1.
Seorang laki-laki tampan berhasil merebut perhatian pengunjung sebuah restoran mewah. Langkah tegap dengan garis wajah tegas namun terus menampilkan senyum manis, membuat beberapa pengunjung perempuan di sana menatap terpana padanya.Bima Mahesa, lelaki dengan paras tampan, juga postur tubuh atletis membuatnya terlihat sangat menawan. Jangan lupakan senyum ramah yang selalu menjadi andalan pemikatnya. Bima merupakan seorang Dosen muda di Universitas swata di Ibu kota."Siapa memangnya yang mampu menolak pesonaku?" kekeh Bima narsis. Dia menyadari menjadi pusat perhatian beberapa gadis yang masih tak mengalihakn pandangan darinya. Menjadi pusat perhatian dan idaman para perempuan memang tujuannya.Duduk dengan nyaman, Bima mengedarkan pandangan mencari sosok yang akan dia temui. Lima menit menunggu, akhirnya orang yang ditunggu pun datang. Bima menatap tak percaya pada perempuan yang datang dengan mengenakan pakaian formalnya. "Apa dia tidak punya pakaian lain? Akhh, mataku sakit melihatnya," gumamanya menatap tak suka sekaligus jengkel."Selamat siang," sapa gadis berpakaian serba hitam formal itu sopan.Bima berdecih dan tak menjawab sapaannya. "Apa kau tidak punya pakaian lain untuk di pakai? Mataku sakit melihatmu memakai pakaian seperti itu setiap hari!" Bukannya menjawab sapaan perempuan itu, laki-laki berwajah tampan itu malah mencibirnya dengan pedas.Marina Wijaya, perempuan yang baru saja duduk dihadapan Bima itu tersenyum kecut. Setiap kali bertemu dengan anak atasannya itu, selalu saja masalah penampilannya yang di komentari. Bukan pertama kalinya Bima menghina atau mengejeknya terang-terangan seperti ini. Tapi, perempuan 27 tahun itu berusaha tak terpengaruh ocehan anak Bosnya yang menurutnya manja dan kekanakan itu."Maaf Pak. Tujuan kita bertemu tidak untuk membahas pakaian apa yang saya pakai," balas Marina mencoba meredam kekesalan. Meskipun bukan pertama kalinya Bima menghinanya, tetap saja sebagai perempuan dia kesal ketika penampilannya di cemooh apalagi hinaan Bima memang kerap menyakitkan."Kau itu sekretaris ayahku, orang nomor satu di Perusahaan. Tapi, coba lihat penampilanmu! Kampungan! Memalukan!" hina Bima. "Aku heran kenapa ayah mempertahankan sekretaris macam dirimu!""Mari kita bicarakan tujuan pertemuan kita Pak," kata Marina mencoba merendam amarahnya mendengar hinaan yang Bima lontarkan. Seakan dia tak punya hati, lelaki itu selalu saja menghinanya tanpa hati.Bima masih berdecih memperhatikan bagaimana penampilan Marina yang duduk di depannya itu. Dia tak habis pikir, apa saja yang Marina beli dengan gajinya yang besar. Lihatlah! Bahkan baju kerja yang dipakai perempuan itu terlihat sekali harganya sangat murah."Kemana saja uang gaji mu selama ini? Apa dengan uang sebesar itu kau tidak mampu membeli pakaian yang pantas?" kata Bima dengan nada yang sarat ejekan dan tatapan merendahkan.Sejak tadi dia terus menyeruput kopi dengan mata yang terus menatap Marina penuh intimidasi. Lelaki itu bahkan tak memesankan minuman untuk perempuan di depannya."Sepertinya pertemuan ini tidak akan berjalan lancar. Saya permisi Pak!" Marina sudah muak dengan hinaan dan ejekan lelaki sombong di depannya. Dia memutuskan pergi. Namun, suara Bima kembali menginterupsi dan membuatnya terpaksa kembali duduk."Dasar keras kepala! Aku ingin kau terlihat lebih layak. Coba lihat, dengan dandanan seperti ini, lelaki mana yang akan melirikmu!" Ah, ruapanya lelaki tampan yang menganggap dirinya penuh pesona itu belum selesai menghina perkara pakaian yang dikenakannya. Menyesal Marina kembali duduk."Terima kasih atas perhatian Anda Pak. Maaf, saya pergi Pak!" tegas Marina kembali berdiri."Eh, iya .. iya .. Aku berhenti. Maaf!" kata Bima terdengar tak