Alisku menaut saat melihat bak mandi dan ember tidak berada ditempatnya. Seperti ada orang yang menggeser-geser letak bak dan mencari sesuatu."Minggir!" Aku tersentak saat Maya menarik kasar tubuhku keluar dari toilet. Tatapannya begitu bengis, seakan ingin menerkamku.Brakk!!Pintu dibanting keras dari dalam, jantungku hampir saja copot mendengar bantingan pintu itu."Dasar valak!" rutukku sambil meninju pintu toilet. Tuman!"Heh. Sial lu ya!" Geram Maya. Aku melipat tangan, menunggu Maya keluar dari pintu. Sesekali harus diremes mulutnya. Aku Kakak iparnya, secuil pun dia tidak pernah menghormatiku.Pintu terbuka kasar, Maya sedikit terkejut melihat wujudku yang berdiri tepat didepannya."Awas lu, ngalangin pandangan gua aja!" Lagi dia mendorong tubuhku. Aku menarik nafas dalam-dalam, menguatkan hati dan fikiran. Tangan sudah terkepal kuat, masa iya aku harus nonjok muka Maya yang sudah babak belur?Sabar ... sabar. Biarkan orang lain aja yang hajar itu bocah tengik.Aku menghibur
"Ampun, Pak. Huhuhu," Maya menangis sesegukan bersimpuh dikaki Bapak memohon pengampunan.Bapak bergeming, tanpa kata tangannya langsung menyeret tubuh Maya keluar dari pintu dan menutupnya dengan bantingan kencang.Deg!!Jantung terasa loncat dari tempatnya, bantingan itu menggetarkan kaca jendela dan isi rumah sekaligus membuat ngilu ulu hati.Syukurlah ... Pintu tak roboh karna ulah Bapak."Pak, jangan begitu sama anak, Pak." Ibu masih merengek."Lu kalau ga suka sama cara gua, lu susul aja sonoh anak lu. Jangan balik kesini lagi sekalian!" Bapak menuding wajah Ibu dengan bengis.Mata Ibu membesar, tak percaya dengan kata-kata yang Bapak lontarkan. Biasanya apapun keinginan Ibu, Bapak selalu patuh. Tapi sepertinya tidak untuk saat ini."Anak ga punya harga diri, lu tau muka gua mau ditaro mana? Malu gua tiap papasan sama orang. Malu!" Sembur Bapak murka."Sonoh pergi susul anak lu. Muak gua lama-lama liat muka lu." sengit Bapak sambil menghempas tangan Ibu, yang sejak tadi dipegang
"Dih," Emak menyenggol lenganku. "Lu emang ga kenal ya sama si Yayah."Alisku semakin menaut mendengar Emak menyebut nama Yayah."Emang siapa, Mak?""Anak Pak Sanusi, RT disini," jelas Emak."Hah masa sih, Mak? Pantes Nur kaya pernah lihat muka dia. Dulu dia kan kurus kerempeng kaya Nur, kok sekarang bisa gen ...""Ya itukan dulu, sekarang dia punya buntut tiga, banyak duit. Badan jadi semakin melar," jawab Emak."Kemarin dia kerumah, bilang sama Emak kalau Adik ipar lu udah pacaran sama lakinya. Si Firman," jelas Emak. "Emak ditunjukin juga rekamannya," bisik Emak sambil celingukan.Mataku membulat, Emak menyipitkan mata sambil menganggukkan kepalanya."Anak muda jaman sekarang pada berani ya, pacaran sama laki orang. Ckckck," Emak menggelengkan kepala, tak habis fikir."Kok, Pok Yayah bisa kesini Mak?" tanyaku. Heran aja, kok tahu-tahu Yayah datang kerumah."Dia awalnya nanya, si Nur tinggal dimana sekarang. Terus nanya-nanya yang lain, sampai bahas si Maya," jelas Emak. "Dia bilang
Aku langsung berjalan menuju kamarnya, kepala terasa panas saat melihat Mila kembali tertidur meringkuk didalam selimut."Anak ga tau diri. Disuruh nyuci malah enak-enak narik selimut!" Aku langsung merampas kasar selimut yang melilit tubuh Mila, Mila terkejut dan melotot tajam padaku."Ibu apaan sih. Ganggu orang tidur aja!" sembur Mila, tidak ada takutnya padaku, orangtuanya sendiri."Mumpung masih pagi. Bantuin Ibu nyuci, jangan enak-enakkan tidur. Kalau udah siang panas, kamu tambah malas banyak alasan!" cecarku meletup-letup."Ibu kenapa sih, sama aku selalu marah-marah. Beda kalau sama Maya, bahkan dia pacaran sama laki orang jadi pelakor Ibu masih bisa membelanya!" sentak Mila dengan nafas memburu."Aku salah dikit langsung marah, giliran Maya dibelain mati-matian. Aku ini anak Ibu apa bukan sih!" sambungnya begitu marah.Aku terdiam, baru kali ini melihatnya emosi seperti ini."Mumpung ini hari minggu, aku mau tidur sampai siang. Jangan ganggu kepalaku pusing!" gerutu Mila lal
