17 Tahun
Jakarta
—————
"Perhiasan dunia adalah perempuan salihah. Maka kamu harus menjaga diri kamu, Ya. Jangan mengumbar aurat dengan memperlihatkan rambut kamu yang seharusnya kamu tutupi. Abang sayang Raya, maka dari itu Araya mau, ya? Pakai jilbab dan memakai pakaian yang tertutup mulai hari ini. Karena Abang, Ayah dan Bunda bisa masuk surga karena kamu. Namun, karena kamu juga, kami bisa ditarik ke neraka. Paham, 'kan, maksudnya apa?" Adnan mengusap kepala Araya kemudian pergi meninggalkannya.
Petuah panjang dari Adnan masih terngiang ditelinganya. Semenjak Adnan—kakak kandung Araya—pulang dari pesantren yang berada di kota Tasikmalaya. Adnan selalu saja memberikan nasihat perihal menutup aurat padanya. Perkataan yang selalu baik dan tidak menyakiti hati, siapapun pasti akan mau menuruti. Termasuk Araya, meskipun dengan setengah hati, gadis itu tetap menurut.
Beberapa kali Araya berdecak pelan, ia bahkan masih kesusahan memakai peniti di jilbabnya. Karena habis kesabaran, gadis itu pun kembali melepas jilbab putih—yang Adnan berikan padanya—kemudian melemparnya ke atas kasur. Lalu duduk seraya menunduk. Memainkan jemari sambil cemberut.
"Nih, pakai jilbab ini aja. Biar gampang," ujar seorang wanita paruh baya seraya mengulurkan hijab instan berwarna putih padanya.
Araya mendengkus, "Kenapa sih, Bang Adnan harus pulang. Gak bebas, deh, jadinya tinggal di rumah, baru sehari aja udah ngatur harus pake jilbab!" Araya mengambil hijab Instan dari tangan Fatimah—ibu kandung Araya yang sudah berusia empat puluh lima tahun—kemudian Araya memakai hijab tersebut dengan asal.
Bunda menggeleng, kemudian memutar tubuh sang putri supaya berhadapan dengannya, lalu membenarkan hijab Araya yang terlihat miring. "Karena Bang Adnan itu sayang sama kamu, Ra. Lagi pula peraturan menutup aurat itu bukan dari Abang kamu, loh. Tapi peraturan yang Allah berikan untuk setiap wanita muslimah, termasuk kamu. Ingat, menutup aurat itu wajib!"
Araya menghela napas, jika sudah begitu dan memang benar adanya maka Araya bisa apa? Bahkan Allah sudah memerintahkannya di dalam Al-Quran.
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu, dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Ahzab : 59)
"Jadi, pakai hijab kamu bukan karena Abang, tapi harus karena Allah, paham?" pinta Bunda diiringi senyuman.
Araya mengangguk sembari memberikan senyum paksa. "Iya, deh, lagian kalau karena Bang Adnan gak dapet apa-apa. Yang ada kesel karena diceramahin terus setiap saat." Seiiring perkataan itu Araya berlalu keluar kamar meninggalkan sang bunda.
Terkadang, Bunda merasa lelah dengan sikap Araya. Putri satu-satunya itu susah membuka diri bahkan susah sekali diatur, mempunyai teman saja bisa dihitung jari. Kalau kemana-mana selalu sendiri, sebenarnya Bunda juga sudah sering memberikan petuah agar Araya mau menutup aurat. Namun, Araya selalu saja mengelak dengan alasan, 'kalau sudah mau Raya juga akan pake jilbab, kok.'
***
"Iya Abang sayang ini juga mau baca, kok." Karena sudah begitu lapar, Araya kembali menarik piringnya lebih dekat kemudian membaca doa cepat lalu memakan roti dengan lahap.
Bunda dan Adnan saling tatap kemudian sama-sama menggeleng. Sikap Araya itu memang tidak pernah berubah. Jika bukan karena Adnan mana mau Araya menurut, perempuan itu lebih suka melakukan sesuatu yang dia mau.
Sedangkan Adnan selalu bersikap tegas padanya, entah Araya suka atau tidak, tetapi Adnan melakukannya karena sayang Araya. Pendidikan yang selama ini Adnan tempuh di pesantren, tentu saja ingin ia ajarkan untuk Araya. Membimbing gadis itu menjadi perempuan yang lebih baik. Apalagi Adnan dan Araya, merupakan cucu dari pemilik Pondok Pesantren Al-Huseniyyah yang berada di kota Tasikmalaya. Sejak berumur sepuluh tahun Adnan tinggal di pesantren. Sedangkan Araya memilih tinggal bersama Fatimah di Jakarta.
