Share

Jodoh satu RT
Jodoh satu RT
Penulis: Rianievy

Nggak mau!

"Nggak mau!" tolak Serena saat ia baru saja ia duduk di ruang tamu. Wajahnya masih lelah tapi sudah dapat info terkini di keluarganya yang meminta ia segera menikah dengan Romeo. Anak tetangga satu RT dengannya yang ia ingat dulu sering kena omel papanya-Handoko-karena sering bikin nangis adik perempuannya. 

"Ren, Mama Papa minta tolong sekali sama kamu. Kondisinya mendesak. Apa kamu tega liat Tante Lita pergi saat anaknya belum dapet jodoh?" Rini meminta dengan sungguh-sungguh ke Serena yang menggeleng cepat. 

"Nggak, Ma. Rena nolak. Titik!" Serena beranjak, ia berjalan cepat tapi berhenti saat mamanya menjawab telepon dari seseorang. 

"Ya ampun! Iya, iya, kami ke sana sekarang!" 

Serena menoleh, ia masih menginjakkan kaki di anak tangga ke tiga menuju kamarnya di atas. 

"Rena, kita ke rumah sakit. Tante Lita dibawa ke ICU. Ayo cepet!" Rini menarik tangan putrinya, sementara Handoko segera menyambar kunci mobil yang tergantung di tempat gantungan kunci. Serena mau tak mau mengikuti. Pagar rumah bercat putih itu terbuka, muncul Tira yang baru pulang kuliah di jam tujuh malam. Ia sibuk organisasi di kampus, jadi wajar kalau pulang kuliah malam. 

"Lho ... lho ... lho, pada mau ke mana!" Tira memekik. 

"Tante Lita masuk ICU, kamu mau ikut nggak!" teriak Rini. 

"Ikut!" Lita segera membuka lebar pagar rumah. Serena kesal tetapi Tira tergelak. 

"Apa lo!" pelotot Serena. 

"Calon mantu Tante Lita nggak boleh mereh-mereh kelesss ..., cantik bener yang mau disuruh nikah anak begajulan itu," godanya. 

"Lo tau hal ini, Ra!" 

"Jelasss ...," jawab Tira sembari mengacungkan ibu jari. Serena hanya bisa cemberut. Kedua kakak beradik itu masuk ke dalam mobil, saking buru-burunya pagar lupa di tutup. Akhirnya satpam komplek diminta Handoko mengunci pagarnya. 

Dengan cepat Handoko mengemudikan mobil hingga ke rumah sakit. Mereka berempat berlari hingga ke arah lift yang akan membawa ke lantai lima tempat ruang ICU berada. Tiba di lantai lima, di depan ruang ICU, Rafli-suami Lita-sudah duduk sambil menundukkan kepala. Di sebelahnya ada Kamila anak kedua Rafli dan si tengil Romeo yang melirik ke arah keluarga Serena berjalan mendekat. 

"Raf," sapa Handoko. Rafli beranjak, ia memeluk sekilas Handoko lalu mereka bicara cukup serius. 

"Mama sesak napas lagi Tante Rini," kata Kamila sambil menangis. 

"Kita doakan Mama semoga stabil, ya. Kamila tenang, ya," ucap Rini lalu memeluk Kamila. 

Tira menyenggol bahu Serena, "Mbak, tuh, calon bojo," ledeknya seraya cekikikan. 

"Apaan, sih lo! Lo aja yang nikah sama dia! Gue ogah!" bisik Serena menolak mentah-mentah perjodohan itu. 

"Dih! Lo aja, umur lo udah dua tujuh. Udah cukup punya laki ama anak. Lagian gue udah punya cowok. Yang jomblo kan, elo." Tira mendekat ke Kamila, ia merangkul bahu remaja lima belas tahun itu untuk memberi support. Romeo melirik ke Serena yang mencibir kesal, lalu keduanya membuang pandangan. 

Pintu ICU terbuka, perawat keluar. "Apa ada yang namanya Romeo dan Serena?" 

Kedua pemilik nama yang disebutkan saling menatap lalu mengangguk ke arah perawat. "Boleh ikut saya masuk? Kondisi Ibu sudah stabil. Tapi hanya sebentar, ya. Ibu mau bicara." 

Oke. Ini bukan bercanda atau settingan belaka. Serena menyerahkan tas kerja ke Tira, ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu, setelah berganti baju khusus, ia dan Romeo mendekat ke tempat Lita terbaring. 

Wajah Lita pucat, bibirnya kering, tatapannya sayu. "Ma," sapa Romeo lalu mencium kening Lita. Serena hanya tersenyum menyapa. 

"Rena," lirih Lita. 

"Hai, Tante, cepat sembuh, ya." Lita tersenyum. 

