“Kak, ini HP-nya ketemu!” teriakan Aldi bak air hujan saat tengah terik matahari. Menyegarkan.Kusambar ponsel Aldi lalu menekan nomor Kakek. Lama sekali tidak dijawab. Sudah 4 kali panggilan, tapi tidak dijawab.Api makin besar Mbok dan Aldi sibuk menyiram hordeng menggunakan air. Sayangnya alat pemadam kebakaran ada di ruang tengah.Tak mau menyerah aku segera menelepon Lusi. Syukurlah Lusi langsung menanggapi.“Aku segera ke sana Al. Kalian harus bertahan!” Kuakhiri panggilan dan kembali menelepon kakek.Dijawab, kakek sedang ada di kebun. Beliau berjanji akan segera datang. Lalu kutelepon Om Ardi.“Tolong!”“Tolong!”Kami berteriak sekuat tenaga. Aldi sudah lemas karena asap juga sudah masuk kamar kebetulan Aldi punya riwayat sakit asma. Nafasku pun mulai tersengal.Mbok sibuk mencari alat kecil yang biasa dihisap Aldi saat asmanya kambuh. Beruntung meski sudah tua fisik mbok cukup kuat.Setelah memberikan Inhaler pada Aldi. Mbok menyuruh Aldi masuk kamar mandi.“Aa. Panas!” pekik
“Jadi, kapan keadaannya akan pulih?” tanya ayah lagi.“Belum bisa dipastikan, Pak. Pasien memang sudah sadar dan berhasil melewati masa kritisnya, tapi bukan berarti pasien bisa cepat-cepat pulih, semuanya butuh proses,“ jawab dokter.Sekilas ayah melirikku tidak suka. Aku merasakan seperti diintai iblis pencabut nyawa. Aku punya firasat ayah tidak akan pernah membiarkan aku hidup bebas.Ayah benar-benar sosok yang sangat mengerikan bagiku saat ini.“Terima kasih, Dokter, saya akan jaga anak saya baik-baik.” Dokter paruh baya itu mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan ini disusul dua asistennya.Kini hanya ada aku dan ayah di ruangan ini. Cepat-cepat kupejamkan mata. Aku tidak mau melihat wajah jahat di hadapanku ini.Tiba-tiba ponsel ayah berdering. Saat tangan kekarnya membelai wajahku yang teramat perih ini.“Sabar dong! Kamu kira gampang. Ini juga gara-gara kamu semuanya jadi kacau!” teriak ayah.“Oke, diel! Sampai jumpa,” ucap ayah lagi.Aku tidak tahu ayah bicara dengan siap
🌸🌸🌸“Iya, benar! Ini semua gara-gara Alya, kalau dia tidak egois pasti Aldi masih ada!” Nindi ikut-ikutan nangis. Drama sekali mereka.“Sudah, jangan ribut! Aku pusing. Setidaknya beri aku ketenangan. Kalian tahu kan, aku masih dalam keadaan berduka.” Ayah ikut angkat suara.“Kalian kenapa sih? Bukannya senang ya, kalau Aldi sama aku enggak ada?” Mendengar penuturanku mereka semua saling berpandangan.“Enggak usah ngada-ngada deh, Al! Mana ada orang tua yang bahagia kalau kehilangan anak,” ucap Nindi membela ayah.“Ck, aku ingin istirahat, kalian silakan keluar!” Usirku.“Dikasih hati minta jantung! Sudah benar diperhatiin keluarga malah main usir!” omel Tante Devi.“Eghem!” Om Ardi berdehem.“Maafkan Alya, ya, mungkin Alya tidak bermaksud begitu, apalagi sampai ngusir segala. Alya sedang tidak baik-baik saja, dia pasti syok banget karena adik tercintanya meninggal,” ucap Om Ardi seraya mengedipkan sebelah matanya padaku.“Kita ikuti permain mereka,” bisik Tante Eni.“Makanya diaja
Kini hanya ada aku, kakek, nenek, Tante Eni, dan juga Lusi.Tante Eni bilang, saat hari pertama aku dirawat setelah melewati masa kritis ada seseorang yang berusaha mencelakaiku, itu sebabnya aku kembali kritis.Aku ingat saat itu aku pura-pura tidur. Hanya ada aku dan ayah di ruangan tempat aku dirawat. Tidak lama kemudian aku merasakan gelap dan juga sesak. Seperti ada orang yang menutup wajahku dengan bantal dan juga melepas selang oksigen. Aku yakin sekali itu pasti perbuatan ayah.“Om Ardi sudah berhasil mengantongi rekaman cctv-nya,” celetuk Lusi.“Kenapa tidak langsung ditangkap saja, Kek?” tanyaku kesal.“1x24 jam, Al. Kamu tidak usah khawatir. Pasti mereka akan mendapatkan ganjaran yang setimpal,” jawab kakek.“Kakek kenapa lama sekali tidak datang ke rumah andai Kakek datang lebih awal mungkin Aldi masih hidup,” protesku. Aku masih tidak terima Aldi meninggal gara-gara kejahatan mereka.“Kakek banyak kerjaan, Nak. Maafkan Kakek. Ada penyusup. Kebun Kakek tidak aman. Hasilnya
