Entah sudah bermimpi apa Araya semalam, sampai-sampai ia sudah mengalami hal-hal tidak mengenakan sepanjang pagi ini. Pertama karena ceramah Adnan serta peringatannya yang terus terngiang di telinga. Lalu sekarang? Araya harus terus menunduk sedari tadi sambil mendengarkan cercaan demi cercaan seorang wanita paruh baya yang sepertinya memang sedang tidak mau berbaik hati. Wanita itu hanya mengenakan kaos pendek serta celana pendek selutut, bahkan rambutnya pun turut acak-acakan.
Tidak perlu disanggah, bahwa sudah jelas wanita itu juga bersalah karena menghentikan mobilnya tiba-tiba di tengah jalan. Siapa yang tidak akan kaget coba, tetapi sekarang kesannya seperti Araya yang paling salah di sini. Padahal Araya juga mendapatkan luka-luka di kaki serta pergelangan tangannya.
Sehingga kejadian ini pun tentu saja menjadi perhatian para pengguna jalan. Mengelilingi Araya serta wanita tadi, dan beberapa kali pula Araya mendapat teguran tak berdasar dari orang-orang yang baru saja datang.
"Makanya, Dek, jangan kebut-kebutan di jalan. Itu gak baik, 'kan jadinya kecelakaan. Yang rugi diri kamu sendiri."
"Iya, dan untungnya kamu gak apa-apa."
"Kamu itu perempuan masih sekolah pula, harusnya jangan bandel!"
Begitulah kira-kira teguran yang harus Araya dengarkan hingga membuat kupingnya kepanasan. Jangan lupa, Araya itu tidak suka banyak berbicara dan ia paling tidak mau menjelaskan sesuatu kepada mereka yang tidak akan pernah mau mendengarkan.
"Lihat! Mobil saya jadi rusak! Kalau mau ke sekolah ya, sekolah aja. Jangan kebut-kebutan di jalan, sok berani kamu, ya. Memangnya kamu sanggup ganti rugi kerusakan mobil saya? Masih baru ini mobil saya!" Wanita itu tidak henti menunjuk-nunjuk mobil merah miliknya. Tatapannya sudah memerah bahkan ekspresinya seperti ingin memakan Araya hidup-hidup.
Namun, Araya memilih setia untuk menunduk, sesekali melirik motornya yang juga rusak. Bibirnya spontan merengut memikirkan hal itu. Lampu depannya bahkan sampai pecah. Duh, apa yang harus Araya jelaskan kepada Bundanya nanti. Dan Adnan? Apa yang akan kakaknya lakukan jika tahu Araya mengalami kecelakaan? Habis sudah, Araya ingin tenggelam saja.
"Permisi, ini ada apa, ya?"
Pertanyaan seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampiri kerumunan mengalihkan atensi mereka pada laki-laki jangkung tersebut, termasuk Araya. Sontak saja ke dua netra Araya ikut beradu pandang dengan si pemilik netra abu-abu itu. Mengamati sosok jangkung itu tanpa permisi, memakai jubah toga wisuda, wajahnya begitu tampan seperti pangeran di dunia dongeng. Masyaallah, sejak kapan jantung Araya bisa bertalu-talu sekencang ini di dalam sana?
Sedangkan wanita paruh baya itu kembali menunjuk-nunjuk wajah Araya, membuat Araya terlonjak tentu saja. "Ini nih, dia kebut-kebutan di jalan sampai menabrak mobil saya! Dasar anak muda jaman sekarang! Bisanya cuma ngerusuh tapi gak mau tanggung jawab!" Seperti sudah kehilangan kesabaran, wanita itu terus saja mencerca Araya.
"Berapa ganti rugi yang harus di bayar memangnya?"
Deg! Araya mendongak seketika, menatap laki-laki itu yang kini sudah berdiri di hadapannya. Wajah manis gadis itu memerah, tetapi sarat penuh keterkejutan.
Perempuan paruh baya yang entah bernama siapa itu tersenyum miring. Kemudian mengangkat tangan merentangkan ketiga jarinya. "Tiga juta!" ujarnya menekan setiap kata.
"Dih, kok, mahal banget?" Protes Araya tiba-tiba, gadis itu sampai melongo tak percaya.
Sedang laki-laki dengan toga wisuda itu mengangguk-angguk saja. Seolah nominal uang yang disebutkan tadi bukanlah sesuatu yang perlu dipusingkan. Tentu saja membuat Araya tidak bisa hanya diam dan membiarkan bertanggung jawab atas kesalahannya. Namun, saat ia hendak berbicara, lelaki toga wisuda itu lebih dulu berucap, "Ya sudah, kalau begitu tunggu sebentar." Seiring perkataan itu selesai laki-laki itu pun berlalu.
