"Ck!" William berdecak pelan melihat Navisha menyemburkan minumannya sampai tumpah ke mana-mana. Memutar badan sedikit, lalu meraih tissue kering dan menyodorkannya pada gadis itu. "Ceroboh," gumamnya kemudian. Navisha mendelik kesal ke arah William. Tak terima sama sekali dengan keluhan pria itu. Seakan Navisha salah saja. Padahal, dia kan sampai begini karena ulahnya yang memberikan melamar dadakan seperti tadi.Eh, tadi William ngajakin Navisha nikah, kan? Itu berarti William memang baru saja melamarnya, kan?"Kamu juga, sih. Ngapain sih ngagetin aku kayak tadi." Navisha menggerutu seraya membersihkan mulutnya, kaos yang tengah ia pakai dan celana bagian pahanya. Tak lupa dashboard mobil yang juga kena semburannya. "Aku gak ngagetin, kok," elak William, sama tak terima di salahkan. "Kamu ini, kenapa suka sekali menuduh sembarangan."Delikan mata Navisha semakin melebar mendengar sahutan William yang seringan awan. Menuduh sembarangan katanya? Jelas-jelas dia ya .... saking geramn
"Untuk ancaman Gerald, aku bisa menyuruh anak buahku mencari bukti yang dia maksud dan menghancurkannya. Tapi aku yakin itu tetap tidak akan membuat dia jera. Seperti yang sering aku katakan, jalan satu-satunya kamu memang harus segera menikah dengan William."Navisha mendengkus kasar kala lagi-lagi Raid membujuknya untuk menikah dengan sang mantan terindah rasa mimpi buruk. Dia jadi penasaran kalau Raid sudah di sogok sesuatu oleh pria itu, hingga getol sekali menjodohkannya. "Gue setuju, Nav. Gue lihat-lihat dia juga gak seburuk yang pernah lo ceritain. Kenapa sih, lo gak mau kasih dia kesempatan?" Setali tiga uang, istri Raid pun menimpali. Mendukung sangat ide sang suami. Kan, Navisha jadi makin curiga ini. "Ini gak semudah yang kalian kira," desah Navisha berat. "Apa susahnya? Bukankah tinggal buka hati saja, Nav? Gue lihat lo juga masih ada rasa kan sama dia?" Nissa kembali membujuk. Navisha hanya memijat keningnya yang mendadak pening. Sungguh, ulah Gerald kali ini benar-b
"Taarraaa ...."Alis William naik satu sisi, kala menemukan kehadiran Navisha di depan pintu rumahnya dengan senyum lebar dan tangan terangkat satu. Memperlihatkan sebuah paper bag yang dibawanya. "Mau apa?" tanya pria itu datar. "Tadi aku bikin egg tart fruty sama puding coklat. Bikinnya sengaja banyakan. Soalnya aku inget kamu suka banget kan sama kue itu," jawab Navisha riang, seraya masuk membawa tentengannya ke dalam rumah tanpa menunggu ijin sang pemilik.Gadis itu bahkan langsung menuju dapur dan membuka kulkas, memindai isinya dan mencari spot untuk menaruh puding yang ia bawa. Bener-benar berlagak seperti pemilik rumah itu. William sendiri hanya mengekori di belakang, dan memperhatikan apa pun yang di lakukan gadis itu dalam diam. Namun, wajahnya tak menampilkan ekspresi apa pun. Hanya datar. "Mau cobain, gak?" Navisha mengambil satu kue yang ia bawa. Lalu menyodorkannya pada William. Sebagian sudah ia tata di dalam kulkas, sebagian lagi ia taruh ke sebuah piring."Nanti
Hari ini Navisha libur. Itu berarti waktunya ia menemani Angel seharian. Biasanya, Navisha akan mengajak Angel main di arena permainan, atau sekedar mengajak anak itu jalan ke taman. Akan tetapi karena hari ini juga adalah awal bulan, Navisha pun memutuskan untuk mengajak Angel belanja ke supermarket terdekat. Kebetulan stok kulkas mereka sudah kosong. "Mama, mau ini, boleh?" Navisha tersenyum dan mengangguk riang saat putrinya mengangkat sekotak wafer coklat. Bagaimana Navisha bisa menolak jika Angel memintanya dengan raut imut dan mata berbinar begitu. Lagi pula hanya coklat ini. "Boleh. Tapi nanti makannya bertahap, ya? Jangan sekaligus. Tahukan kalau kebanyakan makan-makanan manis akan apa?" Navisha menjawil hidung putrinya gemas."Sakit gigi!""Nah, Angel pinter," puji Navisha bangga. "Kalau begitu, sehari bolehnya berapa coklatnya, Mah?" tanya sang putri lagi. "Uhm ...." Navisha pura-pura berpikir. "2, gimana? Siang sama sore? Okeh, kan?""Okeh!" seru Angel setuju. "Sip!"
