🌸🌸🌸🌸“Nah, ini dia sudah pulang. Kenapa kamu lama sekali, sih!” ucap Nindi saat aku baru saja membuka pintu rumah.“Eh, bisu ya! Itu mulut kenapa diam saja!” serunya lagi.Aku malas menanggapi ucapan Nindi kuayunkan kaki menuju tempat makan rasanya aku lapar sekali padahal tadi aku sudah makan di kantin.“Mbok, aku mau makan!” teriakku saat kudapati tidak ada satu asisten pun di rumah ini. Mendengar teriakanku justru Nindi tertawa terbahak-bahak.“Mau kamu teriak sampai tenggorokanmu rusak tidak akan ada yang menyahut. Mereka sudah dipecat Om Hendra. Pekerjaan rumah kamu yang kerjakan sendiri.” Sebenarnya aku terkejut mendengar pengakuanku Nindi, tapi berusaha untuk biasa saja. Aku tahu sifatnya, dia akan sangat puas jika lawan bicaranya kalah.“Kamu akan jadi Upik abu di istanamu sendiri, Al. Duh, kasihan deh!” ejeknya.“Kamu berisik banget sih, sudah seperti kaleng rombeng. Pergi sana aku mau makan!” Usirku.“Heh, Upik abu. Kamu enggak usah berlagak Nyonya lagi ya, di sini. Seka
~K~U🌸🌸🌸Sejak Perdebatanku dengan ayah kemarin membuat keluarga ayah pun ikut diam. Ha, baguslah. Nindi pun banyak diam.“Aaa sakit! Ampun!” Mendengar teriakan Bik Siti, kami gegas menuju kamarnya.Tante Anin sedang menjambak rambut Bik Siti. Ayah segera melarai ke duanya.Plak!Tante Anin menampar ayah. Aku senang sekali melihat mereka bertengkar. Aku memang sengaja membuat kekacauan ini. Aku sengaja mengirimkan pesan romantis ke nomor ayah dari ponsel Bik Siti untuk menggoda ayah dan itu berhasil. Dasar ayah juga mata keranjang. Mereka masuk perangkapku tanpa aku bersusah payah action.“Ada apa, Bik?” tanyaku sok polos.“Itu Non, Bu Anin menuduhku menggoda Tuan,” jawab Bik Siti terbata.“Menuduh kamu bilang? Heh, babu! Aku tahu sendiri ya, tadi kalian di dapur saling menggoda. Dan kamu, Mas! Apa tidak cukup punya aku, hah!” Tante Anin menuding wajah ayah.“Jangan asal menuduh!” Ayah tidak terima dipermalukan oleh Tante Anin. Ayah balik menampar Tante Anin.“Sudah malam jangan ber
“Lepas, Ayah!” Aku berontak sekuat tenaga saat ayah menyeret paksa ke luar rumah.Pagi ini aku bangun tidur tidak seperti biasanya. Tanganku sudah diikat ke belakang oleh ayah.Di sana, di halaman rumah Om Jeep sudah menungguku untuk dibawa pergi.“Kamu jangan banyak membantah, Al. Anak harus berbakti pada orang tuanya!” seru ayah. Tatapannya tajam! Aku sama sekali tidak mengenal sosok ayah yang lembut dalam dirinya.“Ayah, Kakak mau dibawa ke mana?” Aldi muncul dari arah dapur.“Mbook!” Sekali teriakan mbok sudah muncul untuk membawa Aldi ke dalam. Meski Aldi berontak dan mbok juga menangis ayah sama sekali tidak peduli.“Lepas!” teriakku lagi. Ayah hanya menanggapi dengan senyuman licik.“Nurut sama Ayah maka kamu akan selamat,” ujarnya.Kini mulutku disumpal kain dan tanganku diikat ke belakang. Tangisan dan permohonanku diabaikannya.“Akhirnya anak ingusan sok kuasa ini kamu bawa pergi juga, Hen. Ibu senang sekali,” ucap oma menghampiriku.“Hanya sementara, Bu. Nanti kalau urusan
“Pakai ini, Kak!” Aldi memberikan secarik kertas dan spidol.Segera kutulis permohonan minta tolong. Lalu menggulungnya. Mbok dan Aldi berusaha menahan daun jendela. Aku akan melempar kertas ini ke luar tembok pagar.Nihil percobaan hingga lebih dari 10 kali gagal. Lemparanku kurang kuat hingga tidak bisa sampai ke luar pagar.Jarak bangunan rumah dengan tembok pagar samping cukup jauh sekitar 2 meter dan temboknya juga cukup tinggi membuatku kesusahan.“Istirahat dulu, Mbok dengar suara Siti. Cepat tutup jendelanya.” Kami gegas menutup dan mengunci kembali jendela kamar ini.Teriakan Bik Siti menggema itu menandakan dia pun tidak dalam keadaan baik-baik saja. Pasti mereka berusaha mencelakai Bik Siti.Aldi makin ketakutan. Rasanya aku ingin sekali berputus asa.“Tidak, aku hanya mencari Mbok saja.” Samar kudengar ucapan Bik Siti.“Mereka sedang kami hukum, jadi kamu jangan coba-coba untuk memberi mereka makanan ataupun minum!” Ancam oma.Oma sudah bau tanah, tapi masih saja berbuat j