Lalu kemana ayahnya Araya?
Muhammad Faqih—Ayahnya Adnan serta Araya—beliau sudah meninggal sejak Araya berusia lima tahun. Dan sejak saat itu Bunda tidak pernah menikah lagi. Ia memilih sendiri dengan fokus mengurus anak-anaknya dan mendidik mereka. Walau pada akhirnya Adnan harus pergi di usia sepuluh tahun untuk menuntut ilmu. Menanamkan akidah agar sudah dewasa kelak ia mampu membimbing keluarganya dengan baik.
Seperti sekarang, setelah menyelesaikan kuliah juga pendidikan di pesantren Adnan memilih kembali ke Jakarta walau hanya sementara waktu. Karena setelahnya, Adnan akan kembali ke pesantren sebagai ustaz atau pengajar di sana, sekaligus ikut andil dalam mengelola pesantren bersama sang kakek. Toh, Adnan adalah penerus dari pesantren Al-Huseniyyah.
"Ingat ya, Raya, kamu gak boleh terlalu bergaul sama laki-laki. Batasi diri kamu dan harus bisa menjaga diri," petuah Adnan lagi selepas mengunyah makanan.
Araya meminum susu yang tak jauh darinya. "Siapa juga yang mau deketan sama cowok-cowok aneh di sekolah. Lagi pula ya, Bang, temen Raya itu cuma satu. Fahri doang itu juga cowok pendiemnya minta ampun. Gak diajak ngomong mah dia diem, Bang. Kayak pake lakban aja itu mulutnya," ujarnya menggebu-gebu.
"Fahri?" Kening Adnan mengerut, ia seperti mencoba mengingat sosok pemilik nama Fahri yang disebutkan adiknya barusan.
"Itu, loh, Nan. Tetangga kita anaknya Almarhum Pak Imam, temenan sama Raya udah dari kecil. Masa kamu lupa?" timpal Bunda, beliau sedari tadi ikut menyimak.
Adnan mengangguk. "Dia anaknya baik, 'kan?"
"Baik dong, cuma kayak Abang, sekalinya ngomong panjang kali lebar. Ceramaaaah terus gak ada habisnya."
"Ya udah, yang penting jaraknya harus di jaga. Temenan aja gak lebih. Apalagi sampai pacaran, itu nggak boleh." Adnan kambali memperingati dengan tegas. Laki-laki itu lantas mengambil tisu di atas meja kemudian mengelap bibirnya sebelum berdiri. "Abang mau ketemu sama Fahri."
Araya mendongak sedangkan pipinya mengembung karena penuh dengan roti. "Ngapain?"
Adnan mengedikkan bahu. "Pengen ketemu aja anaknya kayak gimana. Kalo gak bener 'kan bisa diminta jauhin kamu." Seiiring dengan perkataan itu selesai, Adnan berlalu memasuki kamar.
Gila! Itu yang ada dalam benak Araya, bagaimana bisa ia mempunya Abang yang se-possesif itu? Hih, jika saja Araya bisa menawar, maka Araya ingin sekali lahir ke dunia bukan sebagai adiknya Adnan. Cara yang ditunjukkan Kakak nya itu sungguh membuat Araya kesal setengah mati.
Oleh sebab itu, setelah selesai menghabiskan sarapannya, Araya berdiri kemudian mencium tangan Bunda dengan buru-buru.
"Mau kemana, Ra? Tunggu Abang dulu, dia mau nganterin kamu ke sekolah," ujar Bunda saat Araya berlalu keluar rumah setelah mengucapkan salam.
"Araya!" Tidak lama setelahnya Adnan keluar, berteriak memanggil sang adik nakalnya itu. Namun terlambat karena motor Araya sudah semakin menjauh.
Adnan menghela napas kasar, melihat itu Bunda mengusap pelan pergelangan tangan Adnan. "Sudah, Bunda tadi lupa kasih tahu. Araya itu gak suka dipaksa apalagi terlalu diatur. Pelan-pelan saja nanti juga dia paham." Bunda berusaha memberi pengertian.
"Tapi dia berangkat sendiri loh, Bun. Kalau terjadi sesuatu gimana?"
