Pov Riyanti
Baru saja aku menerima pesan singkat dari ibuku. Beliau butuh uang untuk membayar cicilan mingguan. Di kampung memang sedang gencar pinjaman praktis sekitar 500rb sd 1 juta hanya dengan modal FC KTP. Banyak tetangga yang tergiur tak terkecuali ibuku. Oh tidak, kini ibuku terjebak pinjaman dari orang yang bisa dikatakan lintah darat. Padahal kalau dihitung-hitung ini sangat memberatkan, bunganya pun tergolong tinggi. Alhasil, warga yang pinjam jadi terlilit hutang dan dikejar-kejar angsuran mingguan.
‘Oh ibuku, bisakah aku segera menjadi orang kaya saja supaya hidup kita tidak susah?’ ratapku dalam hati.
Flashback on
Saat aku SMA, ada tamu seorang juragan kaya raya datang menyambangi rumah.
"Pak Rahmat, kapan kalian akan mengembalikan uangnya? Katanya bulan ini, hah," ucapnya setengah berteriak. Aku menguping pembicaraan di ruang tamu. Sebenarnya bukan sengaja menguping, tapi karena suara juragan yang lantang otomatis masuk ke telingaku.
"Sekali lagi maafkan kami, Pak. Kalau boleh kami minta pengunduran sebulan lagi," pinta Bapakku.
Ada nyeri di hatiku saat mendengar Bapakku dicaci maki. Bapak Ibuku hanya terdiam mendengar makian Sang Juragan. Sementara aku menahan tangisan yang menyesakkan dada. Kalau saja kamarku kedap suara, aku mungkin akan berteriak. Aku ingin berteriak kenapa hidup kami jadi begini.
Mungkin ini sebagian ujian dari Allah yang harus kami terima supaya keluarga kami selalu bersyukur atas nikmat-Nya serta bersabar atas cobaan-Nya. Roda kehidupan kadang di atas, kadang di bawah bukan. Kini keluarga kami sedang di posisi bawah.
'Sungguh ini titik terendah kekuarga kami.'
Kalau boleh memilih, aku tidak akan merepotkan saudara atau orang lain dengan meminjam uangnya. Lebih baik meminjam di bank yang tidak akan menyusahkan orang lain. Namun pihak bank sudah tidak memberi kepercayaan pada Bapak yang kerap mangkir dari angsurannya.
Mengingat kembali masa ini membuat hatiku perih bagai teriris sembilu. Bagaimana tidak, Bapak yang menjabat ketua panitia pemilihan Kepala Desa menjadi sasaran empuk saat masa pendukung salah satu calon yang tidak menang berdemo.
Mereka berusaha mencari kecacatan agar hasil pemilihan bisa digagalkan. Saat keputusan tak mampu diganggu gugat, sebagian oknum murka dan berjuang menggulingkan posisi jabatan yang diemban panitia.
Sekelompok oknum yang sedang mencari kecacatan hukum berkumpul di depan balai desa. Mereka membawa ban bekas dan perlengkapan untuk membakarnya, bahkan ada yang memikul keranda berisi replika mayat. Seakan-akan orang yang dicari cacat hukumnya pantas mati. Bukankah kematian itu Allah yang mengaturnya.
Media massa pun turut mencatat sejarah nama Bapak beserta rentetan masalahnya. Malu sudahlah pasti, keluargaku seperti tak ada harganya dimata masyarakat. Banyak yang terenyuh dan berempati, tapi tidak sedikit juga yang mencemooh.
Beruntungnya Ibuku wanita yang tangguh dan penuh kesabaran mendampingi Bapak di saat genting harus berurusan dengan hukum.
Segala upaya dikerahkan bahkan dengan menjual harta benda keluarga kami untuk membiayai. Ah entahlah, aku menjadi malas berurusan dengan politik. Aku tak pandai ilmu yang satu ini. Aku lebih suka ilmu hitung menghitung. Pada akhirnya kami harus berpasrah kehilangan harta benda asal tidak kehilangan harga diri dan kehormatan. Kata Ibuku akan sangat memalukan jika Bapak sampai masuk penjara.
"Kasian kalian anak perempuan, nanti kalau menikah siapa yang menjadi wali kalau Bapakmu di penjara." ucap Ibuku penuh penekanan dengan air mata menetes membasahi pipinya yang masih halus. Ibu selalu berpesan padaku dan Mbak Ratih agar bisa menjaga diri dan kehormatan meski sudah tak ada lagi harta benda.
