Bab 2"Silakan maju! Kerjakan soalnya atau saya buka catatannya di depan kelas?!" ancam Pak Aryo dengan raut wajah dingin tanpa senyum sedikitpun, seolah kemarahan terwakili oleh tatapan mata elangnya.Nyali Nay menciut seketika, mau tak mau ia maju ke depan. Bukan karena ia takut diminta mengerjakan soal, hanya saja ada hal yang sangat memalukan jika buku catatannya diumbar di depan kelas."Soalnya di atas, kenapa harus ngerjain jauh di bawah, Nay?" protes Pak Aryo. Nay tampak kesal, mengira dosennya sengaja mengerjainya. Tangan kanannya sibuk di papan menuliskan jawaban, sementara tangan kiri sibuk memegang ujung T-shirt agar tidak terangkat. Sekali ia lalai dengan penampilannya, bisa jadi bagian perutnya yang mulus tersingkap. Nay merutuki dirinya yang salah memakai kostum karena tergesa. T-shirt yang dikenakannya memang terlalu pendek. Beberapa kali ia merasa tak nyaman karena Pak Aryo menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memalingkan muka."Nah, ini nih contohnya.
Bab 3AJam sudah menunjukkan pukul 7, Nay masih malas-malasan beranjak dari teras kosnya. Padahal penampilannya sudah rapi. Masih dengan kemeja bergaris favoritnya, Nay pagi ini memadukannya dengan kaos yang panjangnya sampai paha. Masih teringat kejadian hari sebelumnya, Nay dipermalukan Pak Aryo. Demi supaya catatan yang berhiaskan sketsa tentang dirinya dan Andra, Nay menuruti titah Pak Aryo. Malang tak bisa ditolak, Nay justru kena semprot tentang penampilannya. Hari ini, Nay jadi nggak bersemangat kuliah dengan sosok yang menyebalkan baginya. Terlebih semalam ucapan Pak Aryo sungguh menyentil hatinya. Sakit tak berdarah. "Awas saja Pak, kalau sampai nyuruh aku maju lagi. Aku bakalan nolak. Biar saja nggak ada mahasiswa yang ngerjain, tahu rasa nanti." Nay sudah ngedumel sendiri di teras sambil menyimpulkan tali sepatunya. "Nay, udah jam berapa ini. Tumben belum berangkat. Biasanya rajin," seru bu kos. Kedua tangan wanita seusia ibunya itu sedang menenteng tas belanjaan penuh
Bab 3BDrrt....drrtt,[Nay, kamu dimana sih?]Nay masih mencari-cari petunjuk dia berada di gedung mana. [Astaghfirullah...ternyata ak di gedung D][Kamu segera ke gedung C deh, dosennya sudah datang. Buruan entar kena marah]Gegas Nay lari menuju gedung C lt.3 yang memang tidak ada penghubung antara kedua gedung itu. Sampai di lt.3 Nayla menetralkan napasnya yang terengah-engah sambil mengelus dada. Nayla yang masih di luar ruang kuliah tak sengaja melihat dari arah berlawanan seorang laki-laki berjalan dengan tegap. Jantungnya pun semakin berdebar kencang, tak bisa diajak kompromi. Kali ini debarannya terasa berbeda saat melihat laki-laki itu adalah Andra kakak tingkatnya."Nay, ngapain di luar? Dosennya sudah masuk lho." Senyum Andra walau hanya sekilas mampu meruntuhkan dunia bagi Nayla. Menarik napas dalam, debar jantungnya perlahan mulai stabil, berganti raut wajah yang bisa dipastikan memerah karena tersipu malu. Dua tangannya meremas kemeja bergarisnya untuk mengurangi gugup
Bab 4ANayla sedang bersiap mengantar bahan makanan ke tempat katering Bu Maya. Ia ditemani Cici, karena sahabatnya itu kebetulan tidak ada kerjaan. Berbeda dengan Mika yang tinggalnya di kosan agak jauh dari tempatnya. "Nay, bilang Bu Maya kalau ibu minta maaf tidak bisa mengantar sendiri. Pinggang ibu masih sakit." Bu kos melangkah dari dalam rumah seraya mengelus pinggangnya. Duduk di kursi tamu, bu kos menyerahkan beberapa lembar uang pada Nayla."Bu, uangnya banyak amat? Buat apa aja?" tanya Nay dengan kening berkerut. Ia saling pandang dengan Cici yang terdenyum menampakkan derrtan giginya. Anak kos memegang lembaran uang berwarna merah aja hatinya langsung membuncah padahal bukan miliknya."Buat ongkos naik taksi, Nay. Sisanya buat jajan kamu sama Cici."Mata Nay membelalak. Baginya bisa membantu orang lain merupakan kebahagiaan tersendiri. Tidak perlu pamrih kalau menolong orang. Ia justru akan mendapatkan banyak manfaat dengan ketemu orang-orang baru. Dengan begini, jaringan
