Share

BAB 2 - KEMBALI PULANG

“Kang, Kang, Kang, Hudang Kang! (Kang, Kang, Kang bangun Kang!).”

Ada suara yang terdengar di telingaku, juga suara tepukan di bahuku yang membuat aku tersadar.

“Ini sudah sampe di perbatasan Kabupaten Bandung.”

Aku seketika membuka mataku, dan menengok ke sebelah kanan, terlihat seorang supir truk yang membangunkanku, dan memberitahuku bahwa truk yang dia kendarai sudah sampai ke lokasi yang aku tuju.

Aku baru sadar bahwa aku hari ini baru saja keluar dari penjara di kota, penjara yang selama ini menjadi tempat tinggalku selama tiga tahun kebelakang, dan sekarang adalah hari kebebasanku dan selepas aku bebas, aku memutuskan untuk kembali pulang, pulang ke kampung halamanku yang dulu.

“Eh sudah sampai ya Pak?” Jawabku.

Sopir itu mengangguk, aku lalu turun dari truk secara perlahan dan mengambil tas yang aku simpan di jok depan sebelah tempatku duduk tadi.

"Pak, Terima kasih banyak sudah memberikan tumpangan," kataku kepada sopir tersebut.

Setelah mengucapkan terima kasih aku pun mulai melangkah pergi, namun ketika beberapa langkah berjalan.

“Eh Kang tunggu sebentar!" kata sopir tersebut menghentikan langkahku.

“Emang mau ke mana? Bukanya ini hutan lebat ya?” Sopir truk itu bertanya tujuanku.

“Kampungku ada di tengah hutan ini Pak, jadi dari sini harus berjalan kaki menyusuri hutan,” Jawabku.

“Owh,” kata sopir yang merasa keheranan atas jawaban dariku.

“Ya sudah hati-hati dijalan ya Pak, terima kasih sudah memberikanku tumpangan,” kataku sambil melangkahkan kakiku kembali ke jalan setapak yang terlihat di depanku.

Sopir itu kemudian tersenyum kepadaku lalu kemudian melambaikan tangannya.

Bruum bruum

Terdengar suara truk itu melaju kembali, meninggalkan ku sendirian, aku melangkah menyusuri jalan setapak secara perlahan. Tanpa terasa, aku sudah ada di tengah hutan perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, namun aku tidak masalah atas hal itu, karena memang jalan setapak ini adalah jalan satu-satunya menuju kampung ku. Yaitu Kampung Halimun, sebuah kampung yang sulit diakses dan letak nya ada di tengah hutan ini.

Aku sudah meninggalkan kampung selama 3 tahun semenjak aku ditangkap dan dipenjara, karena aku dituduh melakukan pencurian emas milik Ibu oleh Bapakku sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak aku lakukan.

Aku hanya ditugaskan oleh Ibu untuk menjual emas itu keluar kampung pada waktu itu, namun Bapak menuduhku membawa kabur emas itu dan akan menjualnya keluar kampung untuk berfoya-foya di sana. Aku sudah melakukan pembelaan ketika disidang di Balai Desa, namun para warga kampung lebih percaya pada bapak daripada pembelaanku, sehingga aku ditangkap dan dipenjara selama 3 tahun. Dan hari ini adalah hari pertama kepulanganku setelah 3 tahun keluar dari kampung.

***

Kampung Halimun adalah kampung yang tersembunyi, letaknya tepat berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, kampung tersebut hanya bisa dilalui oleh jalan setapak yang melewati hutan, jalan setapak yang biasa digunakan oleh pejalan kaki dan motor trail ini adalah pintu masuk dan pintu keluar satu-satunya ke Kampung Halimun, kampung yang menjadi tempat tinggal sejak aku kecil.

Apabila berjalan dari jalan besar, bisa menempuh waktu selama tiga jam dengan berjalan kaki, dan bisa ditempuh dalam waktu satu jam apabila dilalui dengan motor trail. Jalanan yang masih berupa tanah dan berbatu, serta banyak terdapat kubangan-kubangan air apabila hujan turun, membuat Kampung Halimun sangat sulit diakses, saking sulitnya listrik dari pemerintah hingga saat ini masih belum sampai ke kampung tersebut, namun para warga berinisiatif membeli solar panel untuk penerangan kampung dengan swadaya sendiri.

Namun di tengah kekurangan itu, para warga memenuhi semua kebutuhannya sendiri, mereka sengaja membeli solar panel untuk  penerangan kampung, lalu mereka juga membangun beberapa bangunan untuk segala keperluan kampung. Sehingga meskipun Kampung Halimun adalah kampung terpencil, namun fasilitas di dalam kampung sungguh lengkap. Dari mulai pasar, sekolah hingga kantor desa semua ada di sana. Sehingga para warga tidak perlu keluar kampung untuk keperluan sekolah dan keperluan lainnya, kecuali apabila liburan atau mengunjungi kerabatnya yang ada di kota baru mereka keluar kampung melewati jalan setapak ini.