tulus. Andai dia tak mempunyai urusan penting dengan perempuan itu, Bima tidak akan sudi menghentikan kepergiannya.Marina menghembuskan nafas kasar. Andai dia tak menghormati Ayah dan Ibu Bima yang sangat berjasa padanya selama ini. Dia pasti sudah membalas hinaan lelaki itu dengan lebih pedas."Kau tahu kenapa aku meminta bertemu?" Kali ini Bima terdengar serius.Marina menganggukkan kepala."Aku mau kau menolak perjodohan ini!" lanjut Bima pada inti pembahasan."Baik," jawab Marina singkat."Bagus! Jangan bilang aku yang memintamu menolak perjodohan ini."Marina kembali mengangguk."Kau tidak akan rugi menolak perjodohan ini. Saya akan bayarmu mahal kalau kau bisa meyakinkan Mami dan Papi, kalau kita memang tidak cocok." Bima terus berbicara sedangkan Marina hanya menggut-manggut saja mengiyakan.Lama-lama, Bima kesal juga, karena Marina hanya mengiyakan semua kemauannya. Dia merasa Marina menganggap semua yang dibicarakannya tak penting. "Kau mengerti maksudku kan?""Mengerti Pak," jawab Marina terdengar malas. Ah, Bima semakin kesal. Marina benar-benar membuatnya muak dan sebal."Kau bisa tulis berapa pun yang kau mau untuk pembatalan perjodohan ini." Bima menyodorkan sebuah cek kosong pada Marina. Dia ingin segera pergi dan tak berlama-lama menghadapi perempuan seperti Marina.Marina menatap Bima juga cek kosong dihapadannya bergantian. Dia mengambil cek itu dan memasukkannya Ke dalam tas. "Terima kasih Pak," katanya.Bima tersenyum puas melihat semua itu. Dia tahu Marina tidak akan menolak tawaran uang darinya. Permasalahannya sekarang selesai. Dia tidak akan lagi dipaksa menikahi gadis kampungan seperti Marina. Dan Marina yang akan membereskan masalahnya itu.Selain gayanya yang kampungan, ternyata gadis ini juga bodoh! Bima terkekeh dalam hati."Setelah ini kau yang harus membereskan malasah perjodohan kita. Aku tak sudi harus menikah dengan gadis macam kau!" Ah,mulut tajam Bima memang benar-benar.Tangan Marina mengepal kuat di bawah meja. Sepertinya kesabaran perempuan berkacamata itu telah berada di ujungnya. Hinaan juga cacian Bima membuatnya tak tahan untuk terus memendam. Marina telah memutuskan untuk melawan. Wajahnya yang suram kini berganti dengan seringai yang membuat Bima menatapnya heran."Jangan tersenyum seperti itu! Kau menakutkan!" hardik Bima kesal sedikit merinding tak nyaman."Kenapa? Takut?" Suara Marina berubah menjadi tegas dan sarat ejekan. Marina sudah yakin untuk mendeklarasikan perang pada Bima."Kau akan melihat senyum menyeramkan ini seumur hidupmu," kata Marina dengan suara mendesis, terdengar sangat tak nyaman di telinga Bima.Lelaki muda berusia 30 tahun itu menelan saliva kasar. Sikap Marina yang berubah melawannya ternyata lumayan mengintimidasinya. "Jaga sikapmu! Dan jangan bermimpi menjadi istriku!"Marina kembali menyeringai kejam. "Aku tidak bermimpi, karena sebentar lagi kau akan merasakan neraka hidup bersamaku, Tuan muda yang terhormat!" ucapnya penuh penekanan."Perempuan kampungan dan udik ini ..." Marina menunjuk dirinya dengan tatapan menghunus dan nafas memburu. "Perempuan yang selalu kau ejek ini akan menjadi malaikat maut yang membuat hidupmu tak tenang setiap hari!"2. Marina berdecak kesal setelah meninggalkan Bima yang terperangah. "Dasar pria gila! Narsis! Dia pikir aku mau menikah dengan pria sepertinya! Amit-amit Tuhan!" Marina bergegas memberhentikan taxi lewat. Sepanjang jalan, dia terus menggerutu kesal. "Hah, bodohnya kau Marina! Kenapa kau harus menemui pria gila itu," cerocosnya masih penuh amarah. "Dan kenapa pria itu sangat terobsesi dengan pakaianku? Apa dia punya kelainan? Argh menyebalkan."Supir taxi di depannya hanya diam mendengarkan ocehan Marina yang terdengar berapi-api dan penuh emosi. Dari awal dia memasuki restoran, dan melihat gelagat Bima yang selalu tebar pesona dan menebar senyum itu, Marina sudah merasakan akan mendapat hinaan-hinaan yang lebih menyakitkan dari sebelumnya. Apalagi melihat beberapa pengunjung di sana memnag sangat cantik dan berkelas. Dan ternyata benar dugaannya bukan? Bima menghinanya dengan sangat congkak dan pandai. "Ah, andai dia bukan putra Pak Bhas, sudah ku pelintir kepalanya." Marina tak