Bab 4BDua jam berlalu, Nay dan Cici selesai dengan kesibukannya membantu di katering Bu Maya hingga menyiapkan konsumsi di acara pengajian. Ia bersyukur selain bisa membantu Bu Maya, ternyata ia mendapat ilmu dari materi yang disampaikan oleh ustadzah yang usianya kisaran setengah abad. Diusianya yang memasuki senja, beliau dengan penuh semangat menyampaikan ilmu agama. Apalah dirinya yang masih muda, harusnya juga bersemangat mengupgrade diri menjadi manusia yang lebih baik lagi. Manusia yang bermanfaat bagi orang lain."Sekali lagi terima kasih ya Mbak Nay dan Mbak Cici. Kalau tidak ada kalian, kepala ibu sudah mau pecah.""Jangan bilang gitu, Bu. Harusnya saya yang berterima kasih. Banyak pengalaman berharga yang saya dapat. Saya senang bisa ikut pengajian. Biasanya kami ikut di kampus sesekali." Nay hendak berpamitan setelah meminta izin mengganti bajunya."Nggak usah dilepas. Pakaiannya cocok dipakai Mbak Nay. Tunik dan jilbab itu milik anak saya. Ia sekarang belajar di luar ne
Bab 4CPagi hari, Nayla sudah berangkat ke kampus untuk mencari informasi beasiswa. Ia memakai tunik batik yang diberi oleh Bu Maya dipadukan jilbab yang memang sudah dipasangkan oleh wanita paruh baya itu. Namun, ia mengurungkan niatnya kembali. Masih ada pergolakan batin antara memakai jilbabnya atau cukup tuniknya saja. Akhirnya, ia lebih mantap memakai tuniknya terlebih dulu. Biasanya, Nay orang yang cuek dengan penampilan. Entah kenapa sikapnya akhir-akhir ini perlu pertimbangan. Terlebih dalam hal berpakaian. Ditambah lagi ingatannya akan wangi parfum Andra. Ia merasa minder karena selama ini tidak pernah memperhatikan pakaian maupun dandanannya. Sampai kampus, Nay masuk ruang kemahasiswaan setelah membaca syarat-syarat yang ditempel di papan info. Ia hanya sendirian karena kuliah hari ini jadwalnya siang. Cici, Mika dan Riyan pasti datang siang juga.Setelah minta formulir, Nay keluar ruangan dan hampir bertabrakan dengan laki-laki yang tak lain adalah dosennya."Eh maaf, Pak
Bab 5A"Bukan begitu. Tapi....""Pak Aryo kenapa, sih? Selalu membuat saya kesal." Nay permisi hendak beranjak meninggalkan dosennya."Nay, batik yang kamu pakai itu hanya ada satu. Tidak mungkin ada yang menyamainya. Kecuali kamu mendapatkannya dari...."Nay menggigit bibirnya. Ia memejamkan mata mencari cara bagaimana melarikan diri dari kenyataan."Maksud Pak Aryo apa?" desak Nay seraya membuang napas kasar. Ia masih tak mengerti ucapan dosennya."Ah sudahlah, lupakan saja." Nay terkesiap."Hanya segitu aja, syukur deh kalau nyerah," batin Nay seraya meraup oksigen bebas di sekitarnya. Ia merasa perlu menurunkan tensinya. Menyibakkan rambut panjangnya yang tergerai, Nay memilih duduk di deretan kursi di depan ruang kemahasiswaan. Pak Aryo melangkah mendekati Nay dalam posisi masih berdiri. "Kamu mau mengajukan beasiswa?" Kali ini Pak Aryo mengalihkan topik pembicaraan."Iya, Pak." Nay mencoba berucap dengan nada rendah berbeda dengan tadi. Fokusnya pada formulir beasiswa ditangann
Bab 5B"Maaf, habis kamu malah diem aja. Ayo masuk!" Andra mengulas senyum setelah meminta maaf karena tak sengaja."Iya nggak papa," Nay masuk dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Tiba-tiba perasaan takut itu melintas di benaknya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, manatahu ada Pak Aryo yang menangkap basah. Ia masih punya waktu hingga pukul 11 sesuai yang dijanjikan dosennya itu. "Hmm, Nay." Andra mencoba memecah keheningan di mobil yang hanya ada mereka berdua."Apa?" Nay yang mulai merasa canggung hanya menjawab seperlunya.Nay merasa senang kebersamaannya dengan Andra mengalami kemajuan. Namun, ada rasa yang ditepis juga kalau Andra tidak punya perasaan yang sama dengannya. Nay takut kecewa, yang ada malah hatinya terluka. Akhirnya, Nay mengenyahkan perasaan yang hadir tanpa diundang itu. Ia tidak bisa melarang, perasaan suka adalah anugrah dari Yang Maha Kuasa. Tinggal dirinya sendiri yang harus merespon apakah tepat dilanjutkan atau justru dihenti