Pak Bagus langsung berjabat tangan dengan Dewi dan juga menyapa ramah kepada Lintar seraya memperkenalkan diri. "Senang bertemu dengan Bapak yang selalu bersemangat," kata Lintar tersenyum manis sedikit menyanjungi pria paruh baya itu. Setelah itu, Bagus langsung mengajak Lintar dan Dewi ke sebuah bangunan kecil yang ada di depan proyek. Bangunan tersebut merupakan kantor sementara untuk Bagus yang merupakan orang kepercayaan Dewi CEO perusahaan Wita Contractor—pihak pengembang di proyek tersebut. "Sebaiknya kita ngobrol di sana saja, Bu! Pak!” ajak Bagus dengan penuh keramahan. "Iya, Pak," jawab Dewi tangannya segera menggandeng tangan Lintar, kemudian melangkah menuju bangunan kantor di depan proyek tersebut. "Silakan, duduk!" kata Bagus mengarah kepada Dewi dan Lintar. Dewi dan Lintar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, kemudian duduk di kursi yang ada di tempat itu. Tatap bola mata indahnya terus bergulir ke bagian bangunan proyek. Lantas, ia pun berkata lagi kepada B
Setelah itu, Lintar pun bertanya lagi, “Kita mau makan di mana, Wi?” “Di restoran Sunda saja yang jalan arah ke Bekasi! Kamu tahu, 'kan?” jawab Dewi balas bertanya. “Oh ... iya, Wi, aku tahu,” sahut Lintar lirih sambil menginjakan gas lebih dalam lagi untuk mempercepat laju mobil yang dikemudikannya. Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di restoran yang dituju. Dewi turun dari mobil dengan menggandeng tangan Lintar, ia tampak agresif dan tak canggung lagi dengan Lintar. Seakan-akan dirinya sangat yakin bahwa Lintar adalah pria yang akan menjadi jodohnya. Setelah berada di dalam restoran, Dewi bertanya kepada Lintar, "Kamu mau makan apa, Tar?" "Terserah kamu saja! Apa pun yang kamu suka, aku pasti suka," jawab Lintar tersenyum lebar. Dengan demikian, Dewi langsung memesan dua porsi makanan kesukaannya berikut minuman dan juga makanan ringan lainnya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan sudah membawa makanan yang dipesan oleh Dewi. Tampak ramah dan sopan pelayan itu meletakka
Dengan demikian, ia segera melajukan mobil mewah itu dengan kecepatan tinggi memenuhi permintaan Dewi. "Hei, jangan terlalu ngebut!" teriak Dewi panik. "Katanya tadi kamu minta cepat?" "Maksudku jangan terlalu lambat, jangan terlalu kencang. Sedang saja!" "Siap, Nona cantik!" Lintar tersenyum-senyum sambil mengurangi kecepatan laju mobil yang dikemudikannya itu. Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Lintar sudah tiba di depan rumah megah dengan halaman yang sangat luas. Berdiri kokoh di antara barisan rumah-rumah mewah di salah satu kompleks perumahan elite di kota Cikarang. Lintar terpukau dengan kemegahan rumah tersebut. Dalam benaknya pun berkata-kata, 'Ya, Allah! Ternyata memang benar bahwa Dewi ini merupakan wanita yang kaya raya.' "Ayo, turun!" ajak Dewi sedikit menarik lengan Lintar. "I-iya, Wi." Lintar sedikit gugup, bola matanya terus mengamati keindahan bentuk rumah tersebut. Ia tidak menyangka kalau Dewi ini merupakan janda kaya raya yang memiliki sed
Lintar saat itu berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang sudah terlontar dari mulut manisnya Dewi. "Maksud kamu siapa, Wi?" tanya Lintar mengerutkan keningnya, seakan-akan ia tidak memahami ucapan Dewi. Dengan demikian, Dewi langsung memasang wajah ketus. Ia merasa kesal mendengar apa yang dikatakan oleh Lintar, kemudian langsung duduk dengan membelakangi Lintar. Lintar tersenyum tipis, lalu bertanya, "Kamu kenapa, Wi?" "Kamu tidak peka. Kamu pikir saja sendiri!" jawab Dewi tidak menoleh sedikit pun ke arah Lintar. Lintar tertawa kecil sembari meletakkan tangannya di atas pundak Dewi. "Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu kok," kata Lintar lembut. Perlahan Lintar mengangkat tangannya dan memberanikan diri menyentuh lembut rambut Dewi yang terurai. Tidak sulit bagi Lintar untuk kembali membuat Dewi tersenyum, seketika Dewi langsung membalikan tubuhnya. Kemudian memeluk erat tubuh Lintar sambil berbisik lirih, “Aku sayang kamu, Tar." Bola mata Dewi berkaca-kaca tampak bulir ben