“Sepertinya hujan kabut akan turun,” Pikirku sembari memandang ke atas hutan.

Terasa rintik-rintik hujan membasahi kepalaku sekarang, hujan gerimis yang turun yang dibarengi kabut mulai membasahi di sepanjang perjalananku pada waktu itu, terasa pula rasa dingin di sekujur tubuhku yang membuatku harus memakai jaket tebal yang aku simpan di dalam tas.

Sesuai namanya, Kampung Halimun berarti Kampung Kabut dalam Bahasa Indonesia, karena memang di kampung ini sering sekali turun kabut dan menutupi seluruh kampung, namun karena aku sudah hidup cukup lama di kampung ini, aku sudah terbiasa dengan suasana yang seperti ini.

Dan benar saja, kepulan asap warna putih seketika turun, menutupi pepohonan hutan dan jalan setapak yang aku lewati. Jarak pandang yang tadinya luas kini terbatas, yang kulihat hanya warna putih dari kabut yang turun di jalan setapak itu.

Mungkin bagi orang luar kampung, situasi seperti ini akan membuatnya panik, namun tidak denganku, karena aku sudah hafal dengan rute ini sehingga di tengah kabut tebal pun aku terus melangkahkan kakiku menuju kampung tanpa ada rasa khawatir sama sekali.

“Wah sudah mau magrib, aku harus segera sampai kampung supaya aku tidak kemalaman di jalan,” Pikirku, sembari melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 16:45 sore.

Akhirnya aku mulai mempercepat langkahku, aku menyusuri hutan dengan tergesa-gesa, melewati beberapa kubangan lumpur yang menggenang di jalan setapak tersebut, juga melewati beberapa aliran air yang mengalir ke jalan, sehingga beberapa kali aku harus sedikit melompat untuk menghindari kubangan air itu.

Dan akhirnya aku sampai, sampai di ujung hutan lebat yang baru saja aku lewati, sisanya tinggal menyebrang ke sebuah jembatan bambu yang menjadi pintu masuk Kampung Halimun.

Terlihat di depanku jembatan bambu yang kokoh berdiri sebagai pembatas desa dengan hutan lebat itu. Sebuah pintu masuk desa yang sering dipakai orang-orang sebagai pintu masuk menuju kampung.

Namun seketika ada yang aneh.

Rasa dingin yang kurasakan seketika menghilang, secara tiba-tiba aku merasakan langkah yang berat ketika aku berjalan, aku seperti tidak diperbolehkan untuk melintasi jembatan itu.

Namun aku mencoba memaksakan diri, karena mungkin itu hanyalah perasaanku karena sudah tiga tahun aku meninggalkan kampung sehingga aku merasa takut akan perasaan warga kampung ketika aku kembali pulang.

Namun akhirnya aku memaksakan diri dan melewati jembatan kayu tersebut.

WUSSSSSSSSSS

Ada sensasi aneh ketika aku melintasi jembatan itu kali ini, aku seperti menembus sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu. Sesuatu yang tipis yang menyelimuti kampung dan ketika aku menembuskan diriku masuk, aku merasakan tekanan yang tipis yang terasa oleh tubuhku. Namun ketika aku berbalik aku tidak merasakan apa apa.

“Ah mungkin aku berpikir yang aneh-aneh,” Pikirku mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang aku rasakan.

Namun tiba-tiba,

Torok tok tok tok tok

Torok tok tok tok tok

Terdengar suara ketukan dari arah kampung, suara ketukan yang terdengar sangat nyaring, seperti ada sesuatu di Kampung Halimun. Seketika aku pun berlari menuju kampung. Dan ketika aku sampai di pintu masuk kampung.

Aku dikagetkan dengan paniknya orang-orang yang ada di luar kampung, mereka berlarian ketika suara itu dibunyikan, para pemuda sembari membawa pentungan berlarian memberitahu warga untuk segera masuk ke dalam rumah sembari membunyikan pentungan berkeliling kampung.

"MASUK....!! CEPAT MASUK RUMAH KALIAN!!!"

Suasana yang awalnya tenang kini berubah menjadi kepanikan, anak-anak yang sedang bermain di luar dengan cepat di gendong oleh orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah, para pemuda yang sedang berkumpul di depan motor trailnya sengaja meninggalkan motornya dan masuk ke dalam rumah di dekatnya, lalu para bapak-bapak yang asyik berkumpul di depan pos ronda pun mendadak panik dan bubar ke rumah masing-masing.

“KANGGGGGG, KANGGGGGG!!!”

Di tengah kepanikan itu ada seseorang yang berteriak kepadaku, berteriak dengan lantang dari tengah-tengah kampung.

“CEPETAN PULANG, SEGERA MASUK RUMAH, JANGAN SAMPE ADA DILUAR RUMAH, LIMA MENIT LAGI SEMUANYA BERUBAH!!!” Pemuda itu berteriak sembari menyembunyikan pentungan menjauh berlari ke dalam kampung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yani Putrisari Msi
wow seru banget rasa nya deg-degan dan JD penasaran ad ap ya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status