3. Wajah Bima semakin merah padam. Harga dirinya jatuh berkeping. Bagaimana bisa matanya tak berkedip menatap dua tonjolan besar di dada Marina. Marina mendorong tubuh besar Bima yang menempel padanya. Dia menatap Bima yang melongo dengan tatapan mengejek. "Puas melihat apa yang sering kau hina?" katanya seraya kembali duduk di kursi. Sesaat Bima linglung, saat sadar dia meneguk saliva kasar, dan mengutuk dirinya sendiri, karena dengan tololnya matanya malah fokus pada dada Marina juga bibir ranumnya."Sialan! Mati saja kau Bima!" rutuknya dalam hati. "Jangan geer! Kau bukan tipeku" kilahnya menutupi kegugupan. "Bicara pada Ayah dan pastikan dia membuka kembali blokiran semua kartuku," perintahnya.Marina hanya diam, enggan meladeni Bima dan terus berusaha memfokuskan diri pada pekerjaan. "Aku sedang bicara denganmu!" geram Bima. "Dengar! Aku sudah memberimu uang. Lakukan tugasmu dengan benar."Kesal, karena Marina bergeming tak menjawab. "Dasar perempuan udik! Kau memang menye
4."Apa?!!" Pekikan terkejut terdengar dari mulut Marina juga Bima bersamaan. Siapa yang tidak kaget kalau ditembak menikah seperti itu. "Mi, jangan bercanda!" Bima menyusul Amelia dan Bhaskara yang sudah melenggang masuk dengan menyeret Marina ikut masuk. "Pi, apa-apaan ini? Gak bisa, Bima gak mau menikah dengan perempuan ini!" pekikan Bima benar-benar tak dihiraukan oleh kedua orang tuanya. Sementara Marina pasrah saat kedua pasangan paruh baya nan energik itu menyeretnya masuk kedalam rumah yang sudah di hias sederhana namun tampak cantik dan berkelas. Bhaskara sibuk menyalami keluarganya yang sudah datang dan Amelia membawa Marina ke kamar. Bima semakin tercengang melihat kondisi rumahnya yang sudah di sulap bak kebun bunga. Dia memijit kepalanya yang terasa nyeri. Tak menyangka kalau ancaman Bhaskara beberapa waktu lalu yang mengatakan kalau dirinya kan menikah minggu ini adalah benar. Bima meraih lengan Bhaskara dan meminta penjelasan pada sanga ayah tentang apa yang terj
5 .Suara berisik dari luar berhasil menyedot perhatian beberapa tamu undangan. Dan seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan dengan wajah merah padam menahan amarah. "Hentikan pernikahan ini!" teriaknya dengan suara lantang. Suasana yang tadinya begitu haru berubah menjadi mengangkan. Marina dan Bayu menatap tercengang pada sosok yang baru saja berteriak dengan lantang. "Ayah," lirih Marina. Bima menoleh saat mendnegar Marina berkata lirih. "Ayah? Jadi Marina masih memiliki Ayah?" tanya Bima dalam hati. Dia menatap lelaki paruh baya yang kini menghampirinya juga Marina. Marina beringsut menyembunyikan diri dibalik tubuh besar Bima. Bima yang tak mengerti hanya diam saja memperhatikan. Meskipun dia merasa aneh, kenapa Marina bersembunyi dari ayahnya sendiri. Tapi dia tidak menepis saat tangan Marina memegang lengannya begitu erat dan menyembunyikan wajahnya di punggungnya. "Pernikahan ini dibatalkan! Dia putriku dan aku tidak merestui pernikahan ini!" kata Riandi, Ayah Marin