"Lo lagi ngelawak ya, Rit?" tukas Navisha sambil menggeser belanjaan milik Rita dari miliknya. "Ya, kali, ah. Gue bayarin punya lo," imbuhnya kemudian."Kenapa emang? Cuma dikit ini. Gak usah pelit gitu, dong.""Dikit mata lo siwer?" tukas Navisha sengit akhirnya karena terlalu gemas dengan Rita. "Satu keranjang itu. Dikit di mananya, coba?!" imbuhnya lagi dengan sinis.Bodo amat orang-orang akan mengatainya judes atau galak. Siapa suruh si Rita ngelunjak. Gak di kasih hati aja minta jantung, coba. Apa lagi di kasih hati, minta apa dia? Minta rumahnya sultan andara kali. "Elah, dikit ini kalau buat gue. Biasanya gue belanja lebih banyak dari ini.""Sakarep lo dah Rit. Mau banyak, kek. Dikit, kek. Pokoknya gue gak mau bayarin!" final Navisha.Mata Rita makin membola. Kaget mungkin karena Navisha melawan sinis. Biar saja, biar dia tahu kalau Navisha yang ada dihadapannya sekarang ini bukan Navisha yang dulu. Yang meski melawan, tapi ujung-ujungnya mengalah dan menangis. Oh tentu sekara
Navisha memperhatikan interaksi Angel dan William di arena permainan dalam diam. Hatinya dilema luar biasa saat ini. Satu sisi ikut senang dan terharu melihat kebahagiaan Angel yang tak pernah ia liat selama ini. Namun di satu sisi hatinya lagi, ia tak ingin terjerat sang mantan yang sudah sangat menyakitinya. Navisha galau. Harus bagaimana sekarang? Mengalah demi Angel, yang itu berarti kembali mengulang kisah lama yang mungkin saja akan berakhir sama. Atau mempertahankan egonya, yang berarti akan mengecewakan dan menyakiti hati sang putri yang baru saja menemukan sosok ayah. Apa? Apa yang harus ia pilih? Sungguh pilihan sulit. "Haahhh ... ternyata main sama anak kecil lumayan melelahkan, ya?" keluh William, saat akhirnya bisa meninggalkan Angel bermain sendiri di arena mandi bola, dan menghampiri Navisha. Wajah pria itu syarat akan rasa lelah. Navisha meringis tak enak hati di tempatnya. Bagaimana pun ia tahu putrinya memang luar biasa aktif. Navisha saja sering kewalahan kalau s
"Yeaayyy selesai!" seru Angel riang dalam pangkuan Navisha. Sambil memperlihatkan permainan rubik yang berhasil ia sama kan warna tiap sisinya. "Papa, lihat, deh. Angel bisa samain warnanya," pamer Angel kemudian pada pria di balik kemudi. Tidak lain dan tidak bukan adalah William. Ya, sepulangnya dari Mall tempat mereka belanja dan bermain bersama. Ah, jangan lupakan makan bersama pula. William memang bersikukuh ingin mengantar pulang. Dan niatnya tersebut di dukung penuh oleh sang putri. Setelahnya, bisa apa coba Navisha selain menurut. Meski berat hati, akhirnya ia pun bersedia diantar pulang. Selain karena tak tega mengecewakan Angel yang sedang bucin-bucinnya pada William. Navisha pun bingung harus membawa pulang belanjaannya bagaimana. Ingatkan, sebagai belanjaannya sudah di masukan box pendingin. Bagaimana coba Navisha bisa pulang dengan tempat segede, sisa belanjaanya yang lain, juga Angel. Dipikir bagaimana pun pasti sulit sekali. "Angel pintar," puji William sambil meng
"Mbak, Nav.""Hm ....""Ada yang cariin, tuh!""Siapa?""Model papan atas."Plok!Sejurus kemudian, sebuah baskom pun melayang ke arah Yopi. Pelakunya adalah Navisha yang kesal dengan candaan pria itu yang tidak pada tempatnya."Aduh! Kok, aku di pukul sih, Mbak?" protes Yopi tak terima. "Makanya jangan iseng. Kerjaan aku tuh lagi banyak, nih!" sahut Navisha tanpa dosa. "Loh, siapa yang iseng? Orang aku serius juga!" bantah Yopi tak terima. "Itu, di depan. Emang ada cewek nyariin Mbak Nav. Kata barista cewek dia salah model papan atas yang lagi naik daun," imbuhnya kemudian meyakinkan. Alis Navisha pun bertaut bingung mendengar ucapan Yopi. Model papan atas? Entah kenapa info itu malah mengingatkannya pada Rita, artis aneh bin absurd. Nah, kali ini siapa lagi? Beneran model papan atas atau malah model papan gipsum di acara bedah rumah?"Tapi aku kan bukan agency, Yop. Ngapain tuh model nyariin aku?" Navisha menyuarakan benaknya "Makanya temuin sana. Kali dia mau ada acara terus or