Orang-orang mulai saling berbisik. Sedangkan Araya meneguk ludah berkali-kali, ia resah, tentu saja. Bagaimana bisa tiba-tiba ada seseorang ingin menolong sedangkan Araya tidak mengenal siapa orang tersebut. Membuat Araya lantas berpikir, apakah di kota metropolitan serta di dunia yang sudah semakin tua ini, masih ada orang-orang pemilik hati luas?
Lalu, bagaimana Araya harus menilai situasi saat ini? Apakah sesuatu yang baik dan perlu ia syukuri lalu dilupakan? Atau justru ini adalah benang merah dari kisah hidupnya di masa depan?
Kening Araya berkerut, saat tanpa sengaja pandangannya berpapasan dengan sosok wanita pemarah tadi yang sedang menatap tajam ke arahnya. Araya tidak mau kalah, sehingga ia membalas melototi perempuan itu juga. Seolah berkata, apa lo?
Beberapa menit setelahnya, laki-laki bertubuh tinggi itu kembali seraya mengulurkan satu lembar check pada si wanita pemarah.
"Ini ambil uangnya, dan jangan buat masalah lagi sampai bikin macet," tukasnya setelah satu lembar check tersebut beralih tangan. Dengan senyum merekah wanita itu, pun kembali memasuki mobilnya.
Kemudian satu per satu orang-orang yang menyaksikan mulai berlalu meninggalkan Araya serta laki-laki itu. Lalu tanpa diminta, pemuda yang entah bernama siapa itu membawa motor Araya ke pinggir jalan. Araya lantas mengikutinya dari belakang.
"Terima kasih sudah membantu saya bahkan sampai membayar ganti rugi. Tapi saya gak punya uang sebanyak itu untuk menggantinya sekarang," ujar Araya saat dirinya sudah berhadapan dengan lelaki tersebut. Terlalu malu, sampai akhirnya Araya hanya menunduk.
Tanpa Araya tahu justru lelaki itu malah tersenyum. "Nggak apa-apa, saya juga gak meminta kamu untuk membayarnya, niat saya membantu bukan mau kasih kamu beban."
Araya terdiam sejenak, ia mengangkat kepala menatap laki-laki teduh itu. Bagaimana bisa ada orang sebaik ini, apakah ini yang disebut dengan kebaikan tanpa pamrih? Tentu saja tidak mungkin Araya melupakan kebaikannya begitu saja bukan?
Araya menggeleng. "Tapi saya tetap akan membayarnya setelah nanti saya punya uang. Saya janji."
Lelaki itu menarik satu sudut bibirnya tampak berpikir, kemudian berucap, "Baiklah, ganti saja uang saya dengan tidak kebut-kebutan saat mengendarai motor. Gak ... gak cuma motor bahkan mobil sekalipun."
Araya menghela napas kasar, pada akhirnya wanita pemarah itu sudah membuat orang lain percaya bahwa dirinya yang paling salah. Membuat Araya kembali dihunjam kesal.
"Saya memang salah karena kebut-kebutan, tapi wanita aneh itu juga salah karena tiba-tiba menghentikan mobilnya ditengah jalan, gimana saya gak nabrak coba!" Araya berujar dengan menggebu, ekspresinya bahkan sudah tidak setenang tadi.
Tanpa dikira hal tersebut membuat respons si lelaki berubah. Ia berdecak seraya berkacak pinggang. "Terus kenapa kamu tadi diam saja?"
"Gimana saya mau ngomong, semua orang juga udah terlanjur percaya sama wanita itu. Siapa juga yang mau dengerin penjelasan bocah bandel kayak saya? Lagian saya juga tahu kenapa wanita itu terus nuduh-nuduh saya, ya biar dia gak harus ganti rugi. Padahal tuh liat, motor saya juga rusak!" Araya menunjuk motornya yang rusak di bagian depan.
Lelaki itu menghela napas, kemudian menggeleng pelan. "Itu artinya saya yang rugi!"
Araya terkejut dengan respons itu, hingga membuatnya kembali menunduk. "iya ya, harusnya gak perlu sampai ganti rugi ... maaf," katanya pelan.
"Saya gak mau tahu, kamu harus ganti rugi! Karena saya memberikan uang kepada orang yang juga salah!" sesal lelaki itu, ekspresinya berubah dingin.
Membuat Araya menelan ludah karena gugup, hingga sesekali menggigit bibir bahkan tangannya sudah berkeringat dingin. "Tapi saya gak punya uang." Araya memang tidak punya uang sebanyak itu, tetapi ia juga tidak mau meminta kepada Bundanya atau pun Adnan. Karena ini kesalahannya, Araya harus bertanggung jawab. Tapi bagaimana caranya?
