12 Januari 2008 "Demi Tuhan aku menyesal, Lena. Aku menyesal meninggalkanmu, aku menyesal menempatkanmu dalam situasi sulit ini. Kalau saja saat itu aku tak pergi, kalau saja saat itu aku tak sengaja mengatakan tentang hubunganmu dengan Mas Hanung. Mungkin sekarang kita sudah hidup sebagai keluarga kecil yang bahagia. Amira tak perlu memalsukan tahun kelahirannya untuk mengelabui Mas Hanung. Kau tak perlu menderita sampai sejauh ini karena tekanan Mbak Dona." Di gudang tempat penyimpanan barang bekas itu, Hendra menghampiri Lena yang tengah membereskan barang-barang yang sudah bertumpuk tak tertata. Dengan tatapan sayu perempuan itu menoleh menatap mantan suaminya, lalu tersenyum kecil. "Tak perlu membahas hal yang sudah lama berlalu, Mas. Tetap jaga rahasia tentang Amira sama seperti saat aku merahasiakan tentang hubungan kita dari Mas Hanung dan keluargamu yang lain. Tetap bersikaplah layaknya ipar seperti biasa. Selama sepuluh tahun ini kita bisa, bukan? Demi Amira, tolong ...
"Apa Mas Hanung tahu kalau kau selalu pergi padaku di saat-saat seperti ini?" cibir Heru saat melihat Dona tengah menggunakan gaun tidurnya dengan cepat, lalu menyisir rambut di tepi ranjang. Perempuan paruh baya yang masih terlihat sangat awet muda berkat suntikan-suntikan dokter kecantikan itu melirik adik iparnya dengan tajam. "Kau pikir kita masih bisa hidup kalau dia tahu, hah?" cetusnya. Heru terkekeh. "Mungkin." senyumnya tersungging miring. "Lagi pula tak ada yang luput dari rahasia di rumah ini, Dona." "Maksudnya?" Dona mengernyitkan dahi seolah tak suka dengan penuturan Heru. "Coba kau pikir, setiap hari kita berkumpul di satu tempat makan yang sama, mengobrol berbagai hal tentang bisnis dan keluarga. Tapi, apakah kita benar-benar tahu tentang satu sama lain?" Dona tertegun lama. "Mari kita saling terbuka. Kukatakan satu rahasia. Alasan kenapa aku tak mau menikah. Kau penasaran, bukan?" Dona memalingkan pandangan. "Tidak. Simpan saja rahasia itu untuk dirimu sendiri,
Teriakan itu menggelegar di seisi rumah. Para pelayan berlarian menghampir asal suara. Di sana mereka melihat Hanung sudah berdiri menegang di hadapan Dona yang langsung berlari bersimpuh di kakinya. Bram tersenyum kecil di ambang pintu, tatapannya tak menyiratkan kepuasan melainkan penyesalan teramat sangat. Dia berbalik dan hendak berlalu, tapi langkahnya terjeda saat melihat Rendy yang baru saja keluar dari mobil dalam keadaan mabuk, tengah dipapah Andini untuk masuk ke rumah. "Menyingkir, Br*ngs*k. Kau menghalangi jalanku." Rendy meracau saat melihat Bram tiba-tiba berhenti di hadapannya."Kalau tahu kau akan jadi seperti ini, saat itu aku tak akan sudi menitipkan benihku dalam rahim ibumu, Rendy," ujar Bram. Andini yang mendengar itu langsung memucat, sementara Rendy meski dalam keadaan setengah sadar sukses dibuat terbungkam.***Di dalam mobil miliknya, sekali lagi Bram menatap kediaman megah itu. Dulu dia ikut menjadi bagian dari sisi kelam yang tersembunyi dari balik citr
Amira sudah bersiap berontak dan melepaskan diri, saat melihat Rama menarik tangannya menuju taman belakang. Namun, tatapan tulus dan ucapan lirih lelaki itu seketika membuatnya melunak hingga tak ada pilihan lain, selain ikut. "Please, Amira. Suasana rumah sedang kacau sekarang," tutur Rama. Sembari berjalan menyeimbangkan langkah Rama yang lebar, perempuan itu bertanya. "Karena?""Mas Rendy terbukti bukan anak papa. Dan sepertinya aku pun begitu." Amira tertegun mendengar penjelasan Rama. Rupanya keadaan tengah berpihak padanya. Tak perlu susah payah mencari tahu, kebenaran itu terungkap sendiri. Terletak cukup jauh dari pintu masuk, maupun pintu belakang, Rama membawa Amira menuju sebuah gazebo yang terletak di tengah-tengah kolam ikan, melewati sebuah jalan kecil berbatu halus yang menghubungkan taman dengan tempat peristirahatan yang ada di tengah-tengah genangan air tersebut. "Baru saja tersebar berita pagi ini, tentang video asusila yang melibatkan Mas Rendy." "Apa?" "Ya,