Kami benar-benar hidup mulai dari nol lagi. Bahkan banyak hutang sana-sini karena tidak hanya satu dua ahli hukum yang bermaksud membantu. Lebih parahnya lagi, Bapak juga pernah kena tipu oleh oknum pengacara yang ingin membantu pengurusan masalah ini. Bagaikan jatuh ketimpa tangga pula.
Roda hidup memang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Sekarang aku merasakan berada di bawah. Hidup kami benar-benar berubah drastis. Ibuku selalu berpesan pada anak-anaknya untuk bersabar. Makan seadanya, jangan dengarkan gunjingan tetangga, karena tidak akan ada artinya. Mereka seperti menganggap kita sudah tak berharga. Belajarlah yang rajin hingga cita-citamu tercapai dan angkatlah kembali Bapak Ibumu. Kami tidak mampu membekali harta, hanya ilmu yang bisa kami berikan.
Kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku seperti kaset rekaman yang di putar ulang. Aku pernah berpikir ingin menanam kebencian terhadap oknum-oknum yang memusuhi Bapak.
Namun kemudian aku tersadar, rasa benci yang semakin membara di hati hanya melemahkan semangat dan jiwaku. Bukankah aku akan menjadi orang yang merugi pula dengan hati yang dipenuhi dendam.
Flashback off
Akhirnya kuputuskan bertekad menunjukkan pada orang-orang segala prestasi yang bisa kuraih. Aku meyakinkan diri bisa mewujudkan impian mengembalikan senyum Bapak Ibu.
Sedikit banyak tekad yang bulat tertanam di hati ini untuk mengubah nasib keluargaku. Ini menjadikan semangatku bangkit kian membara untuk mencari uang.
Tak heran jika aku sering kena sasaran balik saudara yang membutuhkan uang. Jika kubilang aku tak punya uang maka siap-siap telinga ini mendengar cacian tak tau balas budi. Mereka pikir aku yang kuliah sambil kerja part time bisa menghasilkan banyak uang.
Padahal nyatanya uang yang didapat ini sedikit untuk tambahan makan serta membayar angsuran mingguan Bapak Ibu. Belum lagi catatan hutang yang nominalnya ratusan juta.
'Aku hanya bisa bermimpi mendapat uang banyak untuk segera membuat keluargaku terbebas dari lilitan hutang.'
Namun aku sadar jika hanya sekerdar mimpi, hidupku tidak akan banyak berubah. Aku pun memutuskan mencari kerja part time tambahan selain memberikan les. Setelah tengok kanan kiri, ada part time menjahit baju seragam anak. Lokasinya tidak jauh dari kos dan kampus. Ini menguntungkan sekali bagiku karena tidak harus menghabiskan waktu lama di perjalanan. Hari ini tida ada jadwal kuliah, lantas aku putuskan untuk ke Graha Tailor.
"Saya Riyanti, Bu. Mahasiswi semester atas di kampus sebelah," ucapku memperkenalkan diri pada Bu Zuhair pemilik Graha Tailor, industri tekstil yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Seringnya di graha mengerjakan job menjahit seragam sekolah.
"Yuk, naik biar dijelasin sama Mbak Dyah kerjaannya."
Saat kakiku menginjakkan lantai atas di rumah Bu Zuhair, aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tanpa sengaja mata ini menangkap sosok yang beberapa hari ini menari-nari di kepalaku.
“Pak Alfa!”