Hari yang sangat melelahkan, badanku terasa remuk seperti habis dipukuli orang sekampung. Memijat pundak dan tangan, belum lagi kepala yang terasa berdenyut-denyut.Menyesal aku tidak membeli mesin cuci, dulu saat Nurma merengek meminta mesin cuci aku selalu melarang. Boros listrik dan pengeluaran. Nurma masih muda, sudah seharusnya dia menggunakan tenaga sendiri, toh buat kesehatannya sendiri anggap saja olahraga.Tapi sekarang aku menyesal, kalau tahu dia bakal minggat, aku pasti sudah lama membeli mesin cuci itu.Nafasku tersenggal-senggal membawa satu ember cucian basah kesamping rumah tempat menjemur pakaian. Terik matahari mulai menyengat membuat pandanganku, sedikit gelap akibat melihat pantulan cahaya."Huh ... capeknya!" Seruku kesal sambil menyeka keringat yang membasahi kening. Mengatur nafas, tangan ringkihku meraih pakaian dan memeras lalu melibas-libas dengan kesal.Untung saja aku hanya mencuci pakaianku dan Mas Toso, kalau aku nekat mencuci semua pakaian yang ada didal
"Milaa!!" Aku langsung bangkit dari kursi, berlari menuju Mila."Ya Tuhan, ini anak kenapa lagi," dengkus Andri sambil berjalan mendekat."Ambil minyak kayu putih, Ndri." Titahku sambil menepuk-nepuk pipi Mila. Wajah anak ini terlihat pucat, bibirnya kering dengan suhu tubuh yang lumayan panas."Minyak kayu putih dimana?" Andri kebingungan."Ambil punya Arya, dikamarmu!" titahku kesal. Bukan langsung mencari malah banyak nanya.Andri langsung berjalan kekamarnya, aku masih berusaha menepuk-nepuk pipi Mila."Mila, bangun La." Hati langsung dilanda kecemasan. Pasalnya Mila anak yang bisa dibilang kuat, sakit apa dia sampai bisa lemah dan pingsan seperti ini."Ini, Bu." Andri menyodorkan minyak telon ketanganku. "Ga ada minyak kayu putih, adanya itu doang." sambungnya."Ya ampun, ini sih cuma botolnya aja. Ga ada isinya, mana mempan!" Semprotku."Pakai balsam aja, Bu. Olesin sedikit," saran Andri sambil membuka lemari kaca paling atas berisi persediaan obat-obatan."Nih, oles kehidung s
Meski satu sisi lain hatiku bersuka cita, namun hati kecil masih ada rasa simpati terhadapnya."Bagaimana ini, Dek." Mas Andri meremas rambutnya kuat. Hingga urat-urat tangannya menyembul keluar."Aku tidak bisa hanya berdiam diri saja, Dek. Aku harus mencari Maya, dan menanyakan kebenaran ini!" sungut Mas Andri dengan tatapan menyalang."Perut Maya akan semakin besar, aku takut dia melakukan sesuatu untuk menyakiti bayi itu." sambung Mas Andri.Aku terhenyak, ucapan Mas Andri tentu ada benarnya. Maya perempuan berani dan sangat nekad, jika dia bersedia berpacaran dengan suami orang bukan hal yang mustahil jika dia akan melakukan kekerasan pada janin yang ada didalam perutnya."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Andri bangkit dari duduknya."Aku mau kerumah Bulek Susi, Maya pasti ada disana." jawabnya dengan wajah yang menegang."Tenang, sabar ..." aku menyentuh tangan dan pundaknya."Sekarang, Mas mandi dulu ya. Siapa tahu, fikiran sedikit lebih tenang kalau kepala kena air."
"Ngapain dia disitu?" GumamkuAku terlonjak kaget, saat melihat teman lelakinya melayangkan tangan tepat mengenai pipi Adik iparku.Tak puas hanya disitu, teman lelaki Mila menuding-nuding wajah Mila tanpa perasaan. Bocah tengik itu terlihat sangat kesal dengan Mila.Semua mata yang ada didekat mereka menatap aneh, bahkan ada yang menatap iba pada Mila. Aku segera menyenderkan barang belanjaan disamping grobak bakso, lalu berjalan mendekati mereka."Udah jangan ganggu gua lagi!" teriak bocah tengik itu lalu pergi begitu saja. Mila menangis sesegukan sambil menutup wajahnya."Mil ... Mila," panggilku pelan. Mila langsung mendongkak, terkejut melihat kehadiranku."M-bak Nurma," lirihnya dengan wajah menegang."Kamu kenapa nangis?" Aku semakin mendekat. "Bocah tengil itu siapa, kenapa dia nampar kamu?" cecarku. Mila menundukkan wajah, tanpa aku duga dia langsung menubruk tubuhku dan memeluk erat."Huhu ..." Mila terisak pilu, tubuhnya terguncang dengan hebat."Cup, cup." aku mengusap pun