"Iya, Ren, tapi rasanya--" Lita diam, ia memejamkan kedua matanya. "Tante nggak kuat," lanjutnya dengan suara yang mewakilkan kesedihan. Romeo dan Serena hanya diam menatap Lita yang kembali menatap mereka sayu. 

***

"Nikah sama gue nggak rugi kok, Ser," celetuk Romeo sembari bersedekap berdiri bersandar pada dinding rumah sakit saat mereka di parkiran. 

"Rugi, lah!" sewot Serena bernada tinggi. 

"Lo udah setuju tapi, kan? Nggak bisa mundur." Romeo tersenyum licik. 

"Bisa!"

"Lo mau bahayain nyawa Mama gue!" Kali ini Romeo memekik. 

Serena mengusap kasar wajahnya. "Denger ya, Meo, lo ...." tunjuk Serena dengan jarinya. "Jangan seenaknya sendiri setelah kita nikah. Karena ini cuma sementara sampai Tante Lita sehat lagi. Keluarga kalian sudah memutuskan Tante Lita dibawa berobat ke luar kota, kan? Karena ada keluarga kalian yang dokter hebat di sana." 

"Setelah itu, lo mau kita cerai?"

"Ya!" jawab Serena tanpa ragu. 

"Ups, sorry, Ser ...  nggak bisa. Gue nikah maunya sekali seumur hidup." Tegas Romeo. Lelaki berambut lurus, bola mata hitam pekat, hidung mancung, kulit putih, tubuh tinggi cukup berisi walau tak kekar sekali, begitu yakin dengan ucapannya. 

"Yaudah! Kalau gitu selamat merasakan pernikahan bagaikan di ne-ra-ka!" semprot Serena. 

Romeo tergelak. "Maca cih, Ser ..., bisa aja, lo." Romeo mengacak-ngacak rambut panjang model layer Serena, ia marah. Napasnya memburu cepat, lalu ia tendang tulang kering Romeo hingga lelaki itu mengaduh. Romeo mengusap tulang keringnya sambil berlutut.

"Gue yakin kita jodoh, Ser," lanjut Romeo meringis. Sakit juga tendangan Serena. 

"Nggak bakalan! Lo anak kecil tengil, belagu, somplak, seenaknya sendiri, badung, nggak bakal bikin gue jatuh cinta sama lo!" tunjuk Serena emosi. 

Romeo berdiri, ia menarik napas dalam dan menghembuskan pelan. "Kita lihat, Ser. Sekarang kita lakukan demi Mama gue. Kalau memang lo nggak akan pernah jatuh cinta sama gue. Kita bisa bahas gimana masa depan rumah tangga kita." 

Kedua bahu Serena merosot, ia mengigit bibir bawahnya sambil berpikir sesuatu. Di dalam pikirannya, ia baru sadar jika cinta bisa saja tumbuh karena seringnya bersama. Ia lalu menyesal sudah bicara seperti itu, hanya saja yang bikin ia kesal karena kenapa harus Romeo! Sejak dulu ia sudah sering bertengkar karena kenakalan lelaki dihadapannya yang bersedekap sambil tersenyum tengil. Melihat itu saja sudah membuat Serena kesal bukan kepalang. 

"Ayo pulang, gue antar." 

"Gue bisa sendiri," tolak Serena berjalan meninggalkan Romeo. Tangan Serena ditarik Romeo. "Lo calon istri gue, gue mulai harus tanggung jawab sama lo, Ser." 

Serena menghentakkan tangan Romeo keras. "Elo jangan seenaknya panggil gue 'Ser'! Gue lebih tua lima tahun dari lo, Meo!" 

"Nah, elo, manggil gue Meo?" cibir Romeo. 

"Bebas, lah! Gue lebih tua dari lo!" 

Romeo mengalah, ia menekan remote kunci mobil. City car hitam mengedipkan dua lampu depan, "itu mobil gue. Ayo pulang ... Tante Se-re-na ...," katanya meledek lalu tersenyum lebar sebelum berubah mencibir Serena lagi. Ia berjalan meninggalkan Serena yang kesal bukan main, bahkan sampai melepas sepatu kerjanya dan diangkat ke atas kepala hendak melempar ke Romeo yang melenggang jauh di depan, tapi ia urungkan. 

"Tahan, Ren, sepatu lo lebih mahal dari kepala tu bocah," gumamnya lalu memakai sepatunya lagi. 

Mereka pun pulang bersama. Romeo melirik Serena yang duduk diam dengan siku kiri diletakkan pada handle pintu mobil dan telapak tangan menyanggah kepala. 

"Mau makan dulu? Udah makan belum?" 

"Nggak laper," jawab Serena tanpa melirik Romeo. 