Mungkin sudah kodrat perempuan terlahir dengan perasaan yang rapuh. Bahkan ketika dia mampu menandingi keahlian kaum Adam dalam berbagai bidang, tapi sayangnya tidak dalam urusan mengendalikan perasaan. Ramadika Adijaya. Bisa dibilang dia adalah lelaki pertama yang membuat Amira terjebak dalam situasi yang membingungkan. Dia benci mengakui kalau perhatian lelaki itu mampu membuatnya terjebak sebuah perasaan terlarang. Sejak menyandang status sebagai keluarga Adijaya, Rama adalah salah satu orang yang cukup baik padanya, selain Hendra dan sang kakek. Dari Rama pula dia belajar banyak hal. Tentang bagaimana beradaptasi di tempat ini juga pelajaran-pelajaran penting lainnya. Dia tak pernah menyangka Rama bisa sekeji itu dan ikut melecehkannya.Sembilan tahun berusaha berdamai dengan perasaan sendiri, rupanya itu cukup sulit ketika Amira dihadapkan dengan kenyataan bahwa Rama ternyata ayah kandung Azriel. Dia benci mengakui bahwa pernah punya perasaan pada Rama lebih dari sekadar sauda
"Cie yang semaleman berduaan sama Non Mimi." Jojo menyenggol lengan Al, saat tengah membantunya menurunkan oleh-oleh dari bagasi. Lelaki tampan itu hanya memutar bola mata dan menatap Jojo dengan raut wajah terganggu."Berisik. Dia sudah bersuami, B*doh," cetus Al dingin sembari berjalan mendahului. "Hah." Mulut Jojo terbuka setengah, dia mengerjap-erjapkan mata sejenak, lalu berjalan cepat menyusul langkah Al yang lebar. "Sumpeh lu, Bang? Demi apa? Ati lo masih bae-bae aja, kan?" cerocosnya heboh."Ck, Jojo." Al terlihat memejamkan matanya sesaat. "Daripada kepoin orang mending cuci mobil sana. Kotor banget soalnya. Gue mau sholat zuhur dulu.""Tapi, Bang ....""Udahlah, Jo. Tugas kita itu cuma jadi bodyguard, bukan asisten pribadi. Urusan pribadi Non Amira, bukan ranah kita!" tegas Al dengan wajah datar. Lelaki bertubuh kurus mengangguk paham. "Sorry, Bang. Soalnya kalau liat Non Mimi gue jadi keinget seseo--"Jojo tak kuasa melanjutkan kalimatnya saat melihat pelototan Al. "Fok
Langkah kaki berhias pantofel tanpa tumit itu berjalan perlahan, masuk melewati koridor pendek sebelum sampai di ruang utama dengan satu sofa panjang yang berhadapan dengan TV berukuran 45 inci. Terdapat beberapa rak kaca berisi hiasan juga piagam penghargaan. Di sudut kanan juga terdapat sebuah mini bar, lalu di sudut kirinya ada dapur kecil yang langsung terhubung dengan ruang makan.Perhatian Amira langsung tertuju pada sebuah boneka karakter Stich berukuran sedang yang diletakkan di sebuah karpet bulu berwarna biru. Lantas Amira merendahkan diri, berjongkok di hadapan boneka yang yang sudah berumur lebih dari sebelas tahun itu, tapi terlihat masih sangat terawat. Tangannya terulur mengusap kepala boneka itu. Tanpa sadar lengkung bibirnya terangkat. Boneka ini Rama berikan pada Amira saat ulang tahunnya yang kelima belas, selang beberapa minggu setelah Hendra terbunuh dan ibunya masuk penjara. Saat itu Amira sangat terpukul hingga mengabiskan hampir seluruh waktunya di kamar. D
Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan, di sanalah Pak Harun merasa benar-benar gagal menjadi orangtua. Berharap bisa menghabiskan masa tua dengan tiga orang anak lelaki juga menantu serta cucu-cucu. Harapan itu akhirnya harus ditelan getirnya rasa kecewa, ketika ketiga anaknya tumbuh dengan jalan yang berbeda. Ternyata dia salah selama ini, membesarkan tiga orang anak lelaki sendirian itu tidak semudah saat dia berjanji di pusara sang istri untuk tak menikah lagi. Entah apa kesalahan yang telah dia perbuat di masa lalu hingga Tuhan mengujinya dengan cobaan seberat ini. Alih-alih hidup bahagia di masa tua dengan dikelilingi banyak menantu juga cucu, dia malah dibuat jatuh bangun menghadapi ketiga putranya yang egois.Mungkin semua akan terasa lebih mudah bisa ada sosok penyeimbang. Sayangnya meski ingin Pak Harun tak pernah dikaruniai seorang putri, maka dari itu saat dia tahu Hanung mempunyai seorang putri yang dia tinggalkan di desa, tanpa pikir panjang dia langsung menjemputn