Setelah itu, Lintar pun langsung melangkah keluar dengan diikuti Dewi dari belakang. Sementara sang supir sudah lebih dulu keluar. "Kalau malam jangan keluyuran lagi! Ada hati yang harus kamu jaga!" desis Dewi sambil tersenyum-senyum penuh kebahagiaan. "Siap, Nona!" sahut Lintar menjura. Ia langsung mengucapkan salam dan melangkah masuk ke dalam mobil. "Jaga hatiku juga ya, Sayang!" kata Lintar setelah berada di dalam mobil. Dewi hanya tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Lintar yang sudah berada di dalam mobil. Perlahan, mobil yang ditumpangi Lintar mulai melaju meninggalkan halaman rumah tersebut. Tidak ada yang memiliki porsi lebih besar dalam menjaga hati. Setiap pasangan memiliki peran yang sama untuk saling menjaga. Begitulah yang tertuang dalam pikiran Dewi dan Lintar, hasrat mereka yang hendak merajut kasih, hari itu telah terlaksana. Hubungan mereka telah diikat dengan tali cinta dan kasih sayang. 'Ya, Allah! Aku bahagia sekali hati ini,' kata Dewi dalam hati. D
Koh Iwan turut bahagia melihat perubahan dalam diri Lintar, meskipun di antara mereka berbeda keyakinan. Akan tetapi, mereka sudah bersahabat lama dan saling mengenal satu sama lain, dan juga saling menghargai perbedaan di antara mereka. "Tampan ya, Koh, kalau sudah seperti ini?" gurau Lintar sambil tersenyum-senyum. "Iya, kamu memang tampan. Sudah sana, nanti ketinggalan salat berjamaah!" sahut Koh Iwan. Dengan demikian, Lintar pun langsung pamit kepada rekan mainnya itu. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju Musala. Usai melaksanakan Salat Magrib berjamaah, Lintar langsung pulang ke rumah. Setelah berganti pakaian, ia langsung melangkah ke ruang dapur. Malam itu, ia hanya makan di rumah saja. Menanak nasi sendiri dengan menggunakan magicom, dan memasak ikan sarden kemasan. Tidak seperti biasanya, Lintar selalu makan di warung nasi langganannya yang ada di dekat rumahnya. "Mulai sekarang, aku harus mandiri dan mulai berhemat. Masak sendiri dan makan seadanya, karena aku harus
"Ya, seriuslah. Kapan sih aku bohong sama kamu?" tandas Lintar meyakinkan sahabatnya. "Alhamdulillah, ya, Allah!" ucap Dani tampak senang mendengar kabar tentang berakhirnya hubungan Lintar dengan Mia. "Kok, alhamdulillah, sih?" Lintar menatap wajah Dani sambil mengerutkan kening. "Kamu terlepas dari jerat Mia, jujur saja aku tidak suka dengan sikap Mia. Kamu pasti akan tahu sendiri nanti!" terang Dani sambil meletakkan telapak tangannya di atas pundak Lintar. Akan tetapi, Lintar masih belum paham dengan apa yang dikatakan oleh sahabat baiknya itu. Ia pun mendesak Dani agar mengatakan hal yang selama ini disembunyikannya, terkait sikap dan perbuatan Mia di belakangnya. "Tolong katakan, Dan! Apa saja yang kamu tahu tentang Mia?" desak Lintar. 'Haduh harus dimulai dari mana aku menjelaskan tentang Mia ke Lintar?' kata Dani dalam hati. "Kok malah diam sih? Ayo, katakan saja, Dan!" Lintar terus mendesak Dani agar mengatakan apa yang Dani tahu tentang Mia. Dengan demikian, Dani pun
Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara seseorang memanggil Lintar dari luar rumah, Lintar dan Dani paham jika itu adalah suara Bu Rasti. Entah ada maksud apa, malam-malam dia datang ke rumah Lintar. "Lintar! Keluar kamu!" Mendengar teriakan Bu Rasti, Lintar segera menyahut, "Iya, Bu." "Ayo, kita keluar, Dan! Temani aku!" ajak Lintar bangkit dan langsung keluar rumah. Dani pun tidak banyak tanya lagi, ia bangkit dan langsung mengikuti langkah sahabatnya keluar dari rumah tersebut. "Ada apa ya, Bu?" tanya Lintar setelah berada di hadapan wanita paruh baya yang selama ini sangat menaruh kebencian terhadapnya. "Kamu sekarang sudah benar-benar tidak mau lagi dekat dengan anak saya?" Bu Rasti balas bertanya dengan nada tinggi. Lintar dan Dani saling berpandangan, mereka tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya itu. "Kenapa diam? Ayo, jawab!" Bentak Bu Rasti. Lintar menarik napas dalam-dalam, ia berusaha untuk tenang dan tidak mau terpancing emosi dengan