"Ish, kamu kayak gak tahu Araya aja. Dia itu kemana-mana sendiri. Udah, gak usah khawatir nanti juga kalo udah nyampe suka ngasih tahu." Tersenyum, Bunda menarik Adnan kembali memasuki rumah.
***
Araya melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Untung pagi ini jalanan sedikit lenggang. Sedangkan rasa kesal masih tertanam di hatinya dan itu semua karena Adnan. Meskipun begitu Araya tahu bahwa, Adnan melakukannya karena rasa sayangnya yang besar pada Araya. Namun, tetap saja Araya tidak suka dengan sikap Adnan yang selalu berlebihan.
Fahri itu adalah sahabatnya sejak kecil, dari SD, SMP, sampai akhirnya masuk SMA, mereka selalu disatukan di kelas yang sama. Fahri itu baik, Araya menyayanginya sebagai teman. Bagaimana bisa Adnan berpikir kalau Fahri itu tidak baik. Lalu berniat menginterogasi sekedar ingin menilai apakah Fahri pantas menjadi temannya atau tidak?
Araya menggigit bibir. Menyebalkan memang, saat kekesalan hanya bisa diungkapkan di dalam hati. Tak bisa diucapkan, lidah kelu untuk berkata, benar-benar kehabisan kosa kata.
Ckkiiittttt!!!!
Decitan mobil merah yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan membuyarkan segalanya. Dan mobil itu berada tepat di depannya. Araya terkejut saat motornya tidak seimbang apalagi dalam kecepatan cukup tinggi. Lalu karena panik, Araya salah menarik tuas rem, yang seharusnya belakang ia malah menarik tuas rem depan. Sehingga ban motornya tergelincir dan ....
Brukk!!
Kecelakaan itu terjadi!
To be continued ....
Entah sudah bermimpi apa Araya semalam, sampai-sampai ia sudah mengalami hal-hal tidak mengenakan sepanjang pagi ini. Pertama karena ceramah Adnan serta peringatannya yang terus terngiang di telinga. Lalu sekarang? Araya harus terus menunduk sedari tadi sambil mendengarkan cercaan demi cercaan seorang wanita paruh baya yang sepertinya memang sedang tidak mau berbaik hati. Wanita itu hanya mengenakan kaos pendek serta celana pendek selutut, bahkan rambutnya pun turut acak-acakan.Tidak perlu disanggah, bahwa sudah jelas wanita itu juga bersalah karena menghentikan mobilnya tiba-tiba di tengah jalan. Siapa yang tidak akan kaget coba, tetapi sekarang kesannya seperti Araya yang paling salah di sini. Padahal Araya juga mendapatkan luka-luka di kaki serta pergelangan tangannya.Sehingga kejadian ini pun tentu saja menjadi perhatian para pengguna jalan. Mengelilingi Araya serta wanita tadi, dan beberapa kali pula Araya mendapat tegur
"Asalamualaikum, selamat pagi ...." Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Maka dari itu, Bu Roida selaku guru pelajaran matematika sudah memasuki kelas XII Ipa 1. Seluruh murid di kelas tersebut seketika duduk di bangku masing-masing. Setelah sebelumnya sibuk dengan kegiatan bermain truth or dare, atau pun bergosip mengobrol banyak hal sambil duduk melingkar di salah satu meja.Sementara itu, seorang murid laki-laki salah satu dari mereka sedang berada dalam ambang kegelisahan. Kedua kakinya tidak bisa diam sehingga menimbulkan suara yang cukup berisik dan membuat teman sebangkunya geram."Fahri? Kaki lo bisa diem gak, sih?" tanya Andra seraya mengambil buku di dalam tas, kemudian memfokuskan pandangannya ke arah papan tulis.Beberapa kali Fahri melirik bangku di sebelahnya. Meja di barisan ke tiga itu masih kosong sebab si empunya belum datang. Entah kenapa tetapi, sungguh Fahri sangat khawatir karenanya. Pandangann
Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru paling mengutamakan kedisiplinan di sekolah, sehingga tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus segera dilaksanakan.Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya supaya datang ke ruang guru. Namun, saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang melaksanakan perintah itu, melainkan Fahri juga turut melakukannya. Dikarenakan Fahri bolos disaat jam pelajaran beliau demi menjemput Araya.Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas serta beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri, cowok itu tampak begitu tenang.
