Share

Ch.3 Perkenalan

"Kamu, baik-baik saja?"

Cecil baru berkedip ketika pria di depannya itu mengibaskan tangannya. "Gue, iya. Gue baik-baik saja. Thanks banget ya."

Alister membantunya berdiri, ia rangkul pinggul wanita ramping itu tanpa canggung sedikitipun. "Kamu, bisa jalan nggak?"

"Em, bi- sa, mungkin." Cecil mencoba melangkahkan kakinya. "Aw...."

"Tante, Hiks! Hiks."

Alister menoleh pada bocah yang masih tersedu-sedu karena takut. Ia mengamati sejenak, "Niel, help berikan anak ini minuman apa saja."

"Okey." Daniel berlari masuk ke dalam restoran.

Beberapa orang akhirnya membubarkan dirinya masing-masing. Cecil meringis menahan perih di lututnya. Ia rasanya sudah tidak tahan lagi jika harus berjalan masuk ke dalam restoran. "Ah gue duduk di situ saja, gue- Eh!"

Lelaki yang memiliki hobi nge-gym itu seperti bisa membaca pikiran Cecil. Ia langsung membopong tubuh langsing Cecil untuk masuk ke dalam. Sang bocah sudah sedikit tenang, Daniel juga mengajaknya untuk masuk ke restoran.

"Turunkan gue, gue bisa jalan. Kenapa lo main gendong-gendong saja seperti ini." Amuk Cecil pada lelaki itu.

Tanpa arahan, Alister langsung melepaskan tubuh Cecil, alhasil tubuh wanita itu terhempas, terhuyung hampir jatuh sebelum akhirnya di tarik Daniel. "Hati-hati."

"Bukannya terima kasih, kenapa kamu jadi menyalahkan saya, stupid!" Alister gusar mendengar perkataan Cecil.

"Nona? Saya mencari Anda dari tadi, pesanan makanannya sudah siap di meja Anda." Waiters yang melayani Cecil menghampiri sekumpulan mereka.

"Oh, iya terima kasih." Cecil melirik sang bocah. Ia membungkuk, menyetarakan tingginya pada anak itu, "Ikut Tante makan dulu, setelah itu, Tante antar kamu pulang."

"Kita boleh bergabung di meja lo?" Sahut seseorang bertanya.

Cecil mendongak menatap Daniel, "Silahkan, tapi gue cuma baru pesan beberapa makanan." Dengan terpicang-pincang Cecil berjalan menuju mejanya.

"Gue, bantu." Daniel menawarkan diri, dengan segera ia ulurkan tangannya untuk menuntun wanita di sampingnya itu.

"Thanks." Cecil menyambutnya dengan senang hati. Sepatu yang ia kenakan ternyata patah satu, membuat gadis itu belum bisa berpikir bagaimana nantinya ia kembali ke kantor.

Alister hanya diam menguntit mereka dari belakang, sesekali ia bercengkerama dengan bocah kecil yang sudah tidak menangis lagi. "Are you okey, Boy?"

"Ya, aku baik, Paman. Aku tidak tau bagaimana jadinya, kalau tidak ada Tante itu. Aku baru pertama kali membawa otopet Paman, itu adalah hadiah dari ibuku." Ceritanya sedih, ia mulai duduk di samping Alister. Sedangkan Daniel dan Cecil duduk berdampingan.

"Pesanlah makanan, Paman yang akan traktir kamu. By the way siapa nama kamu, Boy?"

Cecil yang berada tepat di hadapan Alister ikut memperhatikan anak kecil itu. Sementara Daniel tengah sibuk memilih menu makanan.

"Imanuel Paman, Yonantan imanuel. Teman-teman biasa memanggilku, Nuel."

"Baiklah, Nuel. Panggil saya Paman Alister, ini teman Paman, namanya Daniel and-"

"Cecilia, panggil Tante Cecil." Sahut Cecil cepat, gadis itu paham jika Alister tidak mengetahui namanya.

Tanpa kesengajaan, mereka saling mengetahui nama satu sama lain. Bahkan, mereka belum sempat berkenalan secara resmi.

Makanan pesanan Daniel akhirnya datang. Mereka berempat akhirnya makan tanpa bersuara, menghabiskan semua makanan yang tersaji di atas meja.

"Tante antar kamu pulang, otopetnya kita masukkan ke dalam mobil Tante."

"Are you sure?" Alister melirik pada Cecil.

"Kenapa?"

"Kamu tidak lihat, kaki kamu begitu. Biar saya yang mengantar."

Cecil memeta sekitar parkiran, di sana hanya ada mobilnya dan sebuah mobil sport berwarna hitam. "Pakai mobil ini? Lo bercanda?"

"Al, lo bawa mobil gue, biar gue antar Cecil dan anak itu. Lo ikutin gue dari belakang." Timpal Daniel melemparkan kunci mobilnya pada Alister.

"Saya bawa mobil kamu? Kamu yakin Niel?" Alister tersenyum miring, ia masih ingat dengan jelas. Terakhir saat di London, ia menabrakkan mobil Daniel ke pohon.

"Argh! Sial."

"Nggak apa-apa gue bawa mobil sendiri bisa kok." Cecil mulai membukakan pintu untuk Nuel. Bocah berusia tujuh tahun itu langsung masuk.

"Buka bagasi." Perintah Alister, lelaki itu langsung memasukkan otopet ke dalamnya. "Minggir."

"Eh, apa-apaan lo."

Alister menyerobot masuk ke dalam mobil Cecil di bagian kemudi. "Saya yang bawa mobil kamu. Buruan naik, saya harus cepat kembali ke kantor."