Assalamualaikum everyone Alhamdulillah bisa up lagi. Bantu follow akunku yaaaaa ....💕🌸🌸🌸Astaghfirullah yang benar saja kenapa tiba-tiba tidak ada tukang ojek. Biasanya selalu ada yang mangkal di sana.“Hallo, Om. Aku dikejar Om Jeep aku di makam Ibu.”Pemakaman di kota memang tidak sesepi di kampung, tapi tetap saja areanya luas.Aku lari sampai depan masjid. Alhamdulillah banyak jamaah Masjid baru selesai salat asar.“Toloong! Pak, tolong saya!” teriakku sekuat tenaga saat lari memasuki halaman Masjid.Jamaah yang sedang sibuk mencari sandal dan sepatu berbondong-bondong menghampiriku.Tenagaku nyaris habis aku telah lari ratusan meter tanpa pemanasan terlebih dahulu. Telapak kakiku pun memar merah sebalah kanan karena tadi aku tidak sempat memakai sepatuku yang sebelah kanan.Bruk!Kurasakan tubuhku jatuh, sakit sekali. Aku masih sadarkan diri.“Ayo, tolong bawa ke teras, bawa cepat angkat!”“Kasihan sekali!”Dan masih banyak lagi ucapan yang terlontar dari para jamaah masjid
“Nenek tahu ini sudah jadi ketentuan yang di atas, tapi Nenek juga merasa bersalah kenapa Nenek tidak tahu semuanya. Andai Nenek tahu, pasti Kejadian tidak akan seperti ini.”“Nek, aku tahu Nenek sedih, aku pun sangat merindukan Ibu dan juga merasa kehilangan. Aku benci orang-orang itu. Rasanya aku ingin sekali membunuh mereka semua, tapi apa dayaku. Tangan mungil ini tidak bisa berbuat lebih, Nek.” Aku dan nenek berpelukan saling menguatkan.Takdir hidup siapa yang tahu. Tugas kita hanya menjalani sebaik mungkin. Nasihat itulah yang selalu aku pegang hingga kini, nasihat dari ibuku.“Eeh, kok pada nangis gitu, itu makanan juga dianggurin aja. Kasihan nanti nansinya nangis. Om makan aja, ya?” ucap Om Ardi yang tiba-tiba sudah ada di pintu kamarku.“Om lapar, ya? Sama aku pun lapar.”“Sini Ibu suapin.” Nenek menarik lengan Om Ardi. Kami bergantian disuapi seperti anak kecil. Kalau Aldi masih ada pasti dia juga akan berebut minta disuapin.“Kok nangis lagi?” Om Ardi menjawil hidungku.
🌸🌸🌸 “Ih, enggak nyangka banget ya, tega sama saudara sendiri. Amit-amit deh, punya saudara begitu!”“Cantik si, tapi pelakor!”“Tampilannya aja yang sopan, aslinya siapa aja mapan. UPS!”“Halah, baru kemarin tuh, pakai jilbab. Sopan apanya!”“Makin ngeri ya, kelakuan ABG zaman sekarang.”“Aku, ogah deh, temanan sama orang model begitu!”“Bener! Sama saudara sendiri aja tega apa lagi sama orang lain!”“Kayak enggak ada laki aja, ya? Padahal di sekolah juga banyak yang ngantri mau sama dia.”“Kelainan kali, makanya seleranya om-om.”“Dih, ngeri! Takut tertular penyakit kelamin!”“Betul, tuh! Kebanyakan memang begitu kalau jalan dan pacaran sama om-om tertular penyakit.”“Ratu tega dia!”“Rumah tangga tantenya sendiri diporak-porandakan!”“Diam-diam menghanyutkan!”“Kurang kasih sayang kali!”“Jelas lah, kan tinggal ayahnya aja sudah gitu enggak ngurusin dia malah kawin lagi.”“Eh, ayahnya dengar-dengar masuk bui, loh.”“Wah, pantas kelakuannya begitu. Ternyata sudah ada contoh tidak
“Ba—baik. Aku mengaku. Tapi, tolong lepaskan dulu tanganku sakit sekali, Al,” ucap Nindi memohon.Aku tidak mau terkecoh, bukan aku renggangkan justru semakin aku kuatkan. Nindi berteriak dan mengumpat.25 WIB. 10 menit lagi guru datang. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu yang tersisa sedikit.“Iya, semua itu hanya tuduhan dan fitnah saja. Alya tidak seperti yang aku bilang di grup sekolah. Aku lakukan itu karena aku kesal dan marah padanya. Papahku dipenjara karena dia dan aku kehilangan Papahku,” teriak Nindi sambil menangis sesenggukan.Mataku bak mata elang yang siapa menerkam mangsanya. Kupindai seisi kelas mereka terkejut.Lima menit lagi guru datang. Tangan Nindi sudah tidak kukunci. Kini kerah bajunya yang kuangkat tinggi.“Aku sudah mengakuinya lepaskan aku,” pintanya.Brug!Kudorong tubuh ramping Nindi hingga membentur papan tulis dan terjatuh. Dia segera bangun membuka kasar pintu dan keluar kelasku dengan linangan air mata.Aku kembali duduk di posisiku semula. Si kutu bu