“Kak, ini HP-nya ketemu!” teriakan Aldi bak air hujan saat tengah terik matahari. Menyegarkan.Kusambar ponsel Aldi lalu menekan nomor Kakek. Lama sekali tidak dijawab. Sudah 4 kali panggilan, tapi tidak dijawab.Api makin besar Mbok dan Aldi sibuk menyiram hordeng menggunakan air. Sayangnya alat pemadam kebakaran ada di ruang tengah.Tak mau menyerah aku segera menelepon Lusi. Syukurlah Lusi langsung menanggapi.“Aku segera ke sana Al. Kalian harus bertahan!” Kuakhiri panggilan dan kembali menelepon kakek.Dijawab, kakek sedang ada di kebun. Beliau berjanji akan segera datang. Lalu kutelepon Om Ardi.“Tolong!”“Tolong!”Kami berteriak sekuat tenaga. Aldi sudah lemas karena asap juga sudah masuk kamar kebetulan Aldi punya riwayat sakit asma. Nafasku pun mulai tersengal.Mbok sibuk mencari alat kecil yang biasa dihisap Aldi saat asmanya kambuh. Beruntung meski sudah tua fisik mbok cukup kuat.Setelah memberikan Inhaler pada Aldi. Mbok menyuruh Aldi masuk kamar mandi.“Aa. Panas!” pekik
“Jadi, kapan keadaannya akan pulih?” tanya ayah lagi.“Belum bisa dipastikan, Pak. Pasien memang sudah sadar dan berhasil melewati masa kritisnya, tapi bukan berarti pasien bisa cepat-cepat pulih, semuanya butuh proses,“ jawab dokter.Sekilas ayah melirikku tidak suka. Aku merasakan seperti diintai iblis pencabut nyawa. Aku punya firasat ayah tidak akan pernah membiarkan aku hidup bebas.Ayah benar-benar sosok yang sangat mengerikan bagiku saat ini.“Terima kasih, Dokter, saya akan jaga anak saya baik-baik.” Dokter paruh baya itu mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan ini disusul dua asistennya.Kini hanya ada aku dan ayah di ruangan ini. Cepat-cepat kupejamkan mata. Aku tidak mau melihat wajah jahat di hadapanku ini.Tiba-tiba ponsel ayah berdering. Saat tangan kekarnya membelai wajahku yang teramat perih ini.“Sabar dong! Kamu kira gampang. Ini juga gara-gara kamu semuanya jadi kacau!” teriak ayah.“Oke, diel! Sampai jumpa,” ucap ayah lagi.Aku tidak tahu ayah bicara dengan siap
🌸🌸🌸“Iya, benar! Ini semua gara-gara Alya, kalau dia tidak egois pasti Aldi masih ada!” Nindi ikut-ikutan nangis. Drama sekali mereka.“Sudah, jangan ribut! Aku pusing. Setidaknya beri aku ketenangan. Kalian tahu kan, aku masih dalam keadaan berduka.” Ayah ikut angkat suara.“Kalian kenapa sih? Bukannya senang ya, kalau Aldi sama aku enggak ada?” Mendengar penuturanku mereka semua saling berpandangan.“Enggak usah ngada-ngada deh, Al! Mana ada orang tua yang bahagia kalau kehilangan anak,” ucap Nindi membela ayah.“Ck, aku ingin istirahat, kalian silakan keluar!” Usirku.“Dikasih hati minta jantung! Sudah benar diperhatiin keluarga malah main usir!” omel Tante Devi.“Eghem!” Om Ardi berdehem.“Maafkan Alya, ya, mungkin Alya tidak bermaksud begitu, apalagi sampai ngusir segala. Alya sedang tidak baik-baik saja, dia pasti syok banget karena adik tercintanya meninggal,” ucap Om Ardi seraya mengedipkan sebelah matanya padaku.“Kita ikuti permain mereka,” bisik Tante Eni.“Makanya diaja
Kini hanya ada aku, kakek, nenek, Tante Eni, dan juga Lusi.Tante Eni bilang, saat hari pertama aku dirawat setelah melewati masa kritis ada seseorang yang berusaha mencelakaiku, itu sebabnya aku kembali kritis.Aku ingat saat itu aku pura-pura tidur. Hanya ada aku dan ayah di ruangan tempat aku dirawat. Tidak lama kemudian aku merasakan gelap dan juga sesak. Seperti ada orang yang menutup wajahku dengan bantal dan juga melepas selang oksigen. Aku yakin sekali itu pasti perbuatan ayah.“Om Ardi sudah berhasil mengantongi rekaman cctv-nya,” celetuk Lusi.“Kenapa tidak langsung ditangkap saja, Kek?” tanyaku kesal.“1x24 jam, Al. Kamu tidak usah khawatir. Pasti mereka akan mendapatkan ganjaran yang setimpal,” jawab kakek.“Kakek kenapa lama sekali tidak datang ke rumah andai Kakek datang lebih awal mungkin Aldi masih hidup,” protesku. Aku masih tidak terima Aldi meninggal gara-gara kejahatan mereka.“Kakek banyak kerjaan, Nak. Maafkan Kakek. Ada penyusup. Kebun Kakek tidak aman. Hasilnya