"Yaudah." Romeo melajukan kecepatannya. Serena melotot. Ia mencubit keras lengan Romeo hingga mengaduh. 

"Adadadah! Ser! Eh, Tante! Lepas, aduh sakittt!" teriaknya. Romeo memelankan laju mobil barulah Serena melepaskan cubitan pedas yang pasti menimbulkan bekas. 

"Lo berani bahayain nyawa gue. Kalau gue mati gue gentayangin elo!" ancam Serena. Romeo melirik kesal, ia menahan sakit karena cubitan Serena sambil memegang kemudi. 

"Sakit, Tante, lo mau gue bales cub--" Romeo diam. Serena benar-benar mengarahkan sepatu hak lima senti ke arah Romeo sambil melotot. "Galak banget. Pantesan jomblo. Kasihan nggak ada cowok yang betah. Gue doang kayaknya yang betah nanti, Tan." 

Serena sudah tidak bisa marah, mereka sedang di dalam mobil, terlalu beresiko jika ia marah-marah. 

***

Ya ... siapa sangka, jarak satu bulan kemudian mereka menikah. Geger dunia persilatan Serena di kantor. Semua orang tak menyangka seorang asisten pribadi yang terkenal cantik, body goal yang aduhai, pintar, cekatan, juga termasuk ke salah satu perempuan susah ditaklukan, kini sudah menyandang istri berondong yang masih kuliah bernama Romeo. 

Romeo memakai setelan jas warna coklat muda, Serena memakai kebaya modern warna senada. Terpaksa Serena terlihat ikhlas menjalankan pernikahannya, padahal ia sudah menyiapkan banyak rencana supaya Romeo menyerah. 

Perhelatan pernikahan di aula gedung megah itu selesai. Tira tak henti tertawa saat membantu kakaknya berganti pakaian di ruang ganti. "Jangan ngomel aja lo, Mbak. Kali aja lo dapet kenikmatan lahir batin nikah sama berondong modelan si tengil Romeo." 

"Mimpi buruk bisa-bisa tiap hari!" omel Serena seraya memakai baju yang disiapkan Tira. Kaos oblong dan celana jeans. "Sendal jepit gue mana!" pinta Serena. 

"Nih!" Tira meletakkan di atas lantai. "Malu, Mbak, ganti gaya napa. Lo udah jadi istri, baek-baek Romeo direbut cabe-cabean." 

"Bagus, lah." Serena meraih tas selempang warna merah miliknya. Ia mengecek ponsel, banyak ucapan selamat dan doa supaya cepat dapat momongan ia terima, tetapi rasanya aneh. Hela napas panjang membuat Tira mendekat, ia merangkul Serena. 

"Mbak, seenggaknya lo bikin senang Tante Lita. Selamat menempuh hidup baru, ya. Selamat bikin keponakan buat gue dan selamat malam per-- aduh! Mbak!" Tira meringis, pinggangnya kena cubit Serena tak lupa pelototan tajam. 

"Bini gue mana?" suara Romeo terdengar di depan pintu. Serena berbalik badan menghadap pintu. Saat pintu terbuka, ia terkejut mendapati Romeo memakai celana pendek warna hitam selutut, sandal jepit hitam dan kaos kerah warna putih. Tak lupa Romeo mengunyah permen karet. 

"Jiahhh! Kompak bener dandanannya! Lagi bini gembel!" Tira berlari bahkan menabrak Romeo yang terdorong hingga bersandar pada pintu sambil tertawa lepas. 

"Heh! Adek ipar resek!" teriak Romeo. 

"Apa barusan lo bilang!" tegur Serena. Romeo menoleh, menatap Serena yang berdiri di hadapannya. 

"Eh, Tante Serena, ayo kita ke hotel. Tante Serena mau diservice apa sama Meo?" Dengan jail ia mengedipkan sebelah mata. Serena hendak melayangkan cubitan tapi mendengar Lita memanggil. Romeo merangkul bahu Serena mesra. 

"Ya ampun, kalian, serasi," lirih Lita yang duduk di kursi roda sambil di dorong Rafli. Serena terpaksa tersenyum. "Kalian langsung check in aja, pesawat berangkat jam empat sore nanti. Buruan berangkat, takut ketinggalan pesawat. Hotel di sana sudah Mama hubungi, kok. Selamat bulan madu, ya, sayang." Lita menghadiahkan paket bulan madu ke Thailand selama empat hari tiga malam, setelah itu mereka akan tinggal di rumah Rafli hingga ia dan Lita kembali pulang setelah Lita menjalani pengobatan. Romeo harus menjaga Kamila yang masih sekolah. 

Serena hanya bisa mencoba terlihat senang, sementara Romeo terus mengusap bahu istrinya seolah sengaja menggoda padahal Serena sudah kesal mau marah lagi. 

bersambung, 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status