Malam sebelumnya. Marina, Bayu dan Amelia juga Bhaskara tampak duduk berunding di kamar yang ditempati Marina. "Ini adalah solusi paling baik Nak, dengan kamu menjadi istri Bima, Papi akan lebih leluasa melindungimu," ujar Bhaskara. "Bima bukan lelaki yang terlalu buruk. Dia bisa dipercaya."Amelia mengusap lembut rambut panjang Marina. Dia sangat menyayangi perempuan itu seperti pada putrinya sendiri. "Ibu yang akan menjamin kalau Bima bukan lelaki buruk. Dia hanya belum menemukan tambatan hatinya. Dan Mami yakin, kalau kamu bisa menaklukannya Nak. Menikahlah dengan Bima. Demi keselamatan kamu dan Bayu, Mami mohon." Marina menoleh dan memeluk Amelia. Dari perempuan itu dia bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu. "Mi, aku kasihan kalau Pak Bima harus ikut terseret dalam masalahku ini," kata Marina. Dia selalu terbuka pada Amelia.Bhaskara dan Amelia menggeleng bersamaan. "Jangan pikirkan itu Nak, yang penting sekarang adalah, kamu dan Bayu harus selamat dulu. Para mafia itu sudah
Bima tengah termenung di dalam kamar nya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Tapi, kamar yang dihias dengan taburan bunga juga lilin indah dan aromaterapi yang menenangkan itu kini tampak sepi tanpa pengantin perempuan yang ternyata malah tidur di kamar lain. Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan lelaki tampan yang baru saja berganti gelar dengan suami itu. "Bim." Setelah segala kekacauan yang terjadi, Bhaskara menemui Bima. Bhaskara baru saja pulang dari Rumah Sakit untuk mengobati Riandi yang akhirnya pingsan di tangan Bima. Bima tak menyahuti panggilan ayahnya. Dia kembali menatap kosong pada langit malam yang malam ini tampak mendung tak berbintang. "Maafkan Papi Bim," ucap Bhaskara. Lelaki paruh baya itu mendekati putra bungsunya dan ikut menatap langit. "Kalian mengorbankanku demi menyelamatkan perempuan itu," sahut Bima tanpa menoleh. "Apa sebenarnya istimewanya perempuan itu? Kenapa kalian sangat menyayanginya bahkan melebihi kasih sayang kalian padaku! Kali
8. Bima berjalan dengan gagah seperti biasanya. Pesona Dosen muda satu ini memang sangat meresahkan. Tak sedikit Mahasiswi yang menggoda dan menawarkan diri padanya. "Selamat pagi Pak." Beberapa Mahasiswa yang berpapasan dengannya menyapa. Namun hari ini berbeda. Meskipun Bima tetap gagah seperti biasanya, tapi tak ada senyum ramah yang biasa lelaki itu tampilkan. Wajah Bima tampak ditekuk dan terkesan dingin. Dia bahkan tak menjawab sapaan para Mahasiswanya, membuat mereka menerka apa yang terjadi dengan Dosen tampan dan ramah senyum itu. "Pak Bima kenapa ya? Tumben jutek," ucap salah satu Mahasiswa yang tadi menyapa Bima. "Iya, gak biasanya Pak Bima jutek. Hah gue kangen senyum tampannya," balas yang lain. Mereka terus menerka-menerka dengan apa yang terjadi pada Dosen kesayangan mereka. TokTokTokSuara ketukan pintu membuat Bima tersadar dari lamunannya. "Masuk," katanya mepersialahkan. Seraut wajah cantik dengan balutan pakaian ketat, memperlihatkan dua bulatan sintal
9.Bima terkejut, dia tidak tahu kalau Ibunya pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Dia menoleh pada Bhaskara yang tampak mengangguk membenarkan. Bima kembali mendengarkan dengan seksama sambil memeluk bahu Ibunya. "Mereka belum memiliki anak padalah sudah lama menikah. Ibu dan Bapak sangat menyayangi Mami. Satu tahun setelah itu, akhirnya Ibu hamil. Beliau melahirkan anak perempuan yang sangat cantik dan menggemaskan namanya Sintia Karisma," jelas Amelia menerawang jauh pada masa-masa kecilnya. "Setelah kelahiran Sintia, Mami diperlakukan semakin baik, Bapak dan Ibu tak pernah membedakan Mami dengan putri kandung mereka. Kami tumbuh bersama. Dari mereka Mami merasakan apa arti keluarga sesungguhnya. Sintia adalah adik yang sangat baik juga sangat cantik." Amelia menerawang mengingat adik kecilnya, air matanya tak kuasa lagi untuk terbendung. "Adikku"Dek, kamu tahu tidak?" Sore itu, setelah pulang kuliah, Sintia langsung diseret oleh kakaknya ke dalam kamar. "Ada apa Kak?" tanya