Tak!Araya menyimpan pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk mencoret-coret kertas putih di atas meja. Pikirannya kembali berlari pada sore tadi. Mengingat seorang laki-laki dengan kemeja hitam di pinggir jalan itu. Bagaikan kaset rusak yang berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Ada rasa resah, gelisah, tetapi senang berpadu menjadi satu.Entah perasaan apa ini? Namun, Araya dibuat kehabisan kata karena nya. Araya sampai tidak tahu, apa yang harus ia lakukan? Kosa kata yang sudah ia kumpulkan untuk berbentuk kalimat tentang rasa di sebuah buku diary, seolah hilang begitu saja. Jika dipikir lagi, Apakah perasaan ini salah? Salah karena terlalu membiarkannya hingga melebar begitu saja."Astaghfirullahal adzim." Untuk kesekian kalinya Araya beristighfar. Araya memang belum begitu paham tentang agama, tetapi ia juga tahu bagaimana caranya menenangkan hati yang gelisa
Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.Kakaknya itu memang yang terbaik, tidak pernah menyerah meskipun Araya sering kali protes tetapi Adnan tetap sabar."Lo bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan."Gak, gue justru bakal kangennya sama lo."Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya tentu saja membuat Fahri senang. Meskipun mungkin, gadis di belakangnya itu sama sekali tidak menyadarinya."Lo baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lo gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep
"Ada dua pilihan bagaimana menyikapi perasaan itu. Pertama, apakah ingin seperti Bunda Siti Khadijah yang berani mengungkapkan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW, atau seperti Sayyidatina Fatimah Az-Zahra RA, yang menyimpan cintanya diam-diam untuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jadi, di antara cara menyikapi cinta dari kedua wanita mulia itu, cara mana yang akan kamu ambil?"Araya berpikir sejenak, sampai akhirnya ia pun menjawab, "Bunda Siti Khadijah."Tertampar sudah Araya dengan ucapannya sendiri. Malu sekali saat ia tidak bisa membuktikannya dengan tindakan nyata. Berbicara itu memang mudah, tetapi melakukannya adalah pekerjaan yang paling sulit.Sungguh malu saat kejadian tadi membuat Araya pada akhirnya memilih untuk berlari. Meninggalkan toko pernak-pernik begitu saja, sehingga pin yang ingin ia beli untuk sang bunda pun tidak jadi.Lagi pula, memangnya siapa orang yang men
"Araya pakai gamis ini, ya?" pinta Bunda saat baru saja memasuki kamar Araya. Kemudian melihat putrinya yang sedang bercermin."Raya gak bisa, Bunda. Ribet, Raya juga udah rapi ini." Araya memutar tubuhnya, terlihat cantik dengan mengenakan tunik serta celana jeans. Tidak lupa, kerudung instan berwarna soft cream."Nggak, Raya, kamu harus pakai gamis ini. Ke pesantren masa pakai celana? Mulai dari sekarang kamu harus terbiasa pakai gamis seperti ini setiap hari. Wajib!" Bunda berusaha membujuk.Kedua bahu Araya spontan merosot. Lantas bergelayut manja di tangan sang Bunda. "Bunda, gak suka. Ribet, Raya gak mau!" Dengan wajah memelas Araya memohon. Berharap andai Bundanya mau memaklumi dan membolehkan Araya untuk tidak memakai gamis sementara waktu.Bunda tersenyum, ia melepas tangannya dari pelukan Araya. Kemudian memegang kedua sisi wajah putrinya. "Putri Bunda ini sudah besar, sudah seh
Bandara memang tempat paling megah. Seberapa banyak pun orang yang datang tempat ini tidak akan pernah sesak. Namun, tidak termasuk dengan hati, saat harus berbesar ikhlas melepaskan seseorang yang disayang. Atau ada pula tempat ini menjadi awal pertemuan baru yang sebelumnya pernah dipisahkan. Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama menghilang. Araya masih setia mendampingi Adnan di sebelahnya, bahkan tanpa sungkan Adnan menggandeng tangan gadis itu di antara sebagian orang yang berpikir kalau mereka adalah sepasang suami istri. "Abang, kok ada yang lirik-lirik kita, sih, Bang? Ada yang aneh, ya, sama Raya?" tanya Araya, ketika ia baru sadar ada yang curi-curi pandang. Adnan menunduk melihat Araya, sedangkan Adiknya mendengak melihat sang abang, perbedaan yang dominan ketika Adnan ternyata memiliki perawaka