Pov AlfaNetraku tak salah bukan, atau aku yang hanya berhalusinasi saja. Kenapa wajah Riyanti selalu terpampang di pelupuk mataku. Ah, lama-lama aku bisa gila kalau hanya memikirkannya. Segera aku memicingkan mata ke arah bangunan belakang kontrakanku. Aku sedang menjemur pakaian kerjaku karena hari ini tidak ada jadwal mengajar, jadi waktu luang aku pakai untuk mencuci baju. Sebenarnya bisa saja dilondry tapi kalau tidak sibuk, aku lebih suka mencucinya sendiri.Mataku mengerjap beberapa kali dan benar saja, bisa kupastikan itu Riyanti. Ngapain dia ada di sana. Itukan tempat para pekerja menjahit baju orderan. Kontrakanku memang dekat dengan industri tailor. Apa dia juga bekerja di sana? Apa dia benar-benar maniak kerja? Kenapa dia tak sayang dengan badannya. Apa dia sengaja memporsir tenaganya, memangnya sekuat apa dia. Berbagai tanya melintas dibenakku. Kenapa aku jadi peduli padanya, kenapa aku tak suka dia sok kuat. Aku bahkan ingin selalu mengaw
Pov Riyanti Hari ini ada kuliah Pak Alfa di jadwal pagi. Aku dan Amel sudah berangkat lebih awal karena tidak mau terlambat dan jadi bahan bullyan di kelas pastinya. Karena Pak Alfa suka bercanda di kelas dengan contoh-contoh mahasiswanya yang tidak disiplin. Mengingat kejadian kemarin di Graha Tailor membuatku tak berhenti mengulas senyum. "Ti, pagi-pagi udah senyum sendiri. Ada apa sih? Aku perhatiin dari kemarin pulang nyampai kos juga gitu." "Kamu pasti nggak nyangka kalau aku ceritain, Mel." "Sini-sini bisikin aku dong." "Kemarin aku di Graha Tailor lihat Pak Alfa jemur baju." "Haah, serius? Keren dong. Astaga Riyanti, kamu sudah kesengsem pesona Pak Al..." Aku langsung membungkam mulut Amel yang nggak kira-kira ngomongnya. Tiba-tiba putri dan Galang masuk ke ruang kuliah. Di belakangnya pun ada sosok yang sedang kami bicarakan. "Haa, Pak Alfa datang Mel. Isshh kamu teriak nggak kira-kira sih Mel.
Pov AlvaAku mengantar Riyanti sampai ke rumah muridnya. Dia berpesan supaya aku meninggalkannya. Kalau kalian berpikir aku akan ninggalin dia jawabnya enggak. Aku memilih menunggunya di mobil sampai dia selesai ngajar. Dia sebenarnya perempuan sekuat apa sih, seharian kuliah dan kerja part time. Refreshing sebentar sudah kerja lagi. Aku nggak habis pikir, apakah dia sempat memikirkan kesehatannya. Apa dia ingat dengan jam makannya hingga kelihatan kurus begitu. Hufh, kenapa aku jadi perhatian banget sama Riyanti. Aku mengacak rambutku sendiri karena bingung dengan pikiranku. Aku melihat Riyanti dan muridnya belajar di teras. Tampak sekali kalau dia mengajar dengan sabar. Tak jarang muridnya tertawa senang belajar dengannya.Setengah jam berlalu, aku mendengarkan musik sambil menscroll email atau materi yang ada di ipad. Kulihat ada laki-laki paruh baya entah papanya atau kakeknya si murid. Tapi kurasa dia lebih cocok kakeknya deh. Dia mendatangi Riyan
Pov RiyantiMas Alfa mengantarku sampai kos malam itu. Eh, bolehkan aku memanggilnya dengan Mas kecuali di kampus harus tetap panggil Pak. Aku sangat bersyukur dia sudah menyelamatkanku dari laki-laki brengsek itu. Tapi aku tidak bisa berhenti begitu saja mengajar Niko. Kasihan dia tidak salah apa-apa. Pak Hendra juga baik sudah memberi HR ku di awal. Setidaknya aku harus membayar kembali dengan tetap mengajarnya.Mas Alfa memintaku mengajar Niko di kontrakannya tepatnya di teras depan yang lumayan luas. Dia tidak ingin kejadian yang menimpaku terulang lagi. Aku heran kenapa Mas Alfa baik padaku sekarang. Aku merasakan lebih dekat dengannya atau hanya perasaanku saja, barangkali dia memang baik dengan semua orang. Buktinya bukan hanya aku yang akan mengajar les dikontrakannya. Ternyata dia membuka jasa les dengan mahasiswa yang akan mengajar. Ada aku, Gilang, Amel dan Putri yang sementara menjadi staf pengajar.Selesai mengajar, Mas Alfa mengham
