Share

Bab 8. Terasa tersisih

Terjadi sebuah perdebatan sengit antara Alden dan Bimo . Keduanya dari perusahan yang berbeda, keduanya ingin menangkan tender besar.

Alden menatap tajam pada Bimo. Sialan anak ini, benar-benar ingin menusukku dari belakang. Senyum seringai kesombongan ada pada bibir Bimo.

Alden menutup meeting, tanpa ada hasil atau keputusan, meeting berikutnya, akan diadakan Minggu depan.

Malam menjelang, Alden pulang. Tiba-tiba.

"Rosa, aku ingin bicara dengan Ibu."

"Baik, tuan."

Tak lama, Imelda sudah duduk, menunggu anaknya ingin membicarakan sesuatu.

"Tolong Bu, sekali ini jangan halangi aku, siapkan acara untuk aku melamar Laras."

"Apa!" Imelda berdiri saling kagetnya.

"Kau serius? Ibu sudah ..."

"Jangan banyak bertanya Bu, aku ingin besok melamar Laras, bila perlu aku ingin menikah secepatnya, sebelum Bimo menikah."

Ibunya kaget, namun masih terdiam.

"Aku ingin bertemu, kakek."

"Jangan! Dia baru saja istirahat, mohon, jangan diganggu."

"Aku hanya ingin, ijin, padanya."

"Nanti ibu yang akan sampaikan."

Alden menatap ibunya, "Besok , Bu. "

"Nak ...." 

Alden tak pedulikan Ibunya lagi, segera dirinya masuk ke dalam kamar. Kali ini tanpa Joshua.

"Aku ingin sendiri, Josh."

"Baik, Tuan."

***

Hari ini, permintaan Alden dipenuhi Ibunya, beberapa Asistennya sudah menyiapkan banyak paket berisi kue dan berbagai bingkisan.

Ayah dan Laras tak bisa berkata-kata lagi.

Laraspun tak bisa menolak, dirinya takut bila menolak aka terjadi sesuatu yang buruk, antara dirinya, ayah ataupun dari Alden sendiri.

Alden tersenyum puas atas rencana dan sukses tanpa ada kendala apapun.

"Joshua, besok jemput Laras, dan bawa dia padaku. Ingat, pagi-pagi."

"Baik, Tuan."

Alden masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya, ada rasa gugup bila akan bertemu dengan Laras. Apa yang akan dibicarakan? Gila aku yang sudah setua ini,asih merasa kikuk bertemu dengan wanita. Pikir Alden.

Tangannya berkeringat,  satu-satunya yang membuat nyaman adalah duduk di dalam perpustakaan mininya. Taoi, ternyata, nihil!

Alden semakin gelisah, baju apa yang akan dipakainya, dan apa yang akan dibicarakan nanti.

"I love you." katanya pada sebuah cermin. Apa aku akan mengatakan langsung ungkapan cinta? Pikir Alden lagi. Gelisah mulai melanda.

"Joshua! Kemarilah!" Akhirnya dirinya memerlukan Joshua juga.

"Baik, Tuan." Jawabnya di ponsel.

***

Pagi ini, terlihat Laras agak canggung juga duduk di kursi ruang tamu yang luas. Interior yang sangat sempurna.

Alden sudah siapapun jangan menemani Laras, termasuk Ibunya.

Tiba saatnya, Alden turun dari kamarnya, untuk menutupi kegugupannya, sebuah kacamata menghiasi wajah tampannya. Tanpa basa-basi lagi, Alden langsung menarik tangan Laras untuk mengikutinya, pergi ke sebuah tempat.

Laras menurut saja, dengan polosnya. Tanpa menaruh curiga pada lelaki itu.

"Ayo ikut aku!" ajakan yang sepertinya jauh dari kata romantis 

"Ih, jangan tarik tanganku, sakit tahu!"

"Stt, pelankan suaramu. Ayo."

"Kau dulu yang memulainya,' sungut Laras, sambil menurut saja pada Alden. 

Mereka naik mobil hitam milik Alden, dan meluncur ke sebuah tempat. Pantai. 

Joshua sebagai juru mudinya, menggiring mereka ke sebuah pantai yang sepi.

"Kau mau apa, membawaku kemari? Apakah?"

"Aku tidak akan jahat padamu, tali ingin buat perjanjian denganmu.'

Perjanjian apa?"

"Besok kita menikah!"

"Apa! Gila kau!'

"Jangan menolak! Aku peringatkan jangan menolak. Makanya aku buat perjanjian. Aku dan kau hanya terikat bebeapa bulan saja dalam pernikahan."

Laras memandang Alden bingung.

***

"Rosa aku harap ini hanyalah, gertakan Alden saja."

"Maksud, Nyonya?"

" Aku tak setuju, bila anak Pak Pardi akan menjadi menantu dalam rumah ini, apa kau tidak lihat, siapa dan bagaimana staatusnya?"