Namun, dalam beberapa detuk ekspresi laki-laki itu berubah. Diiringi senyuman lantas ia pun berucap, "Ya sudah, nggak apa-apa. Ganti uang saya dengan tidak lagi diam saat memang kamu bukan satu-satu nya orang yang paling salah! Biarkan mereka gak percaya, setidaknya bicara dan bela diri kamu sendiri apa adanya. Bukan diam, dan membiarkan diri kamu diperlakukan se-enaknya. Mengerti, Araya?"
Araya menutup bibirnya rapat-rapat, menatap lekat iris abu-abu milik lelaki itu. Perkataannya membuat Araya diam seribu bahasa. Desiran aneh mengetuk hatinya tiba-tiba, jantungnya kembali berdebar seperti tadi. Sampai-sampai ia seperti merasakan ada kupu-kupu ikut menari di dalam perutnya. Membuatnya jadi merasa mual.
Perasaan apa ini?
Beberapa menit setelahnya, lelaki dengan toga wisuda itu tersenyum kecil, kemudian melipir meninggalkannya.
Tin Tin!!
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Araya. Atensinya tertahan saat beradu pandang dengan lelaki itu di sana. Tersenyum seraya melambaikan tangan padanya di balik kemudi.
Sampai akhirnya Araya tersadar akan kalimat terakhir yang lelaki itu ucapkan.
"Eh, bagaimana dia tahu namaku?" gumamnya heran. Sampai pikirannya menerka yang aneh-aneh. Menuduhnya, apa mungkin lelaki itu bisa membaca pikiran?
Hah, Araya menggeleng. Tentu saja itu tidak mungkin. Kemudian tanpa sengaja, Araya menemukan name tage yang terapit di kerudungnya. Membuatnya paham, dari mana lelaki itu bisa tahu namanya.
"Araya Maharani." Araya tersenyum menyebut namanya sendiri seolah lupa akan hal apa yang baru saja menimpanya.
Tidak lama kemudian Araya merogoh ponselnya di dalam saku. Mencari nomor seseorang, lalu menekan tombol panggilan saat nama 'Fahri' sudah ia temukan.
To be continued ....
"Asalamualaikum, selamat pagi ...." Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Maka dari itu, Bu Roida selaku guru pelajaran matematika sudah memasuki kelas XII Ipa 1. Seluruh murid di kelas tersebut seketika duduk di bangku masing-masing. Setelah sebelumnya sibuk dengan kegiatan bermain truth or dare, atau pun bergosip mengobrol banyak hal sambil duduk melingkar di salah satu meja.Sementara itu, seorang murid laki-laki salah satu dari mereka sedang berada dalam ambang kegelisahan. Kedua kakinya tidak bisa diam sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik dan membuat teman sebangkunya geram."Fahri? Kaki lo bisa diem gak, sih?" tanya Andra seraya mengambil buku di dalam tas, kemudian memfokuskan pandangannya ke arah papan tulis.Beberapa kali Fahri melirik bangku di sebelahnya. Meja di barisan ke tiga itu masih kosong sebab si empunya belum datang. Entah kenapa tetapi, sungguh Fahri sangat khawatir karenanya. Pandangann
Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru paling mengutamakan kedisiplinan di sekolah, sehingga tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus segera dilaksanakan.Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya supaya datang ke ruang guru. Namun, saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang melaksanakan perintah itu, melainkan Fahri juga turut melakukannya. Dikarenakan Fahri bolos disaat jam pelajaran beliau demi menjemput Araya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas serta beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri, cowok itu tampak begitu tenang.
Tak!Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja."Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisa
Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar."Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan."Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya."Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep
"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi.Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka
Masih di tempat megah bernama bandara itu, keduanya kembali saling memandang. Si gadis tampak gugup, sementara si lelaki begitu tenang. "Adnan nggak ninggalin, dia cuma pergi sebentar." Nathan menyahut santai, membuat gadis di depannya tampak malu juga lucu. "Ada yang mau kamu bilang sama saya, nggak?" Nathan melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Sementara Araya meneguk ludah, jantungnya pun sudah bertalu-talu. Tidak pernah mengira akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Bahkan kedua jemari tangannya sudah saling memilin, dilihat se-intens itu membuat napas Araya tercekat. Sehingga refleks dalam satu kali hentakan ia melangkah mundur. "Saya, saya belum ada uang buat ganti uangnya Kakak," jawab gadis itu pelan, terdengar sangat polos.