Pov Riyanti Weekend ini aku merasakan tak sabar menerima HR pertama dari Graha Tailor. Kerja kerasku dari skill yang diajarkan ibukku. Meski sedikit yang kudapat tapi aku merasa bahagia mendapat uang dengan cara halal. Aku masih terngiang-ngiang ucapan Pak Hendra yang mengatakan telah mentransfer uang sebesar yang aku minta. Tapi kenyataannya saat aku tanya adikku nominalnya 2x lipat. Setelah aku konfirm ke Pak Hendra ternyata yang transfer waktu itu adalah ayahnya, yang tak lain adalah kakek Niko, karena Pak Hendra baru memimpin meeting besar. Pantas saja kakek Niko berbuat seenaknya padaku waktu itu. Aku merasa telah berhutang pada laki-laki brengsek itu. Aku berjanji dalam hati harus bisa melunasi hutang itu karena aku takut jika sampai ajal tiba tapi masih berhutang, bisa terhalang jalan masuk ke surga."Hmm, ada yang mau traktiran nih?" Galang sudah mencoba menggodaku karena bahagia mendapat HR pertama d
Pov AlfaSetelah menurunkan Riyanti di tempat yang dia minta, aku melajukan mobilku dan berhenti tak jauh dari jangkauan pandanganku ke dia.Aku sengaja ingin mengikuti sampai ke rumahnya tanpa dia tahu. Aku tak menyangka dia sangat sayang pada keluarganya terbukti dia menyempatkan beli buah tangan sebelum naik angkot.Aku pun mengikuti angkot yang dia tumpangi, sampai di suatu persimpangan dia turun dan membonceng laki-laki bermotor yang telah menunggunya.Deg, siapa laki-laki itu. Kenapa aku kawatir dan tidak rela jika laki-laki itu ada hubungan khusus dengan Riyanti.Aku rupanya takut mendapati kenyataan itu, ternyata setelah kuamati laki-laki itu masih muda, pasti adiknya. Jauh aku mengikutinya sampai ke desa tempat tinggalnya yang memang pelosok. Aku berhenti di sebuah warung kelontong dan membeli minuman sambil mengobrol. Aku mencari cara mendapatkan info tentang Riyanti tanpa dicurigai. Ternyata satu kalimat tanya mampu mema
Pov Riyanti"Kamu lagi dekat dengan seorang laki-laki kah? Atau kamu justru sudah punya pasangan?"Lidahku kelu mencerna pertanyaanya. Berbagai pikiran melintas dibenakku dan akupun bingung tak bisa menjawab secara langsung."Hmm, Aku..." Kuhela nafas untuk menetralkan detak jantung yang memburu. Kurangkai kata yang terbaik supaya tidak salah ucap."Tidak perlu dijawab sekarang, Ri. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Juga keluargamu, apa boleh?" katanya sedikit memohon. Ada setitik kelegaan karena dia tak menuntut jawab sekarang. Aku perlu berpikir panjang untuk hubungan kami jauh ke depan."Baiklah. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Aku hanya orang miskin, yang sedang berjuang mengembalikan senyum keluargaku. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti aku, Mas. Bahkan aku hanya seorang yang gila kerja untuk mencari uang.""Jangan katakan itu, Ri. Aku mendukungmu, tapi ingat juga kesehatanmu. Jangan terlalu kera
Pov Riyanti"Mas Andi, siapa perempuan itu? Lalu mobil sport itu milik Mas Alfa kah?"Mas Andi sepertinya sudah menduga reaksiku atas kejadian barusan. Dia mengangkat kedua tangannya seakan menyerah tak mau menjawab tanyaku."Maaf Riyanti, kali ini bukan kapasitasku untuk menjawab. Biar Alfa aja yang jelasin ya." Mas Andi berlalu ke dalam meninggalkanku yang tenggelam dalam lamunan. Beberapa menit kemudian teman-temanku datang. Aku tak ingin ketahuan sedang banyak pikiran. Fokusku sekarang mengajar Niko. Sesekali aku melamun saat mengajar Niko, membuat Amel melihat ke arahku. Namun karena dia juga sedang mengajar, akupun bebas dari rasa penasarannya untuk bertanya.Senja tiba menandakan aktivitas mengajar les kami selesai. Bersamaan dengan Mas Alfa yang datang denagn menenteng beberapa cup warna-warni ternyata jus. Aku segera membantunya menaruh di meja dan dia pun menyilahkan kami meminumnya. Aku memilih jus alpukat kesukaanku. Satu kali