Rosa terdiam, "Tapi, Nyonya . Itu adalah pilihan dan keinginan Tuan Alden. Apa Nyonya Lupa bagaiman bila keinginan Tian Alden tak dipenuhi?"

"Ah, kau Rosa. Aku paling benci bila kau mengingatkan aku hal ini." Lalu Imelda segera meninggalkan Rosa, dirinya melangkah cepat menuju kamarnya.

Ditumpahkannya kekesalannya pada Bantalnya. Sambil meremas geram," Apa kau buta, Alden. Anak babu kau lamar. Apa tak ada wanita lain saja."

Dipandangnya, foto pernikahannya bersama Ayah Alden yang masih terpampang di dinding kamarnya.

"Lihatlah, ulah anakmu. Tak mau menurut apa katanu"

Imelda menembuskan napasnya kesal. Keinginan satu-satunya adalah Alden menikah. 

Ah, Hidupmu, sungguh malang Imelada, desis lirih.

Ingatannya kembali ke masa gadisnya dulu, saat dirinya pertama kali bertemu dengan Tuan Baskoro. Lelaki yang baik hati mengangkatnya dari lembah hina, ibu Imelda yang merupakan wanita panggilan, harus rela memberikan anaknya kehidupan yang layak. Namun, apa daya. Hidupnya semakin terpuruk, hingga seorang lelaki dermawan membawanya masuk dalam rumahnya, dan menjadikan wanita itu sebagi asisten dalam dapurnya.  Wanita itu menghembuskan napasnya. Imelda kecil tumbuh menjadi anak yang manis, tak disangkanya, bisa menjadi istri dan menjadi menantu dairumah ini. Ah ... sialan aku malah teringat dengan Hendro. Bajingan itu yang membuatku masuk dalam kemiskinan

***

Rosa duduk terdiam, di dalam dapurnya yang sudah terlihat bersih, tenaga tuanya tak akan sanggup membersihkan dapur utama yang luasnya hampir tiga kali luas kamarnya.

"Bibi Rosa, apa yang sedang, kamu pikirkan?" tanya Denok, asisten yang selama ini membantunya.

Rosa sedikit terperanjat, "tidak, aku tidak melamun, hanya berfikir, sejak kapan Tuan Alden mempunyai hubungan dengan Laras? Bukankah mereka tak pernah bertemu?"

"Iya, betul." Denok ikutan berpikir seperti Rosa.

"Atau?"

"Tapi bukankah, Tuan Alden tidak pernah ke bangunan bagian belakang, sejak dua puluh tahun yang lalu, Bibi Rosa sendiri yang bilang, kan?"

"Betul, Denok. Lalu mengapa Tuan kecil melakukan hal itu, sampai mencium bibir gadis itu." kata Rosa masih saja menyebut Alden dengan Tuan kecilnya.

"Aku pun tak tahu, tapi Bibi Rosa, gosip mereka begitu hangat. Mereka membicarakan hubungan spesial Tuan Alden. Bahkan mereka, mengharapkan sebuah masa depan yang bagus."

"Mereka? Siapa?"

"Karyawan belakang, Bibi Rosa," cetus Denok sambil memberi penekanan.

Bibi Rosa tersenyum melihat tingkah Denok.

"Sudahlah, kau membuatku tertawa Denok. Aku tahu asisten di belakang, terkadang butuh perhatian kita, tapi saat ini, mereka hanya mengandalkan uang hasil dari VCO."

"Benar, Bibi."

"Lebih baik, kita seperti ini, dari pada Nyonya Imelda menuntut banyak hal pada kita."

Denok mendesah, teringat sifat Nyonya Imelda tersebut.

"Maafkan aku, Bi."

"Tak mengapa, suatu saat pasti akan terungkap, sttt, pelankan suaramu, Denok."

"Aku sudah tahu semuanya, Bibi Rosa. Bila ada hal yang tidak beres di rumah ini."

Kedua wanita di dapur utama itu, kaget dan langsung menengok ke arah sumber suara tersebut.

"Markus! Sejak kapan kau suka menguping?" tanya Rosa  panik. "Apa yang kau ketahui tentang orang-orang rumah ini, Markus? Aku harap mulut besarmu bisa kau jaga dengan baik."

"Maafkan aku, Bibi. Kau lupa, ruangan ini punya CCTV bukan, ada yang terlupa untuk mengeceknya, bahkan karena terlama kamera itu , sampai ada yang terlupa di mana saja diletakkan CCTV nya." ucap Markus pelan. Dia berjalan mendekati tempat air dan menungkan ke dalam gelas, menenggaknya hingga tandas.

Rosa terdiam, "Diam lebih baik dari pada kita celaka, Markus. Pahamilah mereka yang membutuhkan banyak biaya untuk keluarganya."bisik Rosa pada Markus, lelaki muda yang baru lima tahun bekerja pada Baskoro Wicaksono.

"Benar, Markus. Aku pun masih butuh biaya untuk anakku bersekolah." tutur Denok penuh kesihan.

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status