Cecil tercengang melihat tingkah lelaki yang baru ia tau bernama Alister itu beberapa menit yang lalu. Lelaki yang masih menggunakan bahasa baku itu malah membuat Cecil merasakan pening. Ia bergegas masuk dari pintu penumpang.

"Boy, tunjukkan jalan ke rumahmu."

"Ya, Paman."

"Lo yakin bisa nyetir?!" Cecil gamang, ia takut jika terjadi sesuatu yang tidak diingankan. Mengingat ia tidak sendiri, melainkan membawa seorang anak kecil.

Rasa nyeri yang masih ia rasakan di lutut, membuat gadis berusia 24 tahun itu terpaksa menahan sakit, ia belum sempat memberikan obat atau yang lainnya.

Mobil melaju perlahan, anak lelaki itu menunjukkan rute jalan yang biasa ia lewati ketika berangkat dan pulang sekolah. "Perlahan Paman, rumahku nomor tiga. Rumah bercat warna putih itu."

"Okey."

Daniel masih setia membuntuti mobil mereka dari belakang, ia kesal kenapa harus Alister yang semobil dengan Cecil. Tapi, ia juga tidak mungkin memberikan kunci mobilnya pada Alister, bisa-bisa mobil mewah kesayangannya mengalami penyok di beberapa bagian.

"Terima kasih Paman, Tante. Nuel harus segera masuk, kalian mau mampir?"

"Next time Nuel, Paman harus segera kembali ke kantor, and harus membawa Tante ini ke klinik." Alister mengerling pada Cecil.

"Nama gue Cecil bukan Tante itu." Gumam Cecil ketus. "Nuel, lain kali hati-hati, kamu harus bicara dengan orang tuamu mengenai hal ini. Besok kamu minta antar jemput dahulu, atau naik bis sekolah. Tadi itu sangat berbahaya." Pesan Cecil lewat pintu kaca yang terbuka.

"Ya Tante, sekali lagi Nuel ucapkan terima kasih." Nuel menerima otopet yang barusan diturunkan Alister dari bagasi.

"Bay."

***

"Kamu kerja di mana?"

"Di daerah Setiabudi, antar saja gue ke sana." Jawab Cecil.

Alister diam, ia berpikir sejenak. "Saya belum paham daerah ini and-"

"Hey, ini jalan larangan, kenapa lo lewat sini. Lo mau kena tilang." Klakson dari Daniel beberapa kali sepertinya tidak diperhatikan Alister. Lelaki blasteran itu terus saja berbelok ke jalan satu arah. "Stop, ke pinggir sekarang."

"What?!"

"Ke pinggir! NOW!! Alister!" Cecil menekankan kalimatnya, agar lelaki itu menuruti perintahnya.

Perlahan, mobil berwarna merah type sedan Camry itu menepi. Cecil dengan susah payah keluar dari mobil dan menghampiri Alister. "Turun, gue balik sendiri. Lo pulang sama temen lo itu."

"What?!"

"Gue bilang, turun! Kuping lo masih normal kan? Perlu gue ulangi lagi? Hah!" Amuk Cecil terlampau emosi.

Daniel berlari menghampiri, ia meninggalkan mobilnya tepat di pinggir tikungan. "Sorry-sorry, teman gue baru datang seminggu yang lalu dari London. Dia belum paham betul mengenai jalan di sini."

"Hah! Terus dia ngapain pakai nawarin nganterin gue segala. Sialan, untung gue nggak kena tilang gara-gara kalian." Cecil meradang.

Alister menghampiri Daniel dan Cecil. "Heh! Goddamn it!"

Daniel mencoba menengahi perselisihan dua orang yang ada di depannya itu, tapi sepertinya sia-sia. Cecil dan Alister sudah terbawa emosi.

"You stupid! Can’t you see? That’s fucking dangerous. Gue balik sendiri, bawa temen lo ini pulang." Cecil masuk ke dalam mobil dan meninggalkan dua laki-laki yang tercengang.

"Baru kali ini saya menemukan perempuan seperti itu, kamu yakin, dia wanita? Dia lebih seperti preman." Gerutu Alister memandang perginya mobil Cecil.

"Gue suka gadis seperti itu, dia cantik Al, gue harus dapetin dia, Cecilia."

"Kamu gila?! Up to you, antar saya balik ke kantor. Sebentar lagi saya ada meeting sama investor." Alister berjalan menuju mobil Daniel dan langsung masuk ke dalam.

"Lo kenapa tinggal di Apartemen, rumah lo kurang gede apa?" Di sela-sela perjalanan mereka, Daniel mengajak Alister berbincang-bincang.

"Saya tinggal di Apartemen karena Daddy balik ke sini. Males saya setiap hari harus bertemu dengannya."

"Hahaha ... Kalian masih seperti dulu? Eh, gue anterin lo di depan aja ya, mau langsung cabut, jemput adek gue." Terang Daniel.

"Daddy saya menyebalkan, dia meminta saya untuk segera menikah. Fuck it! Dia selalu memaksakan kemauannya."

"What?! Lo serius? Pacar saja lo nggak pernah punya. Apa jangan-jangan, lo suka gue?" Meledaklah tawa Daniel melihat muka masam teman lelakinya itu.

Mobil sport yang membawa Alister akhirnya berhenti tepat di depan gedung berlantai 20. "Get the fuck out of here! Saya turun sekarang."

Blamm!!

Pintu mobil di hempas kencang, membuat Daniel mengumpat sejadi-jadinya. Sedangkan Alister lenyap di balik pintu gedung tersebut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status