“Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa
“Apa lagi maksud foto ini, Mas?” desisku pada Mas Ardan yang tampak acuh tak acuh dengan amarahku.Hatiku perih, menatap nanar pada foto yang terpajang di aplikasi Bukuwajah. Di sana, terpampang foto Mas Ardan—suamiku, dengan seorang wanita. Entah siapa lagi wanita yang duduk bersamanya itu.Mereka tampak tersenyum lebar sambil duduk di meja sebuah kafe. Menikmati minuman dan makanan bersama. Di atas foto tersebut, tertulis pula sebuah judul “Makan siang santai ditemani dia”.“Apa sih, gak usah terlalu berlebihan, Shanum. Dia itu cuma calon pembeli. Kalau aku berhasil menjual mobil kepadanya, kan lumayan bonus bulan ini,” jawab Mas Ardan dengan santainya.“Ya, tapi gak harus gini juga, Mas! Apakah setiap mendapat calon pembeli, kamu harus makan berdua, bahkan sampai seperti orang pacaran? Lebih lagi sampai memamerkannya di media sosial!” cecarku menahan amarah.“Kamu mana paham soal marketing! Kalau aku tuh kaku sama calon pembeli, gimana mau bikin mereka tertarik? Sudahlah, gitu aja
“Boros? Jajan? Dari mana kamu dengar itu semua, Mas? Bahkan satu juta lima ratus pun, sangat pas-pasan untuk kita bertiga. Bulan kemarin saja, untuk listrik dua ratus ribu. Biaya air, dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi kalau ada keperluan mendadak. Semuanya pas-pasan, Mas,” kataku dengan suara pelan.“Ya, kamu atur-aturlah! Kamu pikir, aku gak capek cari uang? Kamu mana ngerti? Bisanya cuma bersantai di rumah!” sentaknya, lantas berdiri meninggalkanku yang masih terhenyak.Bersantai katanya? Dia pikir pakaian kotor akan masuk sendiri ke mesin cuci? Piring kotor akan membilas sendiri di washbak? Makanan akan terhidang dengan sendirinya di meja? Dan rumah yang berdebu, akan menyapu sendiri? Tak terima, kususul ia ke depan. Sebentar lagi, Mas Ardan akan berangkat kerja.“Mas! Maaf, bukannya aku tak berterima kasih … tapi, uang satu juta sangat kurang untuk satu bulan! Tak perlu mas tambahi, tolong berikan saja satu juta lima ratus seperti biasa!” pintaku sambil menatapnya yang sedang
Perlahan bangkit, kudekati cermin panjang yang menempel di pintu lemari pakaian. Benda besar itu seketika memantulkan bayanganku. Kuamati penampilan dari atas hingga bawah. Tak ada satu senti pun yang terlewatkan.Wajah yang dulu mulus terawat, sekarang terlihat kusam dan mulai menampakkan bintik-bintik hitam. Ada pula beberapa bekas jerawat yang baru kering di dahi. Kantong mata terlihat semakin jelas. Kuraba sekilas pipiku, terasa kasar sekali.Belum lagi, lemak di bawah dagu dan lengan yang semakin bertambah. Jangan tanya rambutku seperti apa. Keras dan mengembang setelah sekian lama tak tersentuh creambath. Hanya disisir sekenanya setiap hari, diikat ke belakang, dan dicuci dengan shampo sachet yang kubeli di warung.Sedih, aku sedih melihat penampilanku yang sekarang. Di usiaku yang masih tergolong muda, aku sudah terlihat seperti berumur empat puluh tahunan.Daster gembrong dan berwarna sedikit pudar karena terlalu sering dicuci-pakai, melekat di badan. Semakin menyempurnakan pe
“Bu Nani kolesterolnya agak naik ya, Mbak. Tekanan darahnya juga. Makannya tolong dijaga ya, Mbak Shanum. Jangan biarkan bergadang dan jangan sampai banyak pikiran juga,” jelas Dokter Rifka kepadaku setelah selesai memeriksa kondisi ibu.Aku terhenyak. Pantas saja Ibu terlihat lesu sejak semalam. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, aku selalu memasak lauk dan sayur khusus untuk Ibu. Ah, apakah ini karena bakso kemarin? Aku tak tega jika harus menolak permintaan Ibu. Rasanya seperti memakan buah simalakama. Jika kuturuti, kondisi ibu memburuk. Tak kuturuti, kasihan Ibu.“Baik, Dok. Saya akan lebih perhatian lagi. Kemarin Ibu sempat minta bakso, akhirnya saya turuti. Apa karena itu, kolesterolnya naik, Dok?” tanyaku.“Bisa jadi, Mbak Shanum. Nanti saya resepkan obat seperti biasa. Untuk obat darah tingginya, diminum setiap hari, ya,” lanjut Dokter Rifka.“Iya, Dok. Terima kasih,” ucapku sebelum berlalu ke tempat menebus obat.Ibu duduk di bangku panjang sambil menatap ke luar, ke arah
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.*Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku la
Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.“Tu-tunggu!” cegahnya.Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya,
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jad