ada penerbangan lain yang jauh lebih cepat?""Maaf, Tuan. Kalau pun ada, itu hanya penerbangan biasa. Di sana Tuan tidak bisa mendapatkan pelayanan khusus, sehingga rasanya tidak mung—""Mungkin saja! Saya bisa pulang dengan penerbangan biasa sekali pun, asalkan bisa cepat sampai!" sergah pria berambut ikal tersebut dengan cepat.Mendengar perintah itu, lagi-lagi sang anak buah hanya bisa terdiam sambil berusaha memikirkan solusinya. Sepertinya atasannya ini memang memaksa pulang cepat, hingga benar-benar mengabaikan semuanya."Maaf, Tuan! Tetapi, untuk kali ini sepertinya tidak bisa saya lakukan. Saya baru saja mendapatkan kabar tentang hasil pemeriksaan Tuan dari dokter, dan katanya masih ada serangkaian pemeriksaan lagi yang harus Tuan jalankan
"Jadi, jangan pernah sekali pun kau coba-coba dekati anakku lagi!"Kata-kata itu terus terngiang di dua telinga Kara sampai saat ini. Meski kini dirinya telah terbaring dengan menatap sang anak yang tengah tertidur pulas, akan tetapi entah kenapa ia tetap terus membayangkan peringatan tersebut hingga tak bisa memejamkan mata."Apa benar itu foto Barra?" Wanita itu bergumam pelan, seraya mengusap pelan rambut ikal anaknya.Pada sebuah foto yang sempat Avaline tunjukkan padanya tadi, memang sebenarnya tak terlalu jelas. Cahaya yang remang-remang menjadi penyebab utamanya, terlebih saat itu posisi duduk Clarissa benar-benar menghalangi pria yang ada di dalam dekapannya.Tidak usah ditanya lagi, Kara tahu foto itu diambil dari sebuah tempat hiburan malam. Meski rasanya sakit dan sesak, tetapi entah kenapa dirinya masih sangat sulit mempercayai sebelum mendapati gambar yang benar-benar menampilkan wajah Barra dengan sangat jelas."Kau terlalu polos, Kara!" Bayang-